Sunday, December 1, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Pesantren Keresek (Bagian 12)

Oleh: Hasba

Den Didi, seorang santri dari Cianjur. Entah mengapa malam itu dia ketinggalan solat Isa berjamaan di masjid. Dia memberanikan diri solat sendirian di masjid, saat orang lain sudah kembali ke kobongnya masing-masing. Dirinya sudah tidak bisa berkonsentrasi, dipenuhi rasa takut.  Dia mereka-reka seandainya dia sedang sholat tiba-tiba muncul hal-hal yang menakutkan. Dia membayangkan, tiba-tiba dari atas langit-langit ada yang terbang mendekat lalu menerkam dirinya seperti yang dialami Den Djaja. Akhirnya, sholatnya jadi tidak khusu, Doa-doa sholat tak mampu dibacanya dengan tartil, karena dirinya diliputi rasa takut yang berlebihan. 

Saat berdiri Den Didi, sudah tidak bisa tumaninah.  Kepalanya tidak berani menunduk, mata tidak berani menatap sajadah. Pikiran tidak bisa berkonsentrasi kepada Sang Maha Pencipta.  Karena tidak khusu, matanya melirik ke atas kuda-kuda di atas tempat sujud.  Terlihat ada sebuah benda bulat  mengkilap sebesar kelereng. Benda bulat mengkilap itu bergerak, ke sana kemari di atas lantai bambu masjid. Terdenganr suara bergeraknya benda bulat itu di atas lantai bambu seperti suara kelereng yang bergerak menggelinding.  Den Didi, memejamkan matanya, dia tidak ingin sholatnya batal hanya karena melihat benda bulat mengkilap yang bergerak tidak henti di hadapannya.  

Tapi, walaupun dipejamkan matanua, tetap saja secara hukum sholatnya sudah batal karena pikirannya sudah tidak menentu dengan bacaan sholatnya yang kacau balau. Membaca surat Al-Fatihah, berputar-putar, satu ayat diulang-ulang dan tidak berurutan. Bacaannya jadi kacau balau. Walaupun begitu, Den Didi terus memaksakan diri. Mencoba bertahan, sementara benda bulat mengkilap itu tidak berhenti terus bergerak dan berputar di hadapannya.  Kemudian, benda bulat mengkilap mirip kelereng itu bergerak makin meluas, tidak hanya bergerak, berputar di hadapan Den Didi saja. Seluruh  permukaan lantai bambu, dijelajahi benda bulat mengkilap itu sambil mengeluarkan bunyi khas, saat kelereng bergerak di atas lantai.

Sesaat kemudian, bergerak  kembali mendekati Den Didi.  Sesudah tepat di hadapannya, tiba-tiba benda bulat mengkilap itu menghilang. Tidak lama kemudian, dalam hitungan sepersekian detik setelah lenyap, leher bagian belakang Den Didi ada yang mengusap. Usapan di leher belakang tersebut, membuat Den Didi membatalkan sholatnya. Kemudian menoleh ke belakang sambil diliputi rasa takut.  Siapa yang mengusap lehernya? Begitu dia melihat ke belakang, tampak ada yang melambaikan tangan ke Den Didi sambil menyeringai. 

Den Didi, akhirnya balik kanan, berlari menuju pintu masjid. Namun, karena panik dan rasa takut yang berlebihan. Dia harus jatuh bangun, beberapa kali kemudian berlari tunggang langgang.  Apa yang ada di hadapannya ditabrak tak karuan.  Di tangga masjid yang juga terbuat dari bambu, tubuhnya terjatuh dan terbanting menghantam tanah di kegelapan malam.  Suara gedebak-gedebuk lantai bambu dalam mesjid di malam yang sunyi, diakhiri suara gedebuk tubuh yang menghantam tanah. Tentu saja terdengar oleh santri, para santri malah bersorak.  Menyangka ada santri yang kakinya terperosok di jembatan bambu di atas kolam yang mennghubungkan kobong di atas kolam dengan masjid. 

Namun setelah diketahui bahwa suara gedebuk itu tubuh Den Didi, yang tidak bisa terbangun lagi alias pingsan. Para santri berdatangan, ramai-ramai menolong dan mencoba menyadarkan Den Didi dari pingsannya.  Kulit wajah Den Didi tampak pucat pasi seperti mayat, bajunya basah oleh keringat dingin. Nafasnya satu-satu, tubuhnya terkulai tanda hilang kesadaran.  Tubuhnya, segera digotong oleh empat orang, kemudian dibawa ke kobongnya.   Mulut Den Didi Jontor, bengkak berdarah, jidatnya benjol akibat menghantam tiang. Keesokan harinya, dia berjalan terpincang-pincang karena kakinya keseleo.  Untung tidak sampai patah, karena dia terperosok dan terbanting teramat kerasnya. 

Kejadian yang dialami Hambali beda lagi. Masih ingat sampai sekarang ke Hambali. Pokoknya setiap melihat kursi yang bisa berputar, seperti kursi tukang cukur di kota-kota, saya pasti teringat Hambali. Walaupun hidup sedang susah dan tidak nyaman, karena gangguan jin. Ada sedikit rasa bahagia, karena saya mempunyai kursi baru yang bisa diputar-putar sambi diduduki.  Saking senangnya, kursi itu diletakkan di ruang tamu di bawah jam dinding. Setiap duduk, saya sedikit demonstrasi kepada para santri, kursi itu diputar digerakkan ke kiri dan ke kanan.  Kursi itu menjadi kebanggaan tersendiri, karena satu desa Keresek, mungkin saya satu-satunya yang mempunyai kursi berputar, kecuali Juragan Wedana di kantornya.

Waktu itu sedang bulan purnama.  Hambali keluar dari kobongnya sendirian berniat sholat Isya.  Karena, tidak mengetahui jam berapa dia terbangun, akibat ketiduran sehingga sholat Isya ketinggalan berjamaah.  Dia berniat melihat waktu di jam dinding di dalam ruang tamu. Di mana kursi baru yang bisa berputar diletakkan. Hambali mengintip dari balik gorden, tapi kurang jelas.  Karena tidak jelas, Hambali naik ke jendela dan mengintip dari lubang angin.  Saat itu dia melihat di atas kursi ada yang sedang duduk.  Dia menyangka yang sedang duduk itu saya.  Orang itu tampak duduk sambil terus menerus, tidak henti memutar-mutarkan kursi ke kiri dan ke kanan.  

Pulang dari masjid, Hambali kembali lagi ke teras rumah, maksudnya untuk melihat saya yang menurut sangkaannya sedang duduk di kursi baru. Di mengintip dari balik gorden,kemudian menyapa, “Jam berapa sekarang Pak Kiai?  Kenapa selarut ini belum tidur? Atau Pak Kiai, sedang senang-senangnya dengan kursi baru ya?”  Tapi, hambali terheran-heran, karena saya katanya tidak seperti biasanya. Soalnya, Pak Kiai itu kalau ditanya, dalam keadaan sedang apapun, Pasti menjawab.  Dia penasaran, kemudian diamatinya yang sedang duduk itu lebih seksama.  

Ternyata yang sedang duduk itu tubuhnya sangat gendut, berbeda dengan tubuh saya yang kini kurus.  Makin lama, tampak makin jelas, yang duduk itu gendutnya melebihi gendutnya manusia yang paling gendut. Kulit pipinya tampak, sampai bergelambir terjatuh ke bawah.  Begitupun bagian dada dan perutnya, tampaknya sangat gemuk lebih dari gemuk.  Karena pada saat duduk, tampak dada dan perutnya terjatuh dan melebar di atas pahanya.  Wajah dan perawakannnya seperti kodok yang sangat besar yang sedang duduk.  Di kepalanya, tampak memakai topi putih, di lehernya terkalung kain sorban panjang.  

Hambali makin heran, tapi dia terus menatap yang sedang duduk tersebut.  Belum ada pikiran apapun, Dia malah menyangka kalau yang sedang duduk itu adalah tamu saya.  Karena saya tidak pernah memakai topi putih haji atau sorban, karena belum pergi haji.  Kemudian, Hambali ingat, hari itu tidak ada tamu di rumah saya.  Jadi yang sedang duduk itu adalah….!!!  Hambali, akhirnya lari lintang pukang, pontang panting, berlari secepat yang dia bisa. “Braaaak!” Pintu kobong yang tertutup rapat dan dikunci kayu dari dalam, dilabrak.  Tubuhnya terjerembab sesaat sesudah menabrak pintu kobong. Kepalanya benjol karena diadu dengan daun pintu.  Semua santri di kobong yang sedang tertidur akhirnya terbangun.

Saking seringnya saya dan santri-santri saya diganggu dan dijahili oleh jin.  Akhirnya jadi terbiasa. Tidak terlalu takut, seperti pada awal mulai godaan dan gangguan jin itu.  Apalagi, bila teringat akan pesan Ayahanda saya dalam mimpi.  Bahwa, saya dijaga oleh beliau, serta bila si Jin akan berniat mengancam nyawa saya, Insya Allah akan dibela.  Buktinya, ternyata benar apa yang dilakukan si Jin itu dari hari ke hari makin “menjinak”, cuma becanda.  Becandanya jin, yang menurut pemikiran dan perasaan manusia amat sangat di luar batas kemanusiaan.

Sementara itu, saya tidak berhenti berikhtiar bagaimana agar jin itu bisa diusir.  Lebih baik tidak ada satupun mahluk seperti itu yang perkerjaannya hanya mengganggu dengan kejahilan-kejahilan yang tidak lucu dan membahayakan saya dan santri. Akhirnya, saya membuat keputusan untuk menghibur diri. Anggap saja gangguan demi gangguan yang dilakukan oleh jin tersebut, sama dengan saya memelihara topeng monyet atau memelihara monyet yang galak. Semua kejahilan dan gangguan yang dilakukannya, saya ikhlaskan kepada Allah SWT. Allah yang menggerakkan dan membolak-balikkan semua pekerjaan makhluk-Nya. Tanpa seijin-Nya seluruh makhluk di muka bumi ini tidak akan berdaya.  Begitupun, apa yang dialami saya. Tanpa, seijin dari Yang Maha Suci, pasti jin itu tidak bisa melakukan gangguan apapun atas diri saya.

Buktinya dukun sakti mandraguna, tidak satupun yang mampu melawan atau mengusir jin di pesantren saya.  Saking seringnya gangguan jin tersebut, saya jadi hafal kapan dan kira-kira siapa yang akan menjadi korban jin itu.  Terutama pada waktu ada pengajian atau saat berkumpulnya orang-orang di masjid, jin itu pasti muncul dan mengirim terror yang membuat hati yang tidak mengetahui jadi kebat-kebit. Jin itu akan menemui dan muncul dengan segala kejahilan dan godaannya ke hadapan orang-orang yang sompral (ngomongnya nangtangin), para penakut serta entah apa lagi yang menjadi ketidaksukaannya. 

Sebab, dari hasil pengalaman selama ini.  Saya jadi bisa menilai apa yang paling tidak disukai jin itu.  Salah satu ketidaksukaannya adalah pada petai atau bila ada petai di rumah harus langsung dihabiskan sebanyak apapun adanya.  Setiap kali ada petai di rumah, dalam sekejap mata akan hilang dari tempatnya. Walaupun pete tersebut disimpan di lemari yang dikunci. Pasti lenyap! Kemana? Ternyata petai tersebut diambil atau dicuri jin itu.  Kemudian, petai itu dipakai untuk menyembur orang-orang di pesantren.  Semburan petai yang sudah halus seperti sudah dikunyah tersebut, muncrat berhamburan. Penyemburan kunyahan pete yang dilakukan jin itu tidak pandang bulu. Orang yang sedang lewat, sedang mengaji, membaca kitab, atau yang sedang berkumpul mengobrol.  Semua disembur dengan semburan pete yang sudah dikunyahnya! Akhirnya, semua bubar jalan tidak karuan, bila jin itu sudah beraksi menyembur-nyemburkan topan petai kepada korbannnya! 

Semburan-semburan kunyahan petai itu belum berakhir selama petainya masih ada. Anehnya, dia hanya mencuri atau mengambil petai yang ada di rumah saya.  Petai yang ada di warung atau masih melekat pada pohonnya, tidak diganggu gugat.  

Bila orang-orang sedang berkumpul, mengobrol mengisi waktu.  Entah dari mana datangnya, tiba-tiba hujan semburan petai terjadi sangat mendadak.  Menyerang wajah dan tubuh orang-orang yang sedang ngerumpi itu. Mereka mau berlari-berlari kemana.  Berlari ke utara, disangka menjauh dari pusat semburan ternyata malah sebaliknya. Tidak tahu arah yang aman dari semburan petai ke mana. Disangka menjauh dari pusat semburan petai, ternyata malah mendekat.  Masih mending, orang yang berdiam diri dan bersikap pasrah. Tidak akan terlalu disembur si mulut jahil itu. Tapi, orang-orang yang ketakutan dan berlarian ke sana kemari, malah dijadikan bulan-bulanan serangan semburan petai yang sudah dikunyah tersebut!  Akhirnya, seluruh wajah dan rambutnya dipenuhi dengan semburan kunyahan petai yang baunya bertambah-tambah dengan air ludah jin itu yang super lengket! (BERSAMBUNG)

DESSULAEMAN

No comments:

Post a Comment