Thursday, January 2, 2020

Diculik Dedemit (Bagian Keenam)

Diculik Dedemit (Bagian Keenam)

Oleh : HASBA

Di Habsyi, Alep bertemu dengan temannya yang sama-sama berasal dari Garut, bernama Ateng dari Kadungora, Leles.  Pertemuannya dengan Ateng di negeri itu menjadikan mereka menjadi teman akrab, di mana ada Alep pasti ada Ateng. Alep tinggal di negeri Habsyi cukup lama. Alep sempat ikut sholat Jum’at dan sholat Idul Fitri.  Pada malam Idul Fitri, terdengar ramai suara meriam.   Alep jadi teringat kampung halaman sewaktu membunyikan meriam karbit dari pohon paku/pakis, suaranya menggelegar membuat bumi bergetar sampai ke kampung di bawah.

Suara bedug yang ditabuh dan suara takbir di mesjid, anak-anak sepantaran dirinya ramai berebut makanan yang dikirim ke mesjid, wajit, ranginang, awug singkong, berserak di atas tikar tidak termakan saking banyaknya. 

Alep berkelana melanglang buana, tinggal di mancanegara.  Menginjak tanah negeri asing yang belum pernah diinjak sebelumnya, bahkan tidak pernah bermimpi sedikit pun bisa menginjakankaki negeri Yaman dan Habsyi.  Nama negeri Habsyi dia hanya mengetahui dari kisah “Jin Islam di Keresek” yang menyatakan bahwa Siti Kolbuniyah adalah dari Negeri Habsyi.  Malahan dalam beberapa suratnya kepada Ajengan di akhir suratnya, sering tertulis: “Siti Qolbuniyah Al Habsyiyah”.  

Terdampar di Negeri Iliya

Di antara negara-negara yang pernah dikunjungi Alep setelah dari negeri Habsyi ada nama negeri Iliya, tapi apa benar di negara sekitar Arab ada negara yang bernama Negara Iliya?  Atau hanya sekedar rekaan.  Alep tidak sempat mencari kebenaran nama negeri itu. Kalau memang benar ada, sebelah mananya negeri Habsyi?  Letaknya di sebelah mana negeri Yaman? Hanya yang pernah dialami Alep waktu keramaian dan keindahan di negeri itu mengingatkan Alep dongeng dalam riwayat Sahrul-jad dalam cerita “Alfulaila”. 

Di Negeri Ilya, Alep banyak bertemu dengan sesama orang Priangan, ada yang mengaku dari Tasikmalaya, dari Majalaya, dan daerah-daerah lainnya.  Rata-rata usia mereka hampir sama usianya dengan usia Alep. Usia-usia labil, masa remaja sudah lewat, masuk usia dewasa juga belum.  Masa pubertas mungkin lebih tepatnya, masa-masa bermain dan mencari identitas diri.  

Saat Alep bertemu dengan mereka, jadi lupa bermain, mereka malah asyik mengobrol dan menceritakan pengalaman masing-masing.  Ada anak yang bercerita sudah tiga tahun tinggal di negeri Iliya,  dan merasa betah karena disambut sepenuhnya oleh pribumi seperti seperti menyambut seorang bangsawan.  Dimanjakan dengan segala kesenangan dan kemewahan.  Ada anak yang bercerita ingin pulang, rindu kampung halaman.  

Seindah-indahnya, seenak-enaknya tinggal di negeri orang tidak seindah dan tidak seenak tinggal di negeri sendiri. Istilahnya lebih enak hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan uang di negeri orang.  Tapi, anak-anak yang ingin pulang tidak tahu arah jalan pulang, tidak tahu bagaimana bisa kembali ke kampung halaman.  Bilamana, bercerita ke induk semang yang merawat dan ditinggalinya, mereka malah merayu dan menghibur mereka agar lupa untuk pulang.  

“Bukannya, meledek dan tidak ingin pulang.  Saya juga mengalami hal itu. Ingin pulang tapi tidak tahu bagaimana cara pulang!” ujar Ateng, teman Alep dari Kadungora, menimpali cerita beberapa anak yang menceritakan keinginan mereka untuk pulang ke kampung halaman tapi terbentur ketidaktahuan jalan pulang.  Mereka asyik mengobrol sampai lupa waktu.  Sudah menjadi hal yang lumrah, bila sesama manusia berasal dari negeri yang sama, bertemu di negara lain maka akan menjadi seperti saudara karena merasa senasib dan sepenanggungan. Saling menjaga dan saling menitipkan diri satu dengan yang lain. 

Sakit Ingin Pulang.

Tengah malam teramat sepi, yang terdengar hanya suara desir angin di luar meniup gorden.  Terasa dingin menyelusup, menembus jeruji jendela. Semua pasien tertidur pulas.  Ateng yang menemani Alep juga tertidur pulas, terdengar dengkurannya cukup keras.  Di luar tidak terdengar suara sepatu pantopel perawat yang jaga malam.  Sepertinya para perawat yang berjaga tidak mampu melawan rasa kantuknya. Takluk oleh rasa kantuk, kemudian pulas tertidur lupa akan tugasnya. Mata Alep tidak bisa terpejam, tidak bisa tertidur seperti yang lain. Sekalinya tertidur, hanya sekejap, lalu kembali terbuka karena terganggu oleh serangan batuk yang tiada henti. Akhirnya, Alep hanya bisa memandang langit-langit, melamun. Pikirannya melayang kemana-kemana.
.
Sudah tiga hari Alep dirawat di rumah sakit terserang penyakit panas, demam tinggi tidak berhenti.  Hatinya mendadak terkesiap, teringat kampung halamannya. Wajah adik dan kedua orangtuanya tiba-tiba bermunculan dalam pikirannya.  Dalam bayangannya tampak ibunya sedang menunggu kedatangan dirinya, yang tidak pulang-pulang.  Terbayang, bagaimana kalut kedua orangtua atas kepergiannya.  

Terbayang bagaimana bingung dan sibuknya Kang Ajengan mencari keberadaan dirinya, karena sudah berbulan-bulang pergi tanpa pamit dari pesantren.  Sungguh manusia tak tahu diri, tak tahu membalas budi, hanya menuruti hawa nafsu sendiri, Alep memarahi dirinya sendiri. Kini dirinya, harus terdampar di negeri orang.  

Lalu dia teringat obrolan teman-temannya yang juga ingin pulang, tapi tidak tahu jalan. Tidak tahu caranya bagaimana bisa kembali ke kampung halaman.  Dirinya kini tidak jauh berbeda dengan teman-temannya, terdampar tak bisa kembali. Tak ada ayah, tak ada ibu, tak ada saudara tempat saling berbagi suka dan duka. 

Alep mengusap mukanya yang pucat pasi, sambil membaca istigfar dan membaca do’a – do’a dan ayat suci sejauh yang dia bisa.  Tiba-tiba terdengar suara tanpa wujud, terdengar sangat jelas di telinganya. “Alep anakku!  Sungguh disayangkan kamu terdampar di alam siluman, negara setan genderuwo bandawasa.  Cepat, kamu menyingkir dari negeri ini! Tidak lama lagi, alam setan, jin, siluman bandawasa ini akan dihancurkan!” (BERSAMBUNG)

DESSULAEMAN

Tuesday, December 31, 2019

Diculik Dedemit (Bagian Kelima)

Diculik Dedemit (Bagian Kelima)

Oleh : HASBA

Bahan pakaian yang tadi disisipkan di belakang baju, disisipkan makin ke dalam ke arah pantatnya. Alep merasa khawatir barang itu terjatuh.  Dalam hatinya dia berkata, seandainya nanti kembali ke kobong bahan baju tersebut akan disimpan di bawah genting di atas tempat tidurnya.  Tiba-tiba, di bawah tempat duduknya terasa ada benda keras yang ternyata sebuah genting. Alep merasa seperti di dalam syurga, saat kecil dulu waktu menemani akan tidur, neneknya pernah bercerita. Kelak di syurga tidak perlu susah seperti sekarang. Ingin minum air nira, harus menyadap dulu, ingin makan nasi harus menanak nasi dahulu. Di syurga apapun yang dibayangkan, misalnya ingin ayam bakar langsung berada di depan kita. Itu adalah cerita neneknya, sambil mengusap kepala Alep bila akan tidur. Sekarang ada pengganti nenek yang menyayangi dirinya, yaitu Tuan Syekh.

Ke dalam telinganya, seperti ada suara tanpa wujud yang berbisik, “Bandung!”.  Hati Alep, menuruti suara tanpa wujud tersebut. Dirinya jadi ingin ke Bandung. Dan...dalam sekejap mata dia sudah berada di depan rumah Bibinya di Gang Pamarset, Bandung. Tidak menunggu pintu dibuka, dia sudah berada di dalam.  Tampak oleh Alep bibinya sedang memasak, sepertinya menyiapkan makanan untuk makan siang Pamannya, yang tidak lama lagi akan pulang dari kantor.  Bibinya tidak memperdulikan kehadiran diri Alep yang baru datang.  Padahal, biasanya sangat ramah dan menyambut kedatangan Alep bila berkunjung ke rumah itu.  Anak-anak Bibinya belum pada pulang dari sekolah. Alep merasa tidak diperdulikan oleh Bibinya, dia merasa kecewa.  Dia meninggalkan rumah Bibinya, tanpa menunggu kedatangan Paman dan keponakannya.

Saat dirinya kebingungan karena di Bandung, ternyata Bibinya tidak mempedulikan dirinya.  Terdengar lagi dalam telinganya ada suara, “Yaman! Yaman!” Hati Alep, sudah berpengalaman dengan kejadian suara tanpa wujud yang mengingatkannya untuk ke Bandung. Kali ini pun tidak jauh berbeda, hatinya langsung berbisik ingin ke Yaman. Negara padang pasir sejauh mata memandang dipunugi pasir semata. Kotanya dipenuhi dengan bangunan yang tinggi, seperti pencakar langit. Jalan raya melintang ke berbagai arah dengan permukaan aspal yang licin, mirip jalan undur-undur (serangga kecil yang  berada dalam tanah halus di kolong rumah).  Di kiri dan kanan jalan raya tersebut, dipagari oleh pohon-pohon yang sedang berbuah dengan lebatnya.  Buahnya mirip buah aren (sepertinya pohon kurma, penterjemah).

Jalan yang paling bagus mengarah ke Istana Raja Yaman.  Alep dibawa ke situ ditemani Tuan Syekh yang menemaninya sejak dari Pendopo Garut.  Para pengawal atau hulubalang raja yang berpakaian seragam dinas serta bersenjata lengkap seperti dalam cerita Aladin, memberikan hormat kepada Alep.  Saat sudah berada di dalam istana, mata Alep melotot mengagumi keindahan istana beserta isinya. Di Balai pertemuan, tampak sedang ada musyawarah para pejabat dan menteri kerajaan. Para pelayan wanita yang semuanya berparas cantik, serba gemerlap karena memakai aneka perhiasan dari mutu manikam.

Saat melihat Alep, semua memberikan salam dan mengucapkan selamat datang seperti sudah lama mengenal dirinya. Malahan mereka mengetahui nama dirinya. Hati Alep terasa sejuk sewaktu ditanya oleh para wanita yang berparas cantik.  Jantungnya berdegup kencang, dengan perasaan tak tergambarkan melihat kecantikan mereka.  Seumur-umur, baru hari itu ditanya oleh para wanita dengan paras yang begitu cantik jelita. Keharuman parfum yang harum, semerbak dari tubuh para wanita itu, semakin membuat diri Alep gugup.  Tubuhnya gemetar, kaki dan tangannya mendadak membeku.  Alep jadi merasa serba salah.  Mungkin ini yang digambarkan oleh Kang Ajengan dalam syair Arab yang berbunyi:

Hawaya ma’arrokbil yamanina mus’idu
Hatè tibelat kanugeulis urang Yaman
Kelèt socana nu matak nyèrèdèt
Jung nangtung mileuleuyankeun
Ku Iklas ninggalkeun diri
Nu kantun katrèsna ati

(Hawaya ma’arrokbil yamanina mus’idu
Hati selalu teringat kepada si cantik dari Yaman
Lirikan matanya membuat hati terpikat
Berdiri melambaikan tangan
Dengan ikhlas meninggalkan diri
Yang tinggal hanya cinta di hati).

Sayangnya Alep tidak bisa lama tinggal di negeri Yaman, sebab dirinya merasa mengelilingi dunia belum tuntas.  Lagi- lagi ada suara tanpa wujud terdengar di telinganya.  Suara yang pasti menyebabkan hatinya menurut apa yang diinginkan oleh suara tersebut. “Habsyi! Habsyi!” seperti kondektur yang berteriak di dalam bis atau kereta saat akan tiba di tujuan.  Dalam sekejap dirinya sudah berada di Negeri Habsyi!

Seperti yang sudah terjadi di Negeri Yaman, begitu Alep datang semua mengucapkan selamat datang.  Wajah para penyambut ramah dan sumringah saat melihat kedatangannya. Semua menyambut seperti menyambut kedatangan sahabat yang lama berpisah. Saat mengucapkan selamat datang dan bersalaman, pipi kiri dan kanan Alep dicium seperti adat istiadat orang Arab pada umumnya. Alep meringis karena perasaan geli, saat kumis dan janggut tebal mereka menempel pada pipinya.  Tubuh mereka tinggi besar, kulit mereka hitam legam seperti pantat wajan. Jadi teringat si jago tinju Si Mulut Besar, Muhammad Ali. (BERSAMBUNG)

DESSULAEMAN

(ilustrasi gambar dari Google)

Thursday, December 26, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian Ketujuh)

oleh: Hasba

Konon, isu makin santer bahwa yang marah kepada saya itu adalah Puteri Raja. Artinya jin yang bukan sembarang jin, tapi jin dari kalangan intelektual.  Apatah dia seorang calon permaisuri di negeri Habsyi. Bukan jin sembarang jin, yang sering berada di tempat jorok tapi pastinya jin yang tinggal di istana.  Bukan jin sejenis kuntilanak yang tinggal di selokan sambil terbang ke sana ke sini sambil ngikik. Bukan sembarang jin yang tinggal di pohon beringin tua. Bisa dipastikan jin yang marah kepada saya adalah bukan setan yang seperti itu, dari namanya saja terlihat sangat bagus, Siti Kolbuniyah. Nama yang tidak lazim di kalangan biasa, tapi pasti dari turunan raja. Tambahan lagi dia beragama Islam, buktinya dia bisa mengaji dengan baik dan merdu.
 
Jin Islam ini sangat sakti, walaupun seorang perempuan, tidak mau menyingkir sekalipun dibacakan ayat kursyi.  Bukannya menyingkir saat dibacakan mantera oleh Mak Ecoh yang konon sakti mandra guna jampi-jampinya. Buktinya lagi, saat dibacakan ayat kursyi oleh saya. Dia malah main akrobat, dan mencuri nasi tumpeng. Tidak tanggung-tanggung sekaligus dia mengirim kotoran dengan ukuran dan bau yang begitu hebatnya. Setelah selesai membersihkan kotoran, salah seorang yang bergotong royong ikut membersihkan kotoran berkata:”Dicium dari baunya, sangat pantas kalau setan itu perempuan!” 
“Heh! Iyalah, gak usah dilanjutin ngomongnya!” Ujar saya, sambil terpaksa jadi tertawa ditahan. 
 
Lalu, bagaimana kisah selanjutnya, balas dendam jin Islam itu kepada manusia, seperti yang diucapkannya dalam tembang durma? Kelak, akan diceritakan kemudian.  Sekarang mari kita kisahkan dahulu bagaimana kejadian hari itu selanjutnya. Setelah kita semua membersihkan dan menyertu seluruh ruangan dalam dan luar rumah yang terkena oleh serangan najis jin yang tidak bisa dibayangkan tadi malam.
 
Hari itu seluruh desa Keresek menjadi gempar. Satu kecamatan Cibatu jadi ribut dengan issue. Terdengar sampai desa Cibunar. Ramai orang, berbondong-bondong dari desa Pasir Jengkol. Ramai berebut orang menuju ke cibatu dari kampung Sumur. Berdatangan ramai dari Limbangan, dari Pasir Laja dan dari Congkang. Jadi cerita setiap manusia, mereka saling cerita. Berbagi cerita dengan penduduk setempat atau yang datang sengaja ingin mengetahui ceritanya. 

Cerita yang dikisahkan makin ramai dengan komentar yang mempertanyakan bagaimana bisa makhluk sebangsa jin bisa kababayan (buang air di mana saja). Sekalipun belum pernah terdengar beritanya di dunia. Keanehan itulah yang membuat orang-orang penasaran, ingin mengetahui langsung bagaimana kejadiannya. 

Menyebar hoax yang mengatakan bahwa jin penyerang itu, mewujud dalam bentuk aslinya, bisa kasat mata seperti manusia. Apalagi diributkan, bahwa jin itu sangat cantik paras mukanya, dan bisa menunjukkan berbagai macam keahlian seperti tukang akrobat.  Banyak yang percaya dan menyampaikan doa, banyak juga yang tiak percaya sambil mencibir. Yang tidak percaya terutama kaum menak (bangsawan/berpangkat) yang tinggal di Cibatu yang paling dahulu tiba karena dekat ke pesantren.
 
Di antara mereka ada salah seorang, yang keukeuh ingin melihat bukti nyata akan adanya serangan jin tersebut. Selain dari sikapnya terlihat bahwa menak tersebut tidak percaya akan cerita yang diributkan orang-orang.  Nama menak tersebut, dikenal dengan Juragan Mantri Cacar. Dia bicara lantang dan menantang, ingin melihat dan berjumpa dengan wajah dan wujud jin itu.

“Coba lihat, bagaimana sih rupa jin itu!” katanya dengan jumawa, setengah menantang tanpa rasa takut. Nah, baru saja dia selesai bicara, tiba-tiba entah darimana datangnya. Baju jas putihnya khas perawat yang tampak masih baru disetrika tiba-tiba jadi basah, oleh merah darah air sepah, yang disiramkan dari tempolong (wadah kuningan)! Baju putihnya basah kuyup dan memerah karena air sepah. Tapi air sepah siapa? Dari mana? Tidak ada satupun yang melihatnya. 

Belum hilang rasa kaget, karena baju putih barunya menjadi basah memerah. Tiba-tiba, melayang selembar kertas putih kosong. Tidak ada tulisan atau gambar apapun di atasnya. Ajaib!  Setelah kertas itu tergeletak di hadapan si Juragan Mantri Cacar, muncul tulisan yang muncul dengan sendirinya. Tapi, tidak terlihat siapa yang menulisnya.  Tulisan yang muncul sangat cepat tetapi rapi. Tulisan yang muncul ditulis dengan pensil merah. Persis seperti teks yang muncul di bawah layar saat kita menonton film barat. Seperti itulah, kira-kira proses munculnya tulisan di atas kertas putih tadi.
 
Tulisan apa yang muncul ditulis dengan pensil merah di atas kertas tadi? Ternyata sebuah ancaman yang membuat bulu kuduk berdiri, membuat hati bergidik sendiri. Bunyinya begini:
“Cepat! Kamu minggat dari sini. Bila tidak saya cekik!” Cuma segitu tulisannya. Tapi, efeknya untuk Juragan Mantri Cacar, dia sampai balik kanan lari terbirit-birit, tidak berani menoleh ke belakang. Dia berlari terburu-buru, badannya tampak menggigil. 

Bahkan, dia sampai tidak pamit kepada saya sebagai tuan rumah.  Mungkin, ketakutan yang amat sangat meliputi Juragan Mantri Cacar sehingga dia cepat-cepat berlari pulang. Sebenarnya, kasihan juga. Datang dalam keadaan baju putihnya bersih.  Pulang bajunya jadi belang, merah putih penuh dengan air sepah.  Silakan cek sendiri oleh para pembaca, kebenaran cerita ini kepada para santri yang mungkin masih hidup sekarang. (Bersambung).

DESSULAEMAN

Wednesday, December 25, 2019

Diculik Dedemit (Bagian Keempat)

Diculik Dedemit (Bagian Keempat)
Oleh: HASBA

Alep terkenang dengan sebuah bukit di kampungnya yang disebut “Ragahiyang” yang katanya, tempat dimakamkannya seorang Sunan, yang masih keturunan Sunan Cipancar yang berada di Limbangan. Anehnya, dia langsung berada di puncak bukit itu, tanpa disadari. 
Sunan tersebut ngahiyang (lenyap tak berbekas) di kampung itu, sampai sekarang dikenal dengan istilah “Ragahiyang” dari asal kata “raga” yang berarti tubuh dan “hyang” artinya menghilang.  Terletak di Sukamaju, Kecamatan Kersamanah, Garut.

“Apa mungkin diri saya juga sudah menghilang seperti Sunan Ragahiyang?” ujar Alep dalam hatinya.  Dia merasa bahagia dan bangga, ajian telah berhasil dikuasainya.  Lalu dia menengadahkan kedua lengan ke langit sambil menghadap ke arah barat.   Tampak cahaya lampu listrik dari beberapa  kampung yang tersebar tak beraturan.  Dia teringat dan memperkirakan letak Pesantren Keresek yang tampak kerlap kerlip oleh cahaya listrik. Dia mengusap muka dengan kedua telapak tangannya, tiba-tiba dalam sekejap dia telah berada di bawah pohon jambu air di depan rumah Ajengan. 

Di kolam mesjid tanpa para santri sedang berwudhu.  Di dalam mesjid ramai suara santri para santri sedang membaca ayat suci Al Quran.  Begitulah, kehidupan di Pesantren Keresek, siang malam ramai oleh suara para santri yang mengaji ayat suci, mudakarah kitab sambil bersenda gurau. Dia menuju ke dalam dapur, tampak Mamat sedang memasukan kayu bakar ke dalam tungku, menghangatkan nasi untuk sahur.  Dia ikut duduk di depan tungku, menghangatkan diri.  

Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu dapur di buka dari dalam, Nyai Ajengan masuk ke dalam dapur mendekati Mamat, hampir saja kaki Nyai Ajengan tersandung tubuhnya. Nyai Ajengan terdengar menyebut namanya, “Mat, Si Alep itu ke mana ya! Koq, belum kelihatan?!”  Alep ingin sekali rasanya dia melompat ke arah Mamat dan menutup mulutnya. Takut Mamat membuka rahasia, kalau dia mengamalkan wirid ilmu tanpa seijin Ajengan.  Tapi, dia khawatir kalau si Mamat menjerit karena dibekam oleh dirinya yang tidak terlihat.  Ajengan tidak merasa kehilangan, karena waktu mengaji terlihat Alep hadir.

Waktu itu hari Selasa, tanggal 22 bulan Ramadhan, para santri sudah ramai terbangun dari sebelum waktu sahur, akan berangkat ke Garut.  Mereka akan naik kereta api “Jimwes”(Jim West) atau kereta api kuik yang paling pagi dari stasiun Cibatu. Para santri akan mengantar induk semangnya, Bi Empeh, Bibi warung yang biasa mereka ikut makan atau jajan di warung.  Hari itu Bi Empeh, mendapat panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah.  Di sepanjang jalan ramai orang yang membaca barjanji, diiringi suara rebana.

Tolaal badrualaina
Ma da-al lillahi Da’i
Ayyuhal Mab-us sufina
Ji’tabil amril muto’i

Di sepanjang jalan juga tampak warga kampung, ikut menonton dan ikut mengantar kepergian Bi Empeh berangkat ke Mekah. Semua santri sepertinya terbangun, dan ikut menyaksikan karena ramainya suara barjanji dan rebana serta mendengar suara merdu Nyimas Nurjanah yang cantik jelita, putri Ajengan. Istilahnya sudah cantik jelita, suaranya merdu tiada tara.  Seringkali para santri, mengintip dari kolong. Mencuri dengar kemerduan suara Nyimas Nurjanah saat mengaji atau tadarusan di kobongnya. Enak didengar, tepat gunah, ihfa dan idghom tidak ada kesalahan sedikitpun tajwidnya. 

Sepanjang jalan semua orang, bersalaman dengan Bi Empeh ada juga yang mencium tangan, ada juga yang bersalaman sambil tak henti menangis.  Mungkin mengingat kalau berangkat ke Mekah itu seperti menyabung nyawa, takut tidak kembali lagi.  Di stasiun kereta api Cibatu sudah berkumpul orang-orang yang ingin mengantar naik kereta api sampai ke Garut. Ada juga yang cukup mengantar sampai stasiun Cibatu. 

Tidak lama kemudian, terdengar suara denting bel kereta api yang menandakan kereta akan segera berangkat.  Calon penumpang segera naik, begitupun rombongan  jamaah yang akan berangkat ke Mekah. Gerbong khusus untuk jamaah tidak boleh diisi penumpang lain, selain keluarga Bi Empeh dan para santri. Santri yang sudah senior seperti Mang Makin, Mang Usen lurah sanri, Den Totoh yang naksir Nyimas Nurjanah, Ijudin orang Sukabumi, Si Borohol, Uwoh dan Sirod, Endang Cepron dari Cileunyi yang kalau ngomong seperti sedang mengulum es krim dan banyak lagi yang ikut di dalam gerbong itu.

Peluit panjang dibunyikan, kereta api segera bergerak halus meninggalkan stasiun Cibatu. Di luar kereta, tampak semua orang melambaikan tangan, kadang-kadang sambil mengusap air mata. Sebelum tanjakan Wanakerta kereta api berjalan merayap. Gujes! Gujes! Terengah-engah seperti terserang penyakit asma, menandakan kereta sudah tua, mengingat titimangsa pembuatan yang sudah puluhan tahun.

Kondektur berjalan di dalam kereta, menunaikan tugasnya melubangi tiket kereta. Alep yang ikut di dalam rombongan, bibirnya langsung menggumam membaca ayat ajian saepi atau ajian halimunan yang sudah berhasil dikuasainya. Sang kondektur yang berjalan di depan mukanya, seperti jadi buta.  Tidak melihat keberadaan Alep.  Hal itu sama Alep lakukan, pada saat akan memasuki peron.  Dia lolos, tanpa ada yang menagih karcis atau ada yang melihatnya. 

Tiba di stasiun Garut, rombongan langsung berjalan ke arah pendopo kabupaten.  Di depan gerbang pendopo, Alep kembali tidak ada yang melihat dirinya.  Dia bisa lolos, dengan mudahnya.  Padahal orang lain, bila tidak memakai tanda pengenal di dadanya. Tidak diperbolehkan masuk. 

Di dalam pendopo, Alep hanya bengong, karena tidak ada satupun orang yang dikenalnya selain Bi Empeh, yang terhalang orang jemaah wanita dan jamaah lelaki.  Tambahan lagi, seumur-umur menghirup nafas, baru hari itu dia merasakan masuk ke dalam pendopo. Saat sedang bengong karena tidak ada teman mengobrol, tiba-tiba ada yang mendekati dirinya. Wajah lelaki yang mendekati itu, berpakaian serba putih seperti pakaian orang Arab. Kepala ditutup serban yang dipakai sedemikian rupa sehingga tidak lepas, berjubah putih, jemarinya tidak lepas dari biji tasbih yang dimainkan tidak henti.  Mungkin ini yang disebut “Syekh”, bisik hati Alep. Syekh yang biasa mengurus keberangkatan dan mengurus keperluan haji selama di Mekah. Ah, seandainya diajak oleh Syekh itu ke Mekah, pasti akan ikut. Tidak apa-apa, walau hanya jadi khadam (pesuruh) asal jangan dijadikan abid (budak belian), yang konon abid mah sering diperjualbelikan. Amit-amit jabang bayi! 

Tuan itu mengenalkan dirinya, bernama Hasan. Anehnya, orang itu sudah mengenal nama dirinya.  Malah sesudah mengenalkan diri, dia langsung bertanya seperti sudah kenal lama. “Alep, kamu bukannya ingin ketemu dengan Bibi kamu di Bandung?” Alep, melongo. Karena orang itu bisa menebak isi hatinya. Padahal, dia tidak pernah berbicara kepada siapapun, niatnya untuk menemui bibinya di Bandung.  Malu, karena untuk berangkat ke kota, dia tidak mempunyai baju bagus untuk bepergian. 

Tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh Tuan itu, “Jangan hanya bisa melihat ke bawah.  Dunia tidak seluas daun kelor. Coba kamu tengadah ke atas!” kata orang itu sambil jarinya menunjuk ke luar pendopo.  Alep menurut, tiba-tiba tampak kota Garut berganti rupa. Lebih mewah dari sebelumnya. Dia mengikuti orang itu berjalan di belakangnya, seperti kerbau yang ditindik hidungnya. Berjalan melewati pertokoan.  Sewaktu masuk ke dalam sebuah toko kain, dia disuruh memilih kain untuk bahan baju. “Ayo, pilih kamu ingin bahan baju yang mana?!” Alep, merasa malu sendiri, karena semua isi hatinya bisa dibaca oleh orang itu. Setelah menemukan bahan yang cocok dengan hatinya, dia memilih satu setel, untuk pantalon dan celananya. Tuan itu membayar bahan baju itu, lalu diberikan bungkusan bahan baju itu kepada Alep. Alep, tidak bisa berkata-kata, saking berterima kasih kepada Tuan itu. Dia hanya bisa menahan tangis, saking senangnya. Setelah kain itu dia terima, dia sisipkan di pinggang, belakang bajunya.

Alep hatinya teringat ingin kembali ke pendopo, detik itu juga tubuhnya kembali di  dalam ruangan pendopo.  Apa yang diniatkan, semua menjadi kenyataan detik itu juga.  Semua yang diucapkan dalam pikiran, detik itu juga langsung menjadi nyata di hadapannya. Dia membayangkan berbagai makanan yang enak, semua langsung ada di depannya. Dia tinggal makan minum sepuasnya, buah, apel, jeruk Garut, kuè-kuè, malahan kurma sekalipun. (BERSAMBUNG)

DESSULAEMAN

Tuesday, December 24, 2019

Diculik Dedemit (Bagian Ketiga)


Oleh: HASBA
Prolog
“Tubuhnya terasa seperti melayang di angkasa raya, jiwanya seperti keluar dari tubuhnya. Wujud dirinya terasa mengecil, mengkerut. Mengecil, mengecil, mengecil, terus makin mengecil berproses seperti sebuah balon yang kempis kehabisan angin. Akhirnya, tubuhnya hanya berupa “nuktoh” (partikel) berupa titik hitam. Itu pun tidak berhenti, nuktoh terus mengecil dan akhirnya menghilang, yang tertinggal hanya mata hati. Alam dunia yang begitu luas, kini berada dalam cengkeraman.
-------------------------------------
Sudah tiga hari, tanpa sepengetahuan Ajengan dan para seniornya, dia mewirid doa ajian tersebut. Semua pekerjaan dan rutinitas yang ditugaskan Ajengan kepadanya, terlupakan. Dia seperti lupa segalanya. Lupa tidak berbuka puasa (tajil), lupa untuk sahur, mulutnya tak henti membaca cuplikan ayat Al Quran tersebut karena penasaran ingin menamatkan membacanya dalam satu kali bernafas. Malahan dia mengasingkan diri, agar lebih konsentrasi dengan mengungsi, membuat tempat peristirahatan sendiri di atas salon (tempat tidur) yang semestinya dia tempati dengan alasan tidak ingin diganggu.
Siang malam perutnya tidak terisi makanan secuilpun, selain untuk membatalkan dengan minum sedikit air. Nasi dan lauk-pauk yang dibawakan atau diantarkan oleh Mamat, keponakannya, malah dibuang ke kolam ikan. Dia pergi ke tempat pemandian yang berupa pancuran air, terus membersihkan diri tidak berhenti. Mendadak Alep seperti orang yang was-was, hati dan pikirannya diganggu oleh berbagai macam pikiran dan khayalan bilamana ajian yang diwiridnya berhasil dia dapatkan.
Pikiran Alep yang masih polos, belum mengerti bahayanya ajian yang di wiridkan sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan gurunya. Karena tidak sembarang orang bisa mewirid atau merapal ajian yang ajarkan sang guru. Ada persyaratan-persyaratan dan tatacara khusus yang harus ditaati. Makanya, tidak heran, banyak orang yang mendadak “ngagerebeg” gila tiba-tiba karena tidak mampu menguasai “ajian saepi” karena tidak sesuai dengan tata cara dan persyaratan yang diajarkan guru
Ada tiga ajian saepi yaitu saepi banyu, saepi geni dan saepi banyu. Saepi banyu, menjadikan orang yang menguasainya bisa berjalan di atas air. Saepi geni, orang menguasainya bisa tahan api. Saepi angin, orang yang menguasainya bisa menghilang, atau bisa menembus waktu. Tapi, bagi penterjemah yang paling hebat agar selamat di dunia dan akhirat adalah saepi....kiran alias berbaik sangka (pentejemah).
Malam itu, Alep tidak sholat terawih di mesjid. Dia malah pulang ke rumahnya di Sukamaju, sebuah desa di Kecamatan Kersamanah. Dia berjalan kaki menempuh jarak 10 kilometer, mengikuti rel kereta api Cibatu – Tasikmalaya. Mulutnya tidak berhenti terus bergumam, mewiridkan cuplikan ayat Al Quran, setiap tarikan atau hembusan nafasnya dia barengi dengan membaca ayat tersebut. Istilahnya, tidak ada nafas yang terlewat, tidak ada kedipan mata yang dilakukan selalau dibarengi membaca ayat tersebut. Niatnya, sudah bulat. Ingin bisa menghilang. Karena menurut pemikirannya “Man jadda jiddan pawajadahu” artinya siapa yang niat dan mau berusaha pasti mendapatkan apa yang diniatkan.
Apakah benar dirinya sudah menguasai ilmu menghilang, tidak bisa dilihat oleh manusia? Wallahu a’lam. Hanya saja, sewaktu dia tiba di depan rumahnya. Kemudian dia mengucapkan Assalamu’alaikum! Kepada kedua orangtuanya, tidak ada yang menjawab. Langsung dia masuk ke dalam rumahnya, dia tidak tahu dari mana jalannya, sebab dirinya sudah ada di ruangan tengah rumah. Pintu masih terkunci, Ibu dan Bapaknya sedang melakukan sholat terawih berdua di kamar belakang, yang dijadikan mushola. Lama, dia menunggu kedua orangutanya selesai sholat terawih. Dia melihat ke kamar adik-adiknya semua sudah tertidur lelap.
Selesari orangtuanya sholat terawih, dia memburu ke hadapan mereka untuk mencium tangan seperti yang biasa dilakukannya. Anehnya, kedua orangtuanya tidak memperdulikan dirinya. Kedua orangtuanya malah menuju ke ruangan tengah, lalu mereka membicarakan dirinya.
“Kenapa ya Bu, Si Alep udah lama gak pulang. Apa dia sengaja, agar kita berdua harus menengoknya ke pasantren? Atau jangan-jangan dia kecewa dan marah, karena waktu minta dibeliin baju pantalon (jas atau pakaian resmi Sunda) seperti milik Bapak, gak dikasih!” Ujar Ibunya, tanganya meraih cangkir dari batok kelapa yang berisi kopi hitam, lalu diminumnya, disusul dengan memakan ubi bakar.
“Iya, Bu! Bukannya tidak dikasih. Tapi karena jualan kita belum ada yang laku. Belum, harus memikirkan biaya pembangunan mesjid yang terbengkalai!” Bapaknya menjawab, sambil meniupkan asap roko dari mulutnya ke atas.
Pembicaraan kedua orangtuanya, semua terdengar jelas oleh Alep di kedua telinganya dengan jelas. Alep merasa, sudah tidak diakui anak oleh kedua orangtuanya. Karena, membicarakan dirinya padahal dia ada persis di hadapan mereka berdua. Alep merasa tersinggung harga dirinya.
“Ah, ternyata aku sudah tidak diakui ole kedua orangtua. Mereka sudah tidak mempedulikan kehadiranku. Mereka malah membicarakan aku di hadapan mereka!” Pelan-pelan Alep berjalan menuju ke pintu. Mau keluar. Baru saja hatinya, berkata mau keluar dari rumah. Tubuhnya tiba-tiba sudah berada di luar rumah. Dia menuju ke bangunan mesjid yang baru setengah jadi. Terbengkalai, karena ketiadaan dana seperti kata Bapaknya tadi. Papan yang banyak diberdirikan, dia rapikan, disusun sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk alas tidur. Dia membaringkan tubuhnya di atas papan tersebut. Teringat, dia belum melaksanakan sholat Isa. Dia berwudhu melakukan sholat Isa, lalu melakukan sholat terawih.
Selesai membaca do’a sholat witir, mulutnya kembali menggumam berdzikir sambil bersandar pada kusen. Sekejap dia tertidur. Tubuhnya berpindah ke atas papan yang disusunya tadi. Matanya terbuka, menatap ke atas langit. Bulan tampak sudah di atas, tanda tengah malam telah tiba. Tubuhnya terasa seperti melayang di angkasa raya, jiwanya seperti keluar dari tubuhnya. Wujud dirinya terasa mengecil, mengkerut. Mengecil, mengecil, mengecil, terus makin mengecil berproses seperti sebuah balon yang kempis kehabisan angin.
Akhirnya, tubuhnya hanya berupa “nuktoh” (partikel) berupa titik hitam. Itu pun tidak berhenti, nuktoh terus mengecil dan akhirnya menghilang, yang tertinggal hanya mata hati. Alam dunia yang begitu luas, kini berada dalam cengkeraman. Tidak berbeda seperti menghadapi sebuah mangkuk bisa melihat semua isi di dalamnya. (BERSAMBUNG)
DESSULAEMAN

Monday, December 23, 2019

Diculik Dedemi (Bagian Kedua)


Diculik Dedemit (Bagian kedua)
Oleh “ HASBA

Makhluk mengerikan itu tengadah, Ajengan terbelalak sakit kagetnya.  Mulut Ajengan terbuka, melongo. Kemudian tangan Ajengan merangkul tubuh yang bersimpuh di depannya, diguncang-guncangkannya tubuh yang tadi merangkul kakinya. “Alep?! Alep?! Ini Alep???!!!” setengah berteriak dan nafas cepat, Ajengan bertanya. Tapi, makhluk misterius itu hanya diam, tidak bisa menjawab.  Matanya berair, menatap kosong, tubuhnya lemas seperti tak bertenaga sama sekali.

Nyai Ajengan diminta untuk mengambil air minum dari kendi, yang tidak pernah jauh dari kulit domba tempat Ajengan duduk untuk mutola’ah kitab. Tidak lama kemudian Nyai Ajengan, kembali dengan membawa segelas air dari kendi, diserahkan pada Ajengan, kemudian dibacakan do’a ke air tersebut. Air tersebut kemudian diminumkan ke mulut makhluk yang tubuhnya terlihat sangat lemas tersebut.  Mata yang asalnya terpejam, setelah meminum air do’a dari Ajengan, kemudian terbuka.  Bola matanya melihat kesana kemari, terlihat seolah-olah akan keluar dari kelopak matanya saking tirus mukanya.  Tidak lama kemudian, makhluk itu menjerit, menangis seperti baru tersadarkan.  Mamat yang baru siuman, tak kurang bengongnya.  Mulutnya melongo, matanya melotot tak berkedip menatap makhluk yang dipeluk Ajengan. Mamat juga menjerit, panik sambil berteriak ketakutan: “Tolong! Takut! Makhluk itu tadi menerkam saya! Dia akan mencekik leher !!!”

Tak lama kemudian rumah Ajengan sudah dipenuhi oleh orang banyak, yang penasaran suara tangisan makhluk dan  teriakan Mamat yang ketakutan. Mereka, kemudian baru ngeh bahwa makhluk yang menakutkan tersebut adalah Alep, Si Anak Hilang!  Mereka penasaran, ingin mengetahui dan mendengar cerita langsung dari Alep, bagaimana dia bisa menghilang sampai tiga bulan lebih. Anak-anak santri saling berdesakan di dalam, tetangga yang dekat pesantren juga ramai ikut masuk ke dalam rumah panggung milik Ajengan. Padahal, sudah puluhan kali Ajengan meminta agar mereka menunggu saja di luar.  Karena rumah terlalu penuh, sehingga lantai bambu terdengar seperti akan runtuh. Beberapa santri, berinisiatif, mengganjal lantai bambu dari kolong rumah, khawatir lantai bambu akan ambrol.  Ajengan, terpaksa berbicara dengan suara keras. “Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh!”

 “Wa’alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh!” Jawab yang hadir, menjawab salam Ajengan.

  
“Saudara-saudara sekalian dan santri Akang semua, pasti kalian penasaran dengan kisah  Alep yang kini Alhamdulillah, berkah kehendak Allah SWT dia telah kembali dengan sendirinya. Tapi, seperti yang terlihat oleh kalian, kondisi tubuh Alep sangat memprihatinkan.  Tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit, muka tirus saking kurus. Tidak punya tenaga sama sekali, bahkan belum bisa diajak berbicara seperti yang diinginkan. Untuk itu, mohon dengan sangat Akang meminta keridhoan dari kalian semua untuk meninggalkan rumah ini sementara.  Beri kesempatan Alep untuk beristirahat.  Akang dan Nyai Ajengan akan merawatnya, sampai dia kembali pulih.  Insya Allah saat Alep kembali pulih, secara fisik dan mentalnya.  Akang akan tanyakan langsung, bagaimana kisah dan pengalamannya, dia bisa menghilang selama tiga bulan lebih.  Apa yang diceritakan oleh Alep, Akang ceritakan kembali kepada kalian semua.  Itu saja yang Akang sampaikan. Wasalam !” Setelah mendengar pidato Kang Ajengan, satu demi satu mereka meninggalkan rumah Kang Ajengan.  Walaupun, dengan hati masygul karena penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Alep.

Awal Kajadian
Pada bulan puasa ramadhan, para santri biasanya melanjutkan menuntut ilmu secara “balagan”, kitabnya diganti dengan kitab yang diperkirakan bisa tamat dalam waktu satu bulan.  Mungkin kalau di sekolah umum, bisa disamakan dengan ekstra kurikuler atau di zaman sekarang  dikenal dengan istilah “pesantren kilat” atau “pasaran” hanya pada waktu itu belum ada istilah yang pasti. Sebab, setiap pesantren atau lembaga pendidikan mempunyai target kurikulum yang berbeda-beda.

Pada tahun 1962 balagan mengaji di bulan puasa seperti diuraikan diatas, diganti dengan kitab yang disesuaikan dengan keinginan atau permintaan anak-anak santri. Waktu itu, kitab yang diaji adalah kitab “Istikoq”.  Ajengan di dalam mesjid, dikelilingi oleh santri-santrinya, berbagai posisi mereka lakukan.  Aya yang tiarap, ada yang selonjoran, ada yang bersila, disesuaikan dengan selera dan kenyamanan masing-masing. Beda dengan hari-hari biasa, pengajian pada bulan puasa, terasa lebih santai.  Tidak dikejar waktu, karena pengajian dianggap sebagai acara pengisi waktu atau “ngabeubeurang” atau “ngabuburit”.  Ngabeubeurang bila dilakukan sesudah sholat Subuh, ngabuburit bila dilakukan sesudah sholat Dzuhur atau Asyar.

 Untuk mengurangi rasa jenuh atau agar tidak mengantuk, seringkali pengajian diselingi dengan nadom atau tembang yang penuh dengan pepatah yang dikutip dari Bahasa Arab, seperti berikut:

 Ulah ngahinakeun maneh ka jalma leutik
Rametuk bisa ngaluarkeun getih, singa jadi perlaya
Geus boga bekel naon maneh di dunya
Teu nyaho hirup katungkul ku pati
Bekel takwa nu kabawa jaga
Dimana reup peuting naha hirup bakal nepi ka pajar
Teu seutik jalma jagjag waringkas maot teu geuring heula
Tapi aki-aki pikun hirup nepi ka kiwari
Mindeng nonoman keur tandang isukna ngababatang
Teu nyaho ditinun boèh eukeurna
Mindeng nu keur olèng pangantèn
Teu nyaho papatèn datang pinastèn

(Kalian jangan menganggap hina  pada yang lemah
Rametuk bisa mengeluarkan darah, singa jadi tak berdaya
Sudah punya apa kamu di dunia
Tidak menyadari hidup diintik kematian
Bekal takwa yang akan dibawa kelak
Di saat malam tertidur, apa kalian kembali bisa bangkit di pagi hari
Tidak sedikit manusia yang segar bugar, mati tidak sakit dahulu
Tapi kakek-kakek pikun bisa hidup sampai hari ini
Seringkali para pemuda yang sedang bergaya, tiba-tiba dijemput ajal
Tidak tahu kain kapan yang ditenun untuk tubuhnya
Seringkali sedang berbulan madu
Tidak tahu ajal datang menyapa).

Atau seringkali Kang Ajengan, menyelipkan cerita lucu yang membuat para santri tertawa, sehingga rasa kantuk santri menghilang. Tidak terasa waktu berjalan, sehingga sore atau magrib menjelang.  Kadangkala, pengajian diisi waktu dengan mengijazahkan (membacakan doa atau sebuah kitab langsung di hadapan kiai) do’a-do’a yang diwiridkan setiap hari.  Makanya untuk santri yang mengikuti balagan di bulan puasa Ramadhan, mempunyai kelebihan dibandingkan dengan yang tidak ikut. Seperti waktu itu, ajian yang diwirid sudah lebih dari setengahnya, untuk ditamatkan tinggal menghitung hari.  Puasa sudah memasuki bulan pertengahan, malam tarawih ditutup dengan sholat witir dan kunut.  Ajian yang diwirid atau dirapal dikutip dari Qur’an yang artinya:  “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,Sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. 
Alep, walaupun santri paling muda, tapi tidak pernah ketinggalan ikut mengaji dengan santri yang sudah senior. Menurut Alep, tidak jadi masalah hitung-hitung membaktikan diri kepada yang senior. Biarlah, hanya mengerti sebagian juga. Mudah-mudahan mendapatkan pahala dari majelis taklim yang diikuti. Hanya ada yang terselip dalam pikiran Alep, satu do’a yang kalau tidak salah dengar dan tidak salah mengerti, “.... Bila do’a ini dibacakan terus menerus, bisa tidak terlihat oleh musuh.  Apalagi bila dibacakan dalam satu nafas, dibacakan sebanyak sekian kali. Pasti yang membacakan akan mendapatkan keajaiban untuk dirinya!” (BERSAMBUNG)


Friday, December 20, 2019

Diculik Dedemit (Bagian Kesatu)

Prolog
Kisah ini adalah kisah nyata, menghilangnya seorang santri di Pesantren Keresek selama lebih kurang tiga bulan pada tahun 1963.  Buku aslinya berbahasa Sunda yang dikisahkan oleh Drs. K.H. Hasan Basry (Almarhum), beliau adalah pimpinan Pondok Pesantren Keresek dari tahun 1976-2009.  Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, agar kisah ini bisa tersebar ke seluruh Indonesia, agar menjadi ibrah akan adanya alam gaib dan mahluk gaib di sekitar kita. Karena, gramatika Bahasa Sunda yang mengenal undak usuk basa. Translasi mungkin jauh dari harapan, tapi tidak merubah kandungan isi dari kisah nyata ini. 

Diiwat Dedemit (Diculik Dedemit)

Oleh Hasba.

Raibnya santri yang bernama Alep jadi pembicaraan semua orang. Penyebab menghilang secara ghaib tidak diketahui secara pasti. Para orang tua yang memiliki anak lelalki seukuran Alep menjadi khawatir dan ketakutan.  Kabar hoax menyebar dengan cepat, menghilangnya Alep karena dia dijadikan nyawa pengganti (wadal/korban) oleh jin Islam yang pernah mengamuk dan menteror pesantren Keresek dari tahun 1939 sampai dengan 1942.  Penyebab  amukan dari jin Islam tersebut karena suami dari Siti Kolbuniyah putri jin itu dibunuh tidak sengaja saat menyamar menjadi ular.

Orangtua Alep sibuk mencari ke sana ke mari, semua saudaranya yang jauh atau dekat semua sudah dikunjungi tapi hasilnya nihil. Mereka juga sudah bertanya kepada orang pintar atau kepada kiai dan ahli hikmah, tapi sama saja tidak membawa hasil.  Bapak Alep pasrah menerima takdir hilangnya Alep.  Sudah berusaha tapi tidak berhasil, berupaya sudah tapi tidak memberi kabar gembira. Tapi, ibunya Alep tetap tidak bisa menerima, sehingga tidak bisa tidur atau makan karena pikiran dan perasaanya selalu teringat Alep.  Tubuh Ibunya Alep menjadi kurus kering, memikirkan keberadaan Alep. Ibunya ingin kepastian, bila Alep meninggal ingin jenazahnya ditemukan.  Bila, Alep pindah pesantren, pesantrennya di mana sehingga bisa menengok, bila dirindukan.  Ibunya Alep, berpuasa dan berdo’a sejak Alep raib secara gaib.

Begitu pun pesantren Keresek dan kiainya, merasa ikut bertanggungjawab karena Alep sudah dititipkan oleh orang tuanya untuk menuntut ilmu di pesantren. Sang Kiai merasa harus ikut mencari karena pada Alep diserahkan untuk menjadi santri, orang tuanya sudah menyerahkan Alep sepenuhnya kepadanya.  Hilangnya Alep, menjadi beban besar untuk Kiai.  Padahal Alep sudah ditempatkan  kamarnya khusus, sedemikian rupa tidak di kobong atau asrama.  Tetapi ditempatkan di sebuah kamar dekat dapur.  Sengaja dibuatkan mejanin (lantai atas) dari bambu.  Sebab Alep dijadikan asisten pribadi Ajengan, ditemani Mamat, temang sekampungnya yang masih merupakan keponakan Alep.

Kang Ajengan, begitu anak santri memanggil guru ngajinya, dan Nyai atau Nyi Ajengan sudah habis akal dan upaya untuk membantu mencari Alep. Dicari ke seluruh tempat saudara-saudara atau rumah teman-teman santrinya di berbagai daerah tapi tidak juga ditemukan. Seluruh santri ditugaskan mencari ke berbagai tempat yang mungkin pernah dikunjungi Alep selama mesantren.  

Seluruh alumni pesantren Keresek yang tersebar di seluruh tanah Priangan, Jawa Tengah, Jawa Timur bahkan sampai ke Lampung dikontak tentang hilangnya salah seorang santri di Keresek.  Mereka dihimbau untuk ikut mencari dan saling mengabari bila ada informasi tentang Alep. 

Kang Ajengan, bahkan menghubungi RRI Bandung mengumumkan atas hilangnya Alep lengkap dengan ciri-ciri terakhir pada saat dia menghilang, menghimbau kepada para pendengar untuk segera mengabari RRI Bandung bila melihat atau mengetahui keberadaan Alep.

Para santri yang masih berasa di pondok, tidak tinggal diam.  Dipimpin oleh Lurah Santri berbagi tugas, ada yang kebagian solat hajat, ada yang kebagian membaca Surat  Yasin berjamaah, 40 balikan.  Tapi, yang hilang tetap tidak ditemukan.  Padahal hilangnya sudah hampir tiga bulan lebih.  

Sewaktu menghilang, kejadiannya di bulang Ramadhan sekarang sudah bulan Rayagung (Dzulhijah). Malahan sudah hampir terlupakan, karena kesibukan masing-masing.  Manusia hanya berencana dan berusaha, Allah yang menentukan segalanya. Allah Maha Berkehendak, manusia harus bisa menerima dengan penuh keimanan apapun yang dikehendaki Allah SWT.

Suatu hari saat wanci pecat sawed (sekitar pukul 10 pagi), cuaca sangat mendung, udara terasa gerah, sepertinya akan hujan deras.  Benar saja, tidak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya seperti ditumpahkan dari langit. Semua yang merasa mempunyai jemuran pakaian segera menyelamatkan jemurannya. Kang Ajengan yang sedang di ruang tengah, memanggil Mamat, asisten pribadinya.”Mamat! Mamat! Mamat! Segera ke sini!”  Tidak lama kemudian, Mamat setengah berlari masuk ke ruang tengah.  Mamat, mengangguk dan membungkuk tanda hormat pada guru, lalu bertanya, “Ada apa, Kang?”

Ajengan nunjuk ke atas langi-langit rumah sambil tengadah. “Genting sepertinya bocor Mat!  Ini hujan terlihat ikut berteduh di dalam rumah!” Ujar Ajengan, seperti biasanya sambil bercanda. Ajengan memang selalu berusaha untuk santai dalam segala hal, termasuk pada waktu memberikan pelajaran kepada santrinya. Selalu dibarengi dengan cerita lucu, sehingga  para santri tidak mengantuk atau bosan.

Mamat langsung mengerti, tidak disuruh dua kali.  Secepatnya dia menggulung kain sarung, diikatkan ke celana “tasawuf” di bagian pinggannya, mungkin sekarang yang disebut celana sirwal atau cingkrang.  Kemudian, cepat dia naik ke atas langit-langit (plafon) rumah untuk membetulkan genting yang bocor. 

Dia menapaki palang dada (kayu penyangga bilik), lalu tangannya berpegangan pada kuda-kuda. Mamat lalu masuk ke atas plafon yang ada di atas kamar.  Baru juga beberapa detik Mamat naik. Terdengar suara gedebuk, seperti buah nangka matang jatuh menimpa lantai bambu.  Rumah panggung terasa seperti digoyang gempa, saking kerasnya benda yang terjatuh.  Kang Ajengan kaget, lalu berlari ke arah suara tadi.  Pasti si Mamat, terjatuh dari plafon rumah, kata Ajengan di dalam hati.

Nyi Ajengan, ikut panik, berlari ke arah yang sama dengan mengangkat kain panjangnya. Saat tiba di kamar, tampak Mamat dalam keadaan mata terbelalak, tubuhnya terdiam kaku, mulutnya terbuka, seperti seekor domba tercekik. Kang Ajengan, melongo saking kagetnya.  

Saking paniknya, Ajengan mengambil cungkir kemudian dilemparkan mengenai bagian belakang Nyai Ajengan.  Nyai Ajengan, menjerit kaget dan kesakitan. Apalagi cungkir itu terbuat dari besi. Padahal niat Kang Ajengan adalah mengambil gayung kemudian menciduk air untuk menyiram muka Mamat yang tidak sadarkan diri.

Mamat tak sadarkan diri cukup lama.   Kang Ajengan membaca do’a, membaca mantera, menggumamkan ajian untuk mengusir jin setan penasaran. Terlihat di depan tubuh mamat yang terbujur pingsan ada mahluk mengerikan.  Kulit tubuhya hitam seperti tertutup daki, dengan pakaian compang-camping yang sudah tidak jelas lagi warnanya.  Rambutnya panjang dan keras seperti kawat, berwarna hitam kemerahan menutupi mukanya.  Jari-jarinya yang kurus hitam legam, tampak berkuku sangat panjang yang juga berwarna hitam seperti siap akan menerkam tubuh Mamat yang tidak bergerak sama sekali. 

Kang Ajengan, mengeluarkan semua ajian kesaktiannya, hatinya menjerit kepada yang Maha Kuasa.  Manusia lebih sempurna daripada setan, iblis atau jin.  Manusia tidak boleh kalah oleh mereka. Mata Kang Ajengan menatap tajam ke arah mahluk mengerikan tersebut.  Sekejapan mata, makhluk tersebut kemudian tubuhnya melemas, lalu merayap perlahan-lahan mendekati kaki Kang Ajengan.  Kang Ajengan, hatinya ketar-ketir, khawatir makhluk itu tiba-tiba menerkam dirinya. Tiba-tiba benar saja, makhluk misterius tersebut merangkul telapak kaki Kang Ajengan. 

Kang Ajengan kaget, lalu refleks dia mengangkat kakinya ke atas.  Kepala makhluk tersebut ikut terangkat dan tengadah.  Mata Kang Ajengan terbelalak, mulutnya melongo lalu berkata  setengah berteriak terputus-putus saking kagetnya. “Alep?! Alep?! Ini Alep...???!!” (BERSAMBUNG)