Sunday, December 15, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 17)


Oleh: HASBA
Agar jin tersebut tidak makin nekad, makin berani dengan bahasa vulgar. Saya tidak ingin, dia merasa diberi harapan. Setelah ajakan untuk mengawininya. Detik itu juga, saya langsung menulis jawaban menolak kemauan si jin. Penolakan itu saya tulis dengan bahasa yang luga dan tegas. Tidak memakai bahasa diplomasi, “Tidak sudi, saya tidak sudi menikah dengan jin sebangsa kamu. Di dunia manusia juga masih banyak pilihan!” Surat tersebut, dalam sekejap langsung lenyap tak berbekas dari tempatnya. Berarti sudah diambil sama jin itu.
Setelah surat penolakan itu hilang, saya merasa kecut juga. Mengingat bahasa yang digunakan takutnya kasar. Menyinggung perasaan si jin itu. Rasa khawatir dan was-was menyelinap. Saya menyadari emosi belum bisa dikendalikan sepenuhnya. Belum bisa diplomatis tidak bisa menahan amarah atas lamaran jin itu. Penyesalan itu terjadi karena terlalu tergesa-gesa menuliskan surat balasan. Apa tidak sebaiknya surat balasan itu, menggunakan bahasa yang halus? Sehingga tidak menyinggung perasaan jin itu? Bagaimana kalau dia marah?
Saya jadi teringat wawacan Purnama Alam yang pernah dibacakan oleh orangtua saya, menceritakan sewaktu Purnama Alam menolak lamaran Rohong Guring. Rohong Guring marah kemudian mengutuk Purnama Alam menjadi batu di dalam gua si Bungbung Sumur. Jangan-jangan saya akan mengalami apa yang dialami oleh Purnama Alam. Mungkin bisa selamat dari sabetan goloknya, tapi jadi gila atau jadi batu karena kutukan jin yang sakti itu. Tidak mustahil Siti Kolbuniyah mempunyai kemampuan seperti itu atau kejahatan dan dendamnya sampai ke sana. Mungkin saja. Bisa saja, jin itu menurutkan kata hatinya, seperti yang digambarkan dalam tembang Durma pada awal cerita ini.
Munculnya kekhawatiran dan ras was-was yang kembali menyeruak, menjadikan saya makin rajin tahajud. Mendatangi dan mengirim doa kepada almarhum Ayahanda makin sering dilakukan. Saya, berserah diri sepenuhnya kepada Yang Maha Suci. Lahaola wala quwwata…. Saya memperbanyak membaca istigfar, agar keimanan dan keyakinan saya kembali seperti semula. Tidak ada rasa takut secuilpun kepada jin itu. Saya percaya, Allah tidak akan menghukum seorang hambanya dengan sembarang hukuman akibat perbuatan yang tidak di sengaja.
Setelah beristigfar, diri saya kembali seperti dikembalikan dalam keadaan semula. Kesadaran saya kembali pulih, bahkan menyalahkan diri sendiri. Kenapa harus kembali takut oleh jin? Jangan! kamu jangan takut oleh jin itu. Makin takut kamu kepada mereka, maka mereka akan makin berani berbuat yang tidak-tidak. Segera, kamu harus bangkit dan jangan takut! Bila kamu berani, maka jin itu pasti takut kepada kamu. Begitulah hati saya berbisik kepada diri saya sendiri.
Pulihnya kesadaran diri akan Maha Tingginya yang Maha Suci, menjadikan hati dan jiwa saya seperti disiram dengan air dingin. Terasa damai dan sejuk tiada tara. Allahu Akbar, terima kasih, ya Allah, sudah mengembalikan saya ke dalam jiwa yang penuh dengan kedamaian dan kepasrahan sepenuhnya kepada-Mu. Saya bersimpuh, bersujud panjang dalam doa dan rasa syukur serta permohonan ampun.
Baru terbangun dari sujud setelah saya merasakan ada secarik kertas yang tiba-tiba muncul di depan saya. Sepertinya surat itu diletakkan dengan penuh hati-hati oleh jin Siti Kolbuniyah. Sebelum membaca isi surat yang ditulis dengan pensil merah itu. Hati saya sudah ketar-ketir dengan jantung yang berdegup kencang. Khawatir dengan kemungkinan isi surat, deg-degan ingin segera mengetahui isinya. Jangan-jangan isinya. Kembali memberikan ancaman yang lebih mengerikan.
Tangan dan jemari tangan saya gemetar, jantung berdegup kencang tidak henti. Persis pengalaman dahulu bila menerima surat dari kekasih hati saat kita saling berkirim surat. Gemetaran dan deg-degan karena dibarengi dengan asmara karena isinya pasti kabar gembira penuh canda dan tawa. Tapi, surat ini yang membuat saya bergetar dan jantung berdegup kencang karena dibarengi rasa khawatir akan dendam kesumat pengirim surat.
Saat dibaca, Alhamdulillah isi surat tersebut langsung membuat hati ini tenang dan sejuk. Isinya, “ Ustadz mohon jangan marah kepada Ana, sampai Ana ditolak mentah-mentah dan disumpah serapahi. Ana sangat betah di pesantren ini. Ana, mohon Ustadz tidak mengusir Ana dari sini. Mohon Ana jangan dimusuhi. Dan…. jujur saja Ana katakan, Ana sangat menyukai Ustadz. Menyukai perilaku keimanan Ustadz yang sangat tinggi kepada Sang Maha Pencipta dan bakti serta kasih Ustadz kepada Ayahanda Ustadz. Mulai detik ini, saya tidak akan lagi menggoda dan menjahili Ustadz sekeluarga. Tapi mohon, jangan usir lagi Ana dari pesantren ini. Ana betah di sini, Ustadz!”
Perasaan dan jiwa saya, langsung serasa melayang. Tak henti mengucap takbir, Alhamdulillah kepada yang Maha Suci. Allah yang menggerakan dan membolak-balikan semua makhluk-Nya di seluruh permukaan bumi. Tanpa izin dan kehendak-NYa apapun tidak bisa terjadi. Tidak mungkin Siti Kolbuniyah, menulis soleh dengan bahasa yang halus dan berserah diri tanpa kehendak dan izin dari Allah SWT. Tanpa izin dan kehendak Allah, tidak mungkin Siti Kolbuniyah menulis surat yang isinya begitu damai.
Benar saja, setelah saya menerima surat itu. Berbagai gangguan dan kejahilan jin itu kepada diri saya pribadi sementara waktu hilang. Tetapi, gangguan dan kejahilannya terhadap rumah, kobong santri dan di masjid masih terjadi. Mungkin karena jin itu bakatnya seperti itu. Seperti dalam pepatah, sebaik-baiknya jin, sama dengan sebandel-bandelnya manusia. Di bawah bantal tidak lagi ditemukan surat atau catatan dari Siti Kolbuniyah. Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba suatu pagi di bawah bantal saya kembali ditemukan secarik kertas yang pasti dari Siti Kolbuniyah. Apa isi surat itu? (BERSAMBUNG)
DESSULAEMAN

No comments:

Post a Comment