Thursday, January 2, 2020

Diculik Dedemit (Bagian Keenam)

Diculik Dedemit (Bagian Keenam)

Oleh : HASBA

Di Habsyi, Alep bertemu dengan temannya yang sama-sama berasal dari Garut, bernama Ateng dari Kadungora, Leles.  Pertemuannya dengan Ateng di negeri itu menjadikan mereka menjadi teman akrab, di mana ada Alep pasti ada Ateng. Alep tinggal di negeri Habsyi cukup lama. Alep sempat ikut sholat Jum’at dan sholat Idul Fitri.  Pada malam Idul Fitri, terdengar ramai suara meriam.   Alep jadi teringat kampung halaman sewaktu membunyikan meriam karbit dari pohon paku/pakis, suaranya menggelegar membuat bumi bergetar sampai ke kampung di bawah.

Suara bedug yang ditabuh dan suara takbir di mesjid, anak-anak sepantaran dirinya ramai berebut makanan yang dikirim ke mesjid, wajit, ranginang, awug singkong, berserak di atas tikar tidak termakan saking banyaknya. 

Alep berkelana melanglang buana, tinggal di mancanegara.  Menginjak tanah negeri asing yang belum pernah diinjak sebelumnya, bahkan tidak pernah bermimpi sedikit pun bisa menginjakankaki negeri Yaman dan Habsyi.  Nama negeri Habsyi dia hanya mengetahui dari kisah “Jin Islam di Keresek” yang menyatakan bahwa Siti Kolbuniyah adalah dari Negeri Habsyi.  Malahan dalam beberapa suratnya kepada Ajengan di akhir suratnya, sering tertulis: “Siti Qolbuniyah Al Habsyiyah”.  

Terdampar di Negeri Iliya

Di antara negara-negara yang pernah dikunjungi Alep setelah dari negeri Habsyi ada nama negeri Iliya, tapi apa benar di negara sekitar Arab ada negara yang bernama Negara Iliya?  Atau hanya sekedar rekaan.  Alep tidak sempat mencari kebenaran nama negeri itu. Kalau memang benar ada, sebelah mananya negeri Habsyi?  Letaknya di sebelah mana negeri Yaman? Hanya yang pernah dialami Alep waktu keramaian dan keindahan di negeri itu mengingatkan Alep dongeng dalam riwayat Sahrul-jad dalam cerita “Alfulaila”. 

Di Negeri Ilya, Alep banyak bertemu dengan sesama orang Priangan, ada yang mengaku dari Tasikmalaya, dari Majalaya, dan daerah-daerah lainnya.  Rata-rata usia mereka hampir sama usianya dengan usia Alep. Usia-usia labil, masa remaja sudah lewat, masuk usia dewasa juga belum.  Masa pubertas mungkin lebih tepatnya, masa-masa bermain dan mencari identitas diri.  

Saat Alep bertemu dengan mereka, jadi lupa bermain, mereka malah asyik mengobrol dan menceritakan pengalaman masing-masing.  Ada anak yang bercerita sudah tiga tahun tinggal di negeri Iliya,  dan merasa betah karena disambut sepenuhnya oleh pribumi seperti seperti menyambut seorang bangsawan.  Dimanjakan dengan segala kesenangan dan kemewahan.  Ada anak yang bercerita ingin pulang, rindu kampung halaman.  

Seindah-indahnya, seenak-enaknya tinggal di negeri orang tidak seindah dan tidak seenak tinggal di negeri sendiri. Istilahnya lebih enak hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan uang di negeri orang.  Tapi, anak-anak yang ingin pulang tidak tahu arah jalan pulang, tidak tahu bagaimana bisa kembali ke kampung halaman.  Bilamana, bercerita ke induk semang yang merawat dan ditinggalinya, mereka malah merayu dan menghibur mereka agar lupa untuk pulang.  

“Bukannya, meledek dan tidak ingin pulang.  Saya juga mengalami hal itu. Ingin pulang tapi tidak tahu bagaimana cara pulang!” ujar Ateng, teman Alep dari Kadungora, menimpali cerita beberapa anak yang menceritakan keinginan mereka untuk pulang ke kampung halaman tapi terbentur ketidaktahuan jalan pulang.  Mereka asyik mengobrol sampai lupa waktu.  Sudah menjadi hal yang lumrah, bila sesama manusia berasal dari negeri yang sama, bertemu di negara lain maka akan menjadi seperti saudara karena merasa senasib dan sepenanggungan. Saling menjaga dan saling menitipkan diri satu dengan yang lain. 

Sakit Ingin Pulang.

Tengah malam teramat sepi, yang terdengar hanya suara desir angin di luar meniup gorden.  Terasa dingin menyelusup, menembus jeruji jendela. Semua pasien tertidur pulas.  Ateng yang menemani Alep juga tertidur pulas, terdengar dengkurannya cukup keras.  Di luar tidak terdengar suara sepatu pantopel perawat yang jaga malam.  Sepertinya para perawat yang berjaga tidak mampu melawan rasa kantuknya. Takluk oleh rasa kantuk, kemudian pulas tertidur lupa akan tugasnya. Mata Alep tidak bisa terpejam, tidak bisa tertidur seperti yang lain. Sekalinya tertidur, hanya sekejap, lalu kembali terbuka karena terganggu oleh serangan batuk yang tiada henti. Akhirnya, Alep hanya bisa memandang langit-langit, melamun. Pikirannya melayang kemana-kemana.
.
Sudah tiga hari Alep dirawat di rumah sakit terserang penyakit panas, demam tinggi tidak berhenti.  Hatinya mendadak terkesiap, teringat kampung halamannya. Wajah adik dan kedua orangtuanya tiba-tiba bermunculan dalam pikirannya.  Dalam bayangannya tampak ibunya sedang menunggu kedatangan dirinya, yang tidak pulang-pulang.  Terbayang, bagaimana kalut kedua orangtua atas kepergiannya.  

Terbayang bagaimana bingung dan sibuknya Kang Ajengan mencari keberadaan dirinya, karena sudah berbulan-bulang pergi tanpa pamit dari pesantren.  Sungguh manusia tak tahu diri, tak tahu membalas budi, hanya menuruti hawa nafsu sendiri, Alep memarahi dirinya sendiri. Kini dirinya, harus terdampar di negeri orang.  

Lalu dia teringat obrolan teman-temannya yang juga ingin pulang, tapi tidak tahu jalan. Tidak tahu caranya bagaimana bisa kembali ke kampung halaman.  Dirinya kini tidak jauh berbeda dengan teman-temannya, terdampar tak bisa kembali. Tak ada ayah, tak ada ibu, tak ada saudara tempat saling berbagi suka dan duka. 

Alep mengusap mukanya yang pucat pasi, sambil membaca istigfar dan membaca do’a – do’a dan ayat suci sejauh yang dia bisa.  Tiba-tiba terdengar suara tanpa wujud, terdengar sangat jelas di telinganya. “Alep anakku!  Sungguh disayangkan kamu terdampar di alam siluman, negara setan genderuwo bandawasa.  Cepat, kamu menyingkir dari negeri ini! Tidak lama lagi, alam setan, jin, siluman bandawasa ini akan dihancurkan!” (BERSAMBUNG)

DESSULAEMAN