Tuesday, December 24, 2019

Diculik Dedemit (Bagian Ketiga)


Oleh: HASBA
Prolog
“Tubuhnya terasa seperti melayang di angkasa raya, jiwanya seperti keluar dari tubuhnya. Wujud dirinya terasa mengecil, mengkerut. Mengecil, mengecil, mengecil, terus makin mengecil berproses seperti sebuah balon yang kempis kehabisan angin. Akhirnya, tubuhnya hanya berupa “nuktoh” (partikel) berupa titik hitam. Itu pun tidak berhenti, nuktoh terus mengecil dan akhirnya menghilang, yang tertinggal hanya mata hati. Alam dunia yang begitu luas, kini berada dalam cengkeraman.
-------------------------------------
Sudah tiga hari, tanpa sepengetahuan Ajengan dan para seniornya, dia mewirid doa ajian tersebut. Semua pekerjaan dan rutinitas yang ditugaskan Ajengan kepadanya, terlupakan. Dia seperti lupa segalanya. Lupa tidak berbuka puasa (tajil), lupa untuk sahur, mulutnya tak henti membaca cuplikan ayat Al Quran tersebut karena penasaran ingin menamatkan membacanya dalam satu kali bernafas. Malahan dia mengasingkan diri, agar lebih konsentrasi dengan mengungsi, membuat tempat peristirahatan sendiri di atas salon (tempat tidur) yang semestinya dia tempati dengan alasan tidak ingin diganggu.
Siang malam perutnya tidak terisi makanan secuilpun, selain untuk membatalkan dengan minum sedikit air. Nasi dan lauk-pauk yang dibawakan atau diantarkan oleh Mamat, keponakannya, malah dibuang ke kolam ikan. Dia pergi ke tempat pemandian yang berupa pancuran air, terus membersihkan diri tidak berhenti. Mendadak Alep seperti orang yang was-was, hati dan pikirannya diganggu oleh berbagai macam pikiran dan khayalan bilamana ajian yang diwiridnya berhasil dia dapatkan.
Pikiran Alep yang masih polos, belum mengerti bahayanya ajian yang di wiridkan sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan gurunya. Karena tidak sembarang orang bisa mewirid atau merapal ajian yang ajarkan sang guru. Ada persyaratan-persyaratan dan tatacara khusus yang harus ditaati. Makanya, tidak heran, banyak orang yang mendadak “ngagerebeg” gila tiba-tiba karena tidak mampu menguasai “ajian saepi” karena tidak sesuai dengan tata cara dan persyaratan yang diajarkan guru
Ada tiga ajian saepi yaitu saepi banyu, saepi geni dan saepi banyu. Saepi banyu, menjadikan orang yang menguasainya bisa berjalan di atas air. Saepi geni, orang menguasainya bisa tahan api. Saepi angin, orang yang menguasainya bisa menghilang, atau bisa menembus waktu. Tapi, bagi penterjemah yang paling hebat agar selamat di dunia dan akhirat adalah saepi....kiran alias berbaik sangka (pentejemah).
Malam itu, Alep tidak sholat terawih di mesjid. Dia malah pulang ke rumahnya di Sukamaju, sebuah desa di Kecamatan Kersamanah. Dia berjalan kaki menempuh jarak 10 kilometer, mengikuti rel kereta api Cibatu – Tasikmalaya. Mulutnya tidak berhenti terus bergumam, mewiridkan cuplikan ayat Al Quran, setiap tarikan atau hembusan nafasnya dia barengi dengan membaca ayat tersebut. Istilahnya, tidak ada nafas yang terlewat, tidak ada kedipan mata yang dilakukan selalau dibarengi membaca ayat tersebut. Niatnya, sudah bulat. Ingin bisa menghilang. Karena menurut pemikirannya “Man jadda jiddan pawajadahu” artinya siapa yang niat dan mau berusaha pasti mendapatkan apa yang diniatkan.
Apakah benar dirinya sudah menguasai ilmu menghilang, tidak bisa dilihat oleh manusia? Wallahu a’lam. Hanya saja, sewaktu dia tiba di depan rumahnya. Kemudian dia mengucapkan Assalamu’alaikum! Kepada kedua orangtuanya, tidak ada yang menjawab. Langsung dia masuk ke dalam rumahnya, dia tidak tahu dari mana jalannya, sebab dirinya sudah ada di ruangan tengah rumah. Pintu masih terkunci, Ibu dan Bapaknya sedang melakukan sholat terawih berdua di kamar belakang, yang dijadikan mushola. Lama, dia menunggu kedua orangutanya selesai sholat terawih. Dia melihat ke kamar adik-adiknya semua sudah tertidur lelap.
Selesari orangtuanya sholat terawih, dia memburu ke hadapan mereka untuk mencium tangan seperti yang biasa dilakukannya. Anehnya, kedua orangtuanya tidak memperdulikan dirinya. Kedua orangtuanya malah menuju ke ruangan tengah, lalu mereka membicarakan dirinya.
“Kenapa ya Bu, Si Alep udah lama gak pulang. Apa dia sengaja, agar kita berdua harus menengoknya ke pasantren? Atau jangan-jangan dia kecewa dan marah, karena waktu minta dibeliin baju pantalon (jas atau pakaian resmi Sunda) seperti milik Bapak, gak dikasih!” Ujar Ibunya, tanganya meraih cangkir dari batok kelapa yang berisi kopi hitam, lalu diminumnya, disusul dengan memakan ubi bakar.
“Iya, Bu! Bukannya tidak dikasih. Tapi karena jualan kita belum ada yang laku. Belum, harus memikirkan biaya pembangunan mesjid yang terbengkalai!” Bapaknya menjawab, sambil meniupkan asap roko dari mulutnya ke atas.
Pembicaraan kedua orangtuanya, semua terdengar jelas oleh Alep di kedua telinganya dengan jelas. Alep merasa, sudah tidak diakui anak oleh kedua orangtuanya. Karena, membicarakan dirinya padahal dia ada persis di hadapan mereka berdua. Alep merasa tersinggung harga dirinya.
“Ah, ternyata aku sudah tidak diakui ole kedua orangtua. Mereka sudah tidak mempedulikan kehadiranku. Mereka malah membicarakan aku di hadapan mereka!” Pelan-pelan Alep berjalan menuju ke pintu. Mau keluar. Baru saja hatinya, berkata mau keluar dari rumah. Tubuhnya tiba-tiba sudah berada di luar rumah. Dia menuju ke bangunan mesjid yang baru setengah jadi. Terbengkalai, karena ketiadaan dana seperti kata Bapaknya tadi. Papan yang banyak diberdirikan, dia rapikan, disusun sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk alas tidur. Dia membaringkan tubuhnya di atas papan tersebut. Teringat, dia belum melaksanakan sholat Isa. Dia berwudhu melakukan sholat Isa, lalu melakukan sholat terawih.
Selesai membaca do’a sholat witir, mulutnya kembali menggumam berdzikir sambil bersandar pada kusen. Sekejap dia tertidur. Tubuhnya berpindah ke atas papan yang disusunya tadi. Matanya terbuka, menatap ke atas langit. Bulan tampak sudah di atas, tanda tengah malam telah tiba. Tubuhnya terasa seperti melayang di angkasa raya, jiwanya seperti keluar dari tubuhnya. Wujud dirinya terasa mengecil, mengkerut. Mengecil, mengecil, mengecil, terus makin mengecil berproses seperti sebuah balon yang kempis kehabisan angin.
Akhirnya, tubuhnya hanya berupa “nuktoh” (partikel) berupa titik hitam. Itu pun tidak berhenti, nuktoh terus mengecil dan akhirnya menghilang, yang tertinggal hanya mata hati. Alam dunia yang begitu luas, kini berada dalam cengkeraman. Tidak berbeda seperti menghadapi sebuah mangkuk bisa melihat semua isi di dalamnya. (BERSAMBUNG)
DESSULAEMAN

No comments:

Post a Comment