Sunday, December 15, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (TAMAT)


Oleh : HASBA


Jin tetap jin, adat, budaya, bahasa dan kebiasaannya pasti jauh berbeda dengan manusia.  Masih teringat, dalam beberapa suratnya, banyak kalimat-kalimat yang mungkin menurut bahasa jin itu ada satu bentuk rayuan untuk orang yang dicintai. Tapi, dalam pandangan saya justru cenderung menggelikan sekaligus menjijikan.  Dalam bahasa manusia, kita menggambarkan kecantikan seorang wanita dengan bahasa yang tersembunyi berbentuk euphimisme, ironi atau metafora.  Misalnya, wajahnya cantik jelita bercahaya, raut wajahnya seperti telur, alis tebal dengan bola mata yang jeli dihiasi bulu mata lentik, hidungnya mancung, pipi kentitnya berpadu dengan bibir tipis memerah delima.

Bahasa rayuan dalam bahasa jin, berbeda Siti Kolbuniyah pernah menuliskan sifat-sifat dan ciri-ciri tubuhnya sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Dia menceritakan bagaimana kecantikan dirinya sebagai seorang putri: bulu hidungnya sangat tebal keluar dari lubang hidungnya, sangat tebal dan keras seperti lidi, bulu keteknya di ketiak kiri kanannya sangat tebal dan keras seperti kawat. Dia menganggap bahasa yang dalam bahasa manusia sebagai bahasa ejekan, adalah bahasa yang baik dan indah.

Ada kalimat seperti ini: “Habibi pasti akan tertarik kepada Ana. Ana adalah seorang putri yang cantik jelita.  Ana adalah putri Ratu Habsyi, yang terkenal di mancanegara.  Ana adalah bintang dari segala bintang wanita tercantik di negeri Habsyi.  Bulu ketiak Ana, lebat dan tebal belum pernah diusap-usap. Ana berharap, bila kelak kita sudah menikah. Bulu ketiak Ana, ingin diusap-usap dengan penuh kasih sayang oleh Habibi pujaan hati. Bila Habibi berkenan, nanti lihat betapa indahnya bulu hidung Ana.  Hitam dan tebal keras seperti lidi, saking panjangnya keluar dari kedua lubang hidung Ana.” Kemudian, satu demi satu semua bulu yang ada di tubuhnya disebutkan sifat-sifat dan ciri-cirinya sampai-sampai dia menyebutkan ciri dari bulu di ….. (yang membuat saya sebal dan ingin ketawa).  

Lewat dua hari kemudian setelah menerima surat pamitan dari Siti Kolbuniyah.  Masyarakat yang berada di bagian atas Pesantren,yaitu kampung Legok, konon melihat iring-iringan “manusia” yang dikawal pasukan berseragam kerajaan.  Iring-iringan tersebut diiringi musik semacam perkusi atau drum band.  Pakaian pasukan tersebut seragam, ada pasukan berseragam dari kulit hewan sepertinya dari kulit keledai atau bigal, pasukan berseragam kulit macan tutul dan loreng, memakai penutup kepala seperti kepala singa. 

Rombongan tersebut berbaris rapi, mengikuti bunyi genderang yang ditabuh bersamaan dengan nada lambat dan sedih.  Ratusan bendera dan umbul-umbul, dengan diiringi rombongan putri yang mengiringi empat orang prajurit yang membawa sebuah jampana (semacam tandu).  Jampana tersebut dihias dengan aneka kain dan kertas aneka warna seperti tandu hias yang untuk pengantin. 

Semua orang yang melihat rombongan kerajaan tersebut ke luar dari arah pesantren waktu itu.  Menyatakan kekesalan dan uneg-uneg hati dan perasaannya kepada saya.  Kenapa hajat (kenduri) mengadakan pesta resepsi, dengan rombongan yang begitu banyaknya sampai tidak mengundang tetangga?  Saya, jadi bengong dan rikuh sendiri.  Karena tidak merasa pernah menyelenggarakan resepsi atau kenduri apapun.  Apalagi, dengan iring-iring musik perkusi dan genderang.  Amit-amit, dalam suasana susah, malah mengadakan pesta.

Tidak ingat sedikitpun, bahwa hari itu adalah hari di mana saya membaca surat pamitan dari Siti Kolbuniyah.  Mungkin saja, iring-iringan dan rombongan pasukan kerajaan tersebut adalah kepulangan Siti Kolbuniyah yang sengaja dijemput oleh pasukan kerajaan dari negeri Habsyi.  Sampai hari ini, kejadian heboh adanya iring-iringan rombongan pasukan kerajaan istana masih bisa didengar oleh santri alumni yang masih hidup,yang kemudian diceritak kembali kepada anak cucunya.  

Seminggu kemudian, saya kembali dibuat terkejut dan rasa kaget campur ketar-ketir.  Karena, di atas paimbaran (tempat imam) mesjid ditemukan sebuah surat.  Surat ini, berbeda dari biasanya.  Tulisannya sangat rapi dan indah, tapi bisa dipastikan itu dari Siti Kolbuniyah. Bahasanya sangat tertata indah dengan gaya bahasa seperti ditulis pujangga. Isinya berbentuk tembang kinanti dan sinom:

KINANTI

Ya Allah ya Robbul Gafur (Ya Allah, Yang Maha Pengampun)
anu sipat Rahman Rahim (yang bersifat Pengasih dan Penyayang) 
anu asih ka hambana (Penyayang terhadap semua hambanya)
sumangga abdi tingali (silakan lihat diri hamba)
hamba Gusti nu sangsara (hamba Gusti yang sengsara)
nu di kubur ku prihatin (yang terkubur oleh keprihatinan)

Nyeri nyerep kana sungsum (rasa sakit menyerap ke sumsum tulang)
sumarambah kana geutih (menyebar ke dalam darah)
awak asa disasaak (badan tersiksa habis-habisan)
ati asa tingsalewir (hati seperti diiris-iris tipis)
urat asa pararegat (otot-otot tubuh seperti putus)
nyeri saliring jasmani (sakit seluruh jasmani)

Keur lulus dipegat umur (sedang lulus diputus umur)
keur asih disilih pati (sedang bercumbu kasih dijemput maut)
keur suka dipegat nyawa  (sedang bersukaria diputus nyawa)
salaki ngemasi pati (Suami bertemu mati)
dék seca teu ditarima (mau melimpahkan suka ditolak)
dék ngabdi teu diperduli (mau menumpahkan diri tidak dipedulikan)

Aduh pileuleuyan umur  (Aduh, selamat tinggal umur)
mo lami di alam multi (Tidak akan lama di alam fana)
mo lami di alam dunya (Tidak akan lama di alam dunia)
teu kuat bahan kanyeri (Tidak kuat menahan sakit hati)
raga dikubur tunggara (Raga dikubur sengsara)
diri dipirig kanyeri (diri ini diiringi sakit diri)

Duh panon poé nu ngagempur (Duh, sang surya yang menyala)
Duh bulan anu dumeling (Duh, bulan yang terang benderang)
Cik ieu Kuring tulungan (Tolonglah diri ini)
Ulah  nyeri-nyeri teuing (Jangan terlalu sakit_
Suga anjeun diijabah (Semoga engkau dikabulkan)
Da anjeun mah mah mahluk suci (Karena engkau makhluk yang suci)

Pangnedakeun ka Yang Agung  (Mintakan kepada Yang  Agung)
sapaatna diri kuring (berikan manfaat kepada diri hamba)
muga aya kakiatan (semoga diberikan kekuatan)
ulah kieu-kieu teuing (jangan terlalu disakiti)
aduh Gusti henteu kiat (Aduh Gusti saya tidak kuat)
Peurih nyeri ngajaletit (perih tidak terkira)

Hé manusa nu adigung (Hei, manusia yang sombong)
nu telenges ieu aing (yang teramat jahat kepada saya)
nu  ikhlas taya ras-rasan (yang ikhlas tanpa perasaan)
henteu nolih kanu peurih (tidak melihat yang sakit parah)
teu ngarampa kan arasa (tidak meraba pada yang merasa)
abong-abong eukeur mukti (mentang-mentang sedang berani)

Embung ngarérét sarambut (Tidak mau melihat seujung rambut)
embung nolih kanu sedih (Tidak mau peduli kepada yang sedih)
Urut indit babarengan (Mantan kekasih yang berangkat bersama-sama)
ari balik ngagilincing (Tapi diri harus pulang sendirian)
salalki dibégal nyawa (Suami dibegal nyawa)
dipaké ganti teu nampi (dipakai ganti tidak diterima)

Kaula amit dék mundur (hamba mohon diri)
bari mawa ati nyeri (sambil membawa sakit hati)
mawa gambar dina rasari (membawa gambar dalam diri)
nu matri di sanubari (yang terpatri dalam sanubari)
anu atra dina dada (tegas nyata dalam dada)
nu mo bisa leungit deui (yang tidak bisa lenyap lagi)

Rap ku lemah rup padung (kembali ke tanah, kembali ke nisan)
moal pulih nya kapeurih (tidak akan sembuh rasa perih)
duh manusa kaniaya (Duh manusia yang aniaya)
abong-abong kanu laip (mentang-mentang kepada yang lemah)
teu aya pisan rasrasan (tidak ada perasaan)
téga téh kacida teuing (tega sekali tiada tara)

SINOM

Pileuleuyan Pulo Jawa  (Selamat tinggal Pulau Jawa)
Mo bisa papanggih deui (Tidak akan bertemu lagi)
Ieu kula nu sangsara (inilah saya yang sengsara)
Balik bari ceurik getih (pulang dengan tangis darah)
Do'akeun masing tigin (do’akan dengan lantang)
Sing sumerah ka Yang Agung (Serahkan diri pada Yang Agung)
Pileuleuyan Ajengan (Selamat tiggal Ajengan)
Gambar anjeun dina Ati (Gambar engkau selalu di hati)
Dék dipaké jimat tepi ka Kiamat (akan dipakai ajimat sampai kiamat)

                                                                                                            Siti Kolbuniyyah


Sejak hari itu, Pesantren Keresek, Alhamdulillah aman. Tidak terjadi kejadian-kejadian di luar nalar yang tidak diinginkan. Namun, pada tahun 1963 terjadi lagi kejadian yang membuat kehebohan. Yaitu, hilangnya seorang santri selama tiga bulan. Tiga bulan kemudian, santri itu kembali pulang dengan sendirinya. Kisahnya sangat aneh dan misterius, sebab santri itu menceritakan pengalamannya dibawa ke negeri Habsyi, Negara Jin daerah kekuasaan Siti Kolbuniyah.  Sampai hari ini, santri tersebut masih hidup dan telah menjadi seorang kiai dan memimpin sebuah pesantren di Garut. Nantikan kisahnya dengan judul : Diiwat Dedemit (Diculik Dedemit)


Hapunten (T.A.M.A.T)

HASBA


No comments:

Post a Comment