Diculik Dedemit (Bagian kedua)
Oleh “
HASBA
Makhluk mengerikan itu tengadah, Ajengan terbelalak sakit kagetnya. Mulut Ajengan
terbuka, melongo. Kemudian tangan Ajengan merangkul tubuh yang bersimpuh di
depannya, diguncang-guncangkannya tubuh yang tadi merangkul kakinya. “Alep?!
Alep?! Ini Alep???!!!” setengah berteriak dan nafas cepat, Ajengan bertanya.
Tapi, makhluk misterius itu hanya diam, tidak bisa menjawab. Matanya
berair, menatap kosong, tubuhnya lemas seperti tak bertenaga sama sekali.
Nyai Ajengan diminta untuk mengambil air minum dari kendi, yang tidak pernah jauh
dari kulit domba tempat Ajengan duduk untuk mutola’ah kitab. Tidak lama
kemudian Nyai Ajengan, kembali dengan membawa segelas air dari kendi,
diserahkan pada Ajengan, kemudian dibacakan do’a ke air tersebut. Air tersebut
kemudian diminumkan ke mulut makhluk yang tubuhnya terlihat sangat lemas tersebut.
Mata yang asalnya terpejam, setelah meminum air do’a dari Ajengan, kemudian
terbuka. Bola matanya melihat kesana
kemari, terlihat seolah-olah akan keluar dari kelopak matanya saking tirus
mukanya. Tidak lama kemudian, makhluk
itu menjerit, menangis seperti baru tersadarkan. Mamat yang baru siuman, tak kurang
bengongnya. Mulutnya melongo, matanya
melotot tak berkedip menatap makhluk yang dipeluk Ajengan. Mamat juga menjerit,
panik sambil berteriak ketakutan: “Tolong! Takut! Makhluk itu tadi menerkam
saya! Dia akan mencekik leher !!!”
Tak lama kemudian rumah Ajengan sudah dipenuhi oleh orang banyak, yang penasaran suara
tangisan makhluk dan teriakan Mamat yang ketakutan. Mereka, kemudian baru
ngeh bahwa makhluk yang menakutkan tersebut adalah Alep, Si Anak Hilang!
Mereka penasaran, ingin mengetahui dan mendengar cerita langsung dari Alep,
bagaimana dia bisa menghilang sampai tiga bulan lebih. Anak-anak santri saling
berdesakan di dalam, tetangga yang dekat pesantren juga ramai ikut masuk ke dalam
rumah panggung milik Ajengan. Padahal, sudah puluhan kali Ajengan meminta agar
mereka menunggu saja di luar. Karena rumah terlalu penuh, sehingga lantai
bambu terdengar seperti akan runtuh. Beberapa santri, berinisiatif, mengganjal
lantai bambu dari kolong rumah, khawatir lantai bambu akan ambrol. Ajengan, terpaksa berbicara dengan suara
keras. “Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh!”
“Wa’alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh!” Jawab yang hadir, menjawab salam Ajengan.
“Saudara-saudara sekalian dan santri Akang semua, pasti kalian penasaran dengan kisah Alep
yang kini Alhamdulillah, berkah kehendak Allah SWT dia telah kembali dengan
sendirinya. Tapi, seperti yang terlihat oleh kalian, kondisi tubuh Alep sangat
memprihatinkan. Tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit, muka tirus saking
kurus. Tidak punya tenaga sama sekali, bahkan belum bisa diajak berbicara
seperti yang diinginkan. Untuk itu, mohon dengan sangat Akang meminta keridhoan
dari kalian semua untuk meninggalkan rumah ini sementara. Beri kesempatan
Alep untuk beristirahat. Akang dan Nyai
Ajengan akan merawatnya, sampai dia kembali pulih. Insya Allah saat Alep kembali pulih, secara
fisik dan mentalnya. Akang akan tanyakan langsung, bagaimana kisah dan pengalamannya, dia bisa menghilang selama tiga bulan lebih. Apa yang diceritakan oleh Alep, Akang ceritakan kembali
kepada kalian semua. Itu saja yang Akang sampaikan. Wasalam !” Setelah mendengar pidato Kang Ajengan, satu demi satu
mereka meninggalkan rumah Kang Ajengan.
Walaupun, dengan hati masygul karena penasaran dengan apa yang
sebenarnya terjadi dengan Alep.
Awal
Kajadian
Pada bulan puasa ramadhan, para santri biasanya melanjutkan menuntut ilmu secara
“balagan”, kitabnya diganti dengan kitab yang diperkirakan bisa tamat dalam
waktu satu bulan. Mungkin kalau di sekolah umum, bisa disamakan dengan
ekstra kurikuler atau di zaman sekarang
dikenal dengan istilah “pesantren kilat” atau “pasaran” hanya pada waktu
itu belum ada istilah yang pasti. Sebab, setiap pesantren atau lembaga
pendidikan mempunyai target kurikulum yang berbeda-beda.
Pada tahun 1962 balagan mengaji di bulan puasa seperti diuraikan diatas, diganti
dengan kitab yang disesuaikan dengan keinginan atau permintaan anak-anak
santri. Waktu itu, kitab yang diaji adalah kitab “Istikoq”. Ajengan di
dalam mesjid, dikelilingi oleh santri-santrinya, berbagai posisi mereka
lakukan. Aya yang tiarap, ada yang
selonjoran, ada yang bersila, disesuaikan dengan selera dan kenyamanan
masing-masing. Beda dengan hari-hari biasa, pengajian pada bulan puasa, terasa
lebih santai. Tidak dikejar waktu, karena pengajian dianggap sebagai
acara pengisi waktu atau “ngabeubeurang” atau “ngabuburit”. Ngabeubeurang bila dilakukan sesudah sholat
Subuh, ngabuburit bila dilakukan sesudah sholat Dzuhur atau Asyar.
Untuk mengurangi rasa jenuh atau agar tidak mengantuk, seringkali pengajian diselingi
dengan nadom atau tembang yang penuh dengan pepatah yang dikutip dari Bahasa
Arab, seperti berikut:
Ulah ngahinakeun maneh ka jalma leutik
Rametuk
bisa ngaluarkeun getih, singa jadi perlaya
Geus boga
bekel naon maneh di dunya
Teu nyaho
hirup katungkul ku pati
Bekel
takwa nu kabawa jaga
Dimana
reup peuting naha hirup bakal nepi ka pajar
Teu
seutik jalma jagjag waringkas maot teu geuring heula
Tapi
aki-aki pikun hirup nepi ka kiwari
Mindeng
nonoman keur tandang isukna ngababatang
Teu nyaho
ditinun boèh eukeurna
Mindeng
nu keur olèng pangantèn
Teu nyaho
papatèn datang pinastèn
(Kalian
jangan menganggap hina pada yang lemah
Rametuk
bisa mengeluarkan darah, singa jadi tak berdaya
Sudah
punya apa kamu di dunia
Tidak
menyadari hidup diintik kematian
Bekal
takwa yang akan dibawa kelak
Di saat
malam tertidur, apa kalian kembali bisa bangkit di pagi hari
Tidak
sedikit manusia yang segar bugar, mati tidak sakit dahulu
Tapi
kakek-kakek pikun bisa hidup sampai hari ini
Seringkali
para pemuda yang sedang bergaya, tiba-tiba dijemput ajal
Tidak
tahu kain kapan yang ditenun untuk tubuhnya
Seringkali
sedang berbulan madu
Tidak
tahu ajal datang menyapa).
Atau seringkali Kang Ajengan, menyelipkan cerita lucu yang membuat
para santri tertawa, sehingga rasa kantuk santri menghilang. Tidak terasa waktu
berjalan, sehingga sore atau magrib menjelang. Kadangkala, pengajian
diisi waktu dengan mengijazahkan (membacakan doa atau sebuah kitab langsung di
hadapan kiai) do’a-do’a yang diwiridkan setiap hari. Makanya untuk santri yang mengikuti balagan
di bulan puasa Ramadhan, mempunyai kelebihan dibandingkan dengan yang tidak
ikut. Seperti waktu itu, ajian yang diwirid sudah lebih dari setengahnya, untuk
ditamatkan tinggal menghitung hari. Puasa sudah memasuki bulan
pertengahan, malam tarawih ditutup dengan sholat witir dan kunut. Ajian yang diwirid atau dirapal dikutip dari
Qur’an yang artinya: “Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata,Sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu
dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.
Alep, walaupun santri paling muda, tapi tidak pernah ketinggalan
ikut mengaji dengan santri yang sudah senior. Menurut Alep, tidak jadi masalah
hitung-hitung membaktikan diri kepada yang senior. Biarlah, hanya mengerti
sebagian juga. Mudah-mudahan mendapatkan pahala dari majelis taklim yang
diikuti. Hanya ada yang terselip dalam pikiran Alep, satu do’a yang kalau tidak
salah dengar dan tidak salah mengerti, “.... Bila do’a ini dibacakan terus
menerus, bisa tidak terlihat oleh musuh. Apalagi bila dibacakan dalam
satu nafas, dibacakan sebanyak sekian kali. Pasti yang membacakan akan
mendapatkan keajaiban untuk dirinya!” (BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment