Monday, December 23, 2019

Diculik Dedemi (Bagian Kedua)


Diculik Dedemit (Bagian kedua)
Oleh “ HASBA

Makhluk mengerikan itu tengadah, Ajengan terbelalak sakit kagetnya.  Mulut Ajengan terbuka, melongo. Kemudian tangan Ajengan merangkul tubuh yang bersimpuh di depannya, diguncang-guncangkannya tubuh yang tadi merangkul kakinya. “Alep?! Alep?! Ini Alep???!!!” setengah berteriak dan nafas cepat, Ajengan bertanya. Tapi, makhluk misterius itu hanya diam, tidak bisa menjawab.  Matanya berair, menatap kosong, tubuhnya lemas seperti tak bertenaga sama sekali.

Nyai Ajengan diminta untuk mengambil air minum dari kendi, yang tidak pernah jauh dari kulit domba tempat Ajengan duduk untuk mutola’ah kitab. Tidak lama kemudian Nyai Ajengan, kembali dengan membawa segelas air dari kendi, diserahkan pada Ajengan, kemudian dibacakan do’a ke air tersebut. Air tersebut kemudian diminumkan ke mulut makhluk yang tubuhnya terlihat sangat lemas tersebut.  Mata yang asalnya terpejam, setelah meminum air do’a dari Ajengan, kemudian terbuka.  Bola matanya melihat kesana kemari, terlihat seolah-olah akan keluar dari kelopak matanya saking tirus mukanya.  Tidak lama kemudian, makhluk itu menjerit, menangis seperti baru tersadarkan.  Mamat yang baru siuman, tak kurang bengongnya.  Mulutnya melongo, matanya melotot tak berkedip menatap makhluk yang dipeluk Ajengan. Mamat juga menjerit, panik sambil berteriak ketakutan: “Tolong! Takut! Makhluk itu tadi menerkam saya! Dia akan mencekik leher !!!”

Tak lama kemudian rumah Ajengan sudah dipenuhi oleh orang banyak, yang penasaran suara tangisan makhluk dan  teriakan Mamat yang ketakutan. Mereka, kemudian baru ngeh bahwa makhluk yang menakutkan tersebut adalah Alep, Si Anak Hilang!  Mereka penasaran, ingin mengetahui dan mendengar cerita langsung dari Alep, bagaimana dia bisa menghilang sampai tiga bulan lebih. Anak-anak santri saling berdesakan di dalam, tetangga yang dekat pesantren juga ramai ikut masuk ke dalam rumah panggung milik Ajengan. Padahal, sudah puluhan kali Ajengan meminta agar mereka menunggu saja di luar.  Karena rumah terlalu penuh, sehingga lantai bambu terdengar seperti akan runtuh. Beberapa santri, berinisiatif, mengganjal lantai bambu dari kolong rumah, khawatir lantai bambu akan ambrol.  Ajengan, terpaksa berbicara dengan suara keras. “Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh!”

 “Wa’alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh!” Jawab yang hadir, menjawab salam Ajengan.

  
“Saudara-saudara sekalian dan santri Akang semua, pasti kalian penasaran dengan kisah  Alep yang kini Alhamdulillah, berkah kehendak Allah SWT dia telah kembali dengan sendirinya. Tapi, seperti yang terlihat oleh kalian, kondisi tubuh Alep sangat memprihatinkan.  Tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit, muka tirus saking kurus. Tidak punya tenaga sama sekali, bahkan belum bisa diajak berbicara seperti yang diinginkan. Untuk itu, mohon dengan sangat Akang meminta keridhoan dari kalian semua untuk meninggalkan rumah ini sementara.  Beri kesempatan Alep untuk beristirahat.  Akang dan Nyai Ajengan akan merawatnya, sampai dia kembali pulih.  Insya Allah saat Alep kembali pulih, secara fisik dan mentalnya.  Akang akan tanyakan langsung, bagaimana kisah dan pengalamannya, dia bisa menghilang selama tiga bulan lebih.  Apa yang diceritakan oleh Alep, Akang ceritakan kembali kepada kalian semua.  Itu saja yang Akang sampaikan. Wasalam !” Setelah mendengar pidato Kang Ajengan, satu demi satu mereka meninggalkan rumah Kang Ajengan.  Walaupun, dengan hati masygul karena penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Alep.

Awal Kajadian
Pada bulan puasa ramadhan, para santri biasanya melanjutkan menuntut ilmu secara “balagan”, kitabnya diganti dengan kitab yang diperkirakan bisa tamat dalam waktu satu bulan.  Mungkin kalau di sekolah umum, bisa disamakan dengan ekstra kurikuler atau di zaman sekarang  dikenal dengan istilah “pesantren kilat” atau “pasaran” hanya pada waktu itu belum ada istilah yang pasti. Sebab, setiap pesantren atau lembaga pendidikan mempunyai target kurikulum yang berbeda-beda.

Pada tahun 1962 balagan mengaji di bulan puasa seperti diuraikan diatas, diganti dengan kitab yang disesuaikan dengan keinginan atau permintaan anak-anak santri. Waktu itu, kitab yang diaji adalah kitab “Istikoq”.  Ajengan di dalam mesjid, dikelilingi oleh santri-santrinya, berbagai posisi mereka lakukan.  Aya yang tiarap, ada yang selonjoran, ada yang bersila, disesuaikan dengan selera dan kenyamanan masing-masing. Beda dengan hari-hari biasa, pengajian pada bulan puasa, terasa lebih santai.  Tidak dikejar waktu, karena pengajian dianggap sebagai acara pengisi waktu atau “ngabeubeurang” atau “ngabuburit”.  Ngabeubeurang bila dilakukan sesudah sholat Subuh, ngabuburit bila dilakukan sesudah sholat Dzuhur atau Asyar.

 Untuk mengurangi rasa jenuh atau agar tidak mengantuk, seringkali pengajian diselingi dengan nadom atau tembang yang penuh dengan pepatah yang dikutip dari Bahasa Arab, seperti berikut:

 Ulah ngahinakeun maneh ka jalma leutik
Rametuk bisa ngaluarkeun getih, singa jadi perlaya
Geus boga bekel naon maneh di dunya
Teu nyaho hirup katungkul ku pati
Bekel takwa nu kabawa jaga
Dimana reup peuting naha hirup bakal nepi ka pajar
Teu seutik jalma jagjag waringkas maot teu geuring heula
Tapi aki-aki pikun hirup nepi ka kiwari
Mindeng nonoman keur tandang isukna ngababatang
Teu nyaho ditinun boèh eukeurna
Mindeng nu keur olèng pangantèn
Teu nyaho papatèn datang pinastèn

(Kalian jangan menganggap hina  pada yang lemah
Rametuk bisa mengeluarkan darah, singa jadi tak berdaya
Sudah punya apa kamu di dunia
Tidak menyadari hidup diintik kematian
Bekal takwa yang akan dibawa kelak
Di saat malam tertidur, apa kalian kembali bisa bangkit di pagi hari
Tidak sedikit manusia yang segar bugar, mati tidak sakit dahulu
Tapi kakek-kakek pikun bisa hidup sampai hari ini
Seringkali para pemuda yang sedang bergaya, tiba-tiba dijemput ajal
Tidak tahu kain kapan yang ditenun untuk tubuhnya
Seringkali sedang berbulan madu
Tidak tahu ajal datang menyapa).

Atau seringkali Kang Ajengan, menyelipkan cerita lucu yang membuat para santri tertawa, sehingga rasa kantuk santri menghilang. Tidak terasa waktu berjalan, sehingga sore atau magrib menjelang.  Kadangkala, pengajian diisi waktu dengan mengijazahkan (membacakan doa atau sebuah kitab langsung di hadapan kiai) do’a-do’a yang diwiridkan setiap hari.  Makanya untuk santri yang mengikuti balagan di bulan puasa Ramadhan, mempunyai kelebihan dibandingkan dengan yang tidak ikut. Seperti waktu itu, ajian yang diwirid sudah lebih dari setengahnya, untuk ditamatkan tinggal menghitung hari.  Puasa sudah memasuki bulan pertengahan, malam tarawih ditutup dengan sholat witir dan kunut.  Ajian yang diwirid atau dirapal dikutip dari Qur’an yang artinya:  “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,Sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. 
Alep, walaupun santri paling muda, tapi tidak pernah ketinggalan ikut mengaji dengan santri yang sudah senior. Menurut Alep, tidak jadi masalah hitung-hitung membaktikan diri kepada yang senior. Biarlah, hanya mengerti sebagian juga. Mudah-mudahan mendapatkan pahala dari majelis taklim yang diikuti. Hanya ada yang terselip dalam pikiran Alep, satu do’a yang kalau tidak salah dengar dan tidak salah mengerti, “.... Bila do’a ini dibacakan terus menerus, bisa tidak terlihat oleh musuh.  Apalagi bila dibacakan dalam satu nafas, dibacakan sebanyak sekian kali. Pasti yang membacakan akan mendapatkan keajaiban untuk dirinya!” (BERSAMBUNG)


No comments:

Post a Comment