Oleh : HASBA
Jin tetap jin, adat,
budaya, bahasa dan kebiasaannya pasti jauh berbeda dengan manusia. Masih
teringat, dalam beberapa suratnya, banyak kalimat-kalimat yang mungkin menurut
bahasa jin itu ada satu bentuk rayuan untuk orang yang dicintai. Tapi, dalam
pandangan saya justru cenderung menggelikan sekaligus menjijikan. Dalam
bahasa manusia, kita menggambarkan kecantikan seorang wanita dengan bahasa yang
tersembunyi berbentuk euphimisme, ironi atau metafora. Misalnya, wajahnya cantik jelita bercahaya,
raut wajahnya seperti telur, alis tebal dengan bola mata yang jeli dihiasi bulu
mata lentik, hidungnya mancung, pipi kentitnya berpadu dengan bibir tipis
memerah delima.
Bahasa rayuan dalam
bahasa jin, berbeda Siti Kolbuniyah pernah menuliskan sifat-sifat dan ciri-ciri
tubuhnya sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Dia menceritakan bagaimana
kecantikan dirinya sebagai seorang putri: bulu hidungnya sangat tebal keluar dari
lubang hidungnya, sangat tebal dan keras seperti lidi, bulu keteknya di ketiak
kiri kanannya sangat tebal dan keras seperti kawat. Dia menganggap bahasa yang
dalam bahasa manusia sebagai bahasa ejekan, adalah bahasa yang baik dan indah.
Ada kalimat seperti ini:
“Habibi pasti akan tertarik kepada Ana. Ana adalah seorang putri yang cantik
jelita. Ana adalah putri Ratu Habsyi, yang terkenal di mancanegara. Ana adalah bintang dari segala bintang wanita
tercantik di negeri Habsyi. Bulu ketiak Ana, lebat dan tebal belum pernah
diusap-usap. Ana berharap, bila kelak kita sudah menikah. Bulu ketiak Ana,
ingin diusap-usap dengan penuh kasih sayang oleh Habibi pujaan hati. Bila
Habibi berkenan, nanti lihat betapa indahnya bulu hidung Ana. Hitam dan
tebal keras seperti lidi, saking panjangnya keluar dari kedua lubang hidung
Ana.” Kemudian, satu demi satu semua bulu yang ada di tubuhnya disebutkan
sifat-sifat dan ciri-cirinya sampai-sampai dia menyebutkan ciri dari bulu di
….. (yang membuat saya sebal dan ingin ketawa).
Lewat dua hari kemudian
setelah menerima surat pamitan dari Siti Kolbuniyah. Masyarakat yang
berada di bagian atas Pesantren,yaitu kampung Legok, konon melihat
iring-iringan “manusia” yang dikawal pasukan berseragam kerajaan.
Iring-iringan tersebut diiringi musik semacam perkusi atau drum band. Pakaian pasukan tersebut seragam, ada pasukan
berseragam dari kulit hewan sepertinya dari kulit keledai atau bigal, pasukan
berseragam kulit macan tutul dan loreng, memakai penutup kepala seperti kepala
singa.
Rombongan tersebut
berbaris rapi, mengikuti bunyi genderang yang ditabuh bersamaan dengan nada
lambat dan sedih. Ratusan bendera dan umbul-umbul, dengan diiringi
rombongan putri yang mengiringi empat orang prajurit yang membawa sebuah
jampana (semacam tandu). Jampana tersebut dihias dengan aneka kain dan
kertas aneka warna seperti tandu hias yang untuk pengantin.
Semua orang yang melihat
rombongan kerajaan tersebut ke luar dari arah pesantren waktu itu.
Menyatakan kekesalan dan uneg-uneg hati dan perasaannya kepada saya. Kenapa hajat (kenduri) mengadakan pesta
resepsi, dengan rombongan yang begitu banyaknya sampai tidak mengundang
tetangga? Saya, jadi bengong dan rikuh sendiri. Karena tidak merasa pernah menyelenggarakan
resepsi atau kenduri apapun. Apalagi,
dengan iring-iring musik perkusi dan genderang.
Amit-amit, dalam suasana susah, malah mengadakan pesta.
Tidak ingat sedikitpun,
bahwa hari itu adalah hari di mana saya membaca surat pamitan dari Siti
Kolbuniyah. Mungkin saja, iring-iringan dan rombongan pasukan kerajaan
tersebut adalah kepulangan Siti Kolbuniyah yang sengaja dijemput oleh pasukan
kerajaan dari negeri Habsyi. Sampai hari ini, kejadian heboh adanya
iring-iringan rombongan pasukan kerajaan istana masih bisa didengar oleh santri
alumni yang masih hidup,yang kemudian diceritak kembali kepada anak
cucunya.
Seminggu kemudian, saya
kembali dibuat terkejut dan rasa kaget campur ketar-ketir. Karena, di
atas paimbaran (tempat imam) mesjid ditemukan sebuah surat. Surat ini, berbeda dari biasanya.
Tulisannya sangat rapi dan indah, tapi bisa dipastikan itu dari Siti
Kolbuniyah. Bahasanya sangat tertata indah dengan gaya bahasa seperti ditulis
pujangga. Isinya berbentuk tembang kinanti dan sinom:
KINANTI
Ya Allah ya Robbul Gafur
(Ya Allah, Yang Maha Pengampun)
anu sipat Rahman Rahim
(yang bersifat Pengasih dan Penyayang)
anu asih ka hambana
(Penyayang terhadap semua hambanya)
sumangga abdi tingali
(silakan lihat diri hamba)
hamba Gusti nu sangsara
(hamba Gusti yang sengsara)
nu di kubur ku prihatin
(yang terkubur oleh keprihatinan)
Nyeri nyerep kana sungsum
(rasa sakit menyerap ke sumsum tulang)
sumarambah kana geutih
(menyebar ke dalam darah)
awak asa disasaak (badan
tersiksa habis-habisan)
ati asa tingsalewir (hati
seperti diiris-iris tipis)
urat asa pararegat
(otot-otot tubuh seperti putus)
nyeri saliring jasmani
(sakit seluruh jasmani)
Keur lulus dipegat umur
(sedang lulus diputus umur)
keur asih disilih pati
(sedang bercumbu kasih dijemput maut)
keur suka dipegat
nyawa (sedang bersukaria diputus nyawa)
salaki ngemasi pati
(Suami bertemu mati)
dék seca teu ditarima
(mau melimpahkan suka ditolak)
dék ngabdi teu diperduli
(mau menumpahkan diri tidak dipedulikan)
Aduh pileuleuyan
umur (Aduh, selamat tinggal umur)
mo lami di alam multi
(Tidak akan lama di alam fana)
mo lami di alam dunya
(Tidak akan lama di alam dunia)
teu kuat bahan kanyeri
(Tidak kuat menahan sakit hati)
raga dikubur tunggara
(Raga dikubur sengsara)
diri dipirig kanyeri (diri
ini diiringi sakit diri)
Duh panon poé nu
ngagempur (Duh, sang surya yang menyala)
Duh bulan anu dumeling
(Duh, bulan yang terang benderang)
Cik ieu Kuring tulungan
(Tolonglah diri ini)
Ulah nyeri-nyeri
teuing (Jangan terlalu sakit_
Suga anjeun diijabah
(Semoga engkau dikabulkan)
Da anjeun mah mah mahluk
suci (Karena engkau makhluk yang suci)
Pangnedakeun ka Yang
Agung (Mintakan kepada Yang Agung)
sapaatna diri kuring
(berikan manfaat kepada diri hamba)
muga aya kakiatan (semoga
diberikan kekuatan)
ulah kieu-kieu teuing
(jangan terlalu disakiti)
aduh Gusti henteu kiat
(Aduh Gusti saya tidak kuat)
Peurih nyeri ngajaletit
(perih tidak terkira)
Hé manusa nu adigung
(Hei, manusia yang sombong)
nu telenges ieu aing
(yang teramat jahat kepada saya)
nu ikhlas taya
ras-rasan (yang ikhlas tanpa perasaan)
henteu nolih kanu peurih
(tidak melihat yang sakit parah)
teu ngarampa kan arasa
(tidak meraba pada yang merasa)
abong-abong eukeur mukti
(mentang-mentang sedang berani)
Embung ngarérét sarambut
(Tidak mau melihat seujung rambut)
embung nolih kanu sedih
(Tidak mau peduli kepada yang sedih)
Urut indit babarengan
(Mantan kekasih yang berangkat bersama-sama)
ari balik ngagilincing
(Tapi diri harus pulang sendirian)
salalki dibégal nyawa
(Suami dibegal nyawa)
dipaké ganti teu nampi
(dipakai ganti tidak diterima)
Kaula amit dék mundur
(hamba mohon diri)
bari mawa ati nyeri
(sambil membawa sakit hati)
mawa gambar dina rasari
(membawa gambar dalam diri)
nu matri di sanubari
(yang terpatri dalam sanubari)
anu atra dina dada (tegas
nyata dalam dada)
nu mo bisa leungit deui
(yang tidak bisa lenyap lagi)
Rap ku lemah rup padung
(kembali ke tanah, kembali ke nisan)
moal pulih nya kapeurih
(tidak akan sembuh rasa perih)
duh manusa kaniaya (Duh
manusia yang aniaya)
abong-abong kanu laip
(mentang-mentang kepada yang lemah)
teu aya pisan rasrasan
(tidak ada perasaan)
téga téh kacida teuing
(tega sekali tiada tara)
SINOM
Pileuleuyan Pulo
Jawa (Selamat tinggal Pulau Jawa)
Mo bisa papanggih deui
(Tidak akan bertemu lagi)
Ieu kula nu sangsara
(inilah saya yang sengsara)
Balik bari ceurik getih
(pulang dengan tangis darah)
Do'akeun masing tigin
(do’akan dengan lantang)
Sing sumerah ka Yang
Agung (Serahkan diri pada Yang Agung)
Pileuleuyan Ajengan
(Selamat tiggal Ajengan)
Gambar anjeun dina Ati
(Gambar engkau selalu di hati)
Dék dipaké jimat tepi ka
Kiamat (akan dipakai ajimat sampai kiamat)
Siti
Kolbuniyyah
Sejak hari itu, Pesantren
Keresek, Alhamdulillah aman. Tidak terjadi kejadian-kejadian di luar nalar yang
tidak diinginkan. Namun, pada tahun 1963 terjadi lagi kejadian yang membuat
kehebohan. Yaitu, hilangnya seorang santri selama tiga bulan. Tiga bulan
kemudian, santri itu kembali pulang dengan sendirinya. Kisahnya sangat aneh dan
misterius, sebab santri itu menceritakan pengalamannya dibawa ke negeri Habsyi,
Negara Jin daerah kekuasaan Siti Kolbuniyah. Sampai hari ini, santri
tersebut masih hidup dan telah menjadi seorang kiai dan memimpin sebuah
pesantren di Garut. Nantikan kisahnya dengan judul : Diiwat Dedemit (Diculik
Dedemit)
Hapunten (T.A.M.A.T)
HASBA
No comments:
Post a Comment