Wednesday, December 25, 2019

Diculik Dedemit (Bagian Keempat)

Diculik Dedemit (Bagian Keempat)
Oleh: HASBA

Alep terkenang dengan sebuah bukit di kampungnya yang disebut “Ragahiyang” yang katanya, tempat dimakamkannya seorang Sunan, yang masih keturunan Sunan Cipancar yang berada di Limbangan. Anehnya, dia langsung berada di puncak bukit itu, tanpa disadari. 
Sunan tersebut ngahiyang (lenyap tak berbekas) di kampung itu, sampai sekarang dikenal dengan istilah “Ragahiyang” dari asal kata “raga” yang berarti tubuh dan “hyang” artinya menghilang.  Terletak di Sukamaju, Kecamatan Kersamanah, Garut.

“Apa mungkin diri saya juga sudah menghilang seperti Sunan Ragahiyang?” ujar Alep dalam hatinya.  Dia merasa bahagia dan bangga, ajian telah berhasil dikuasainya.  Lalu dia menengadahkan kedua lengan ke langit sambil menghadap ke arah barat.   Tampak cahaya lampu listrik dari beberapa  kampung yang tersebar tak beraturan.  Dia teringat dan memperkirakan letak Pesantren Keresek yang tampak kerlap kerlip oleh cahaya listrik. Dia mengusap muka dengan kedua telapak tangannya, tiba-tiba dalam sekejap dia telah berada di bawah pohon jambu air di depan rumah Ajengan. 

Di kolam mesjid tanpa para santri sedang berwudhu.  Di dalam mesjid ramai suara santri para santri sedang membaca ayat suci Al Quran.  Begitulah, kehidupan di Pesantren Keresek, siang malam ramai oleh suara para santri yang mengaji ayat suci, mudakarah kitab sambil bersenda gurau. Dia menuju ke dalam dapur, tampak Mamat sedang memasukan kayu bakar ke dalam tungku, menghangatkan nasi untuk sahur.  Dia ikut duduk di depan tungku, menghangatkan diri.  

Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu dapur di buka dari dalam, Nyai Ajengan masuk ke dalam dapur mendekati Mamat, hampir saja kaki Nyai Ajengan tersandung tubuhnya. Nyai Ajengan terdengar menyebut namanya, “Mat, Si Alep itu ke mana ya! Koq, belum kelihatan?!”  Alep ingin sekali rasanya dia melompat ke arah Mamat dan menutup mulutnya. Takut Mamat membuka rahasia, kalau dia mengamalkan wirid ilmu tanpa seijin Ajengan.  Tapi, dia khawatir kalau si Mamat menjerit karena dibekam oleh dirinya yang tidak terlihat.  Ajengan tidak merasa kehilangan, karena waktu mengaji terlihat Alep hadir.

Waktu itu hari Selasa, tanggal 22 bulan Ramadhan, para santri sudah ramai terbangun dari sebelum waktu sahur, akan berangkat ke Garut.  Mereka akan naik kereta api “Jimwes”(Jim West) atau kereta api kuik yang paling pagi dari stasiun Cibatu. Para santri akan mengantar induk semangnya, Bi Empeh, Bibi warung yang biasa mereka ikut makan atau jajan di warung.  Hari itu Bi Empeh, mendapat panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah.  Di sepanjang jalan ramai orang yang membaca barjanji, diiringi suara rebana.

Tolaal badrualaina
Ma da-al lillahi Da’i
Ayyuhal Mab-us sufina
Ji’tabil amril muto’i

Di sepanjang jalan juga tampak warga kampung, ikut menonton dan ikut mengantar kepergian Bi Empeh berangkat ke Mekah. Semua santri sepertinya terbangun, dan ikut menyaksikan karena ramainya suara barjanji dan rebana serta mendengar suara merdu Nyimas Nurjanah yang cantik jelita, putri Ajengan. Istilahnya sudah cantik jelita, suaranya merdu tiada tara.  Seringkali para santri, mengintip dari kolong. Mencuri dengar kemerduan suara Nyimas Nurjanah saat mengaji atau tadarusan di kobongnya. Enak didengar, tepat gunah, ihfa dan idghom tidak ada kesalahan sedikitpun tajwidnya. 

Sepanjang jalan semua orang, bersalaman dengan Bi Empeh ada juga yang mencium tangan, ada juga yang bersalaman sambil tak henti menangis.  Mungkin mengingat kalau berangkat ke Mekah itu seperti menyabung nyawa, takut tidak kembali lagi.  Di stasiun kereta api Cibatu sudah berkumpul orang-orang yang ingin mengantar naik kereta api sampai ke Garut. Ada juga yang cukup mengantar sampai stasiun Cibatu. 

Tidak lama kemudian, terdengar suara denting bel kereta api yang menandakan kereta akan segera berangkat.  Calon penumpang segera naik, begitupun rombongan  jamaah yang akan berangkat ke Mekah. Gerbong khusus untuk jamaah tidak boleh diisi penumpang lain, selain keluarga Bi Empeh dan para santri. Santri yang sudah senior seperti Mang Makin, Mang Usen lurah sanri, Den Totoh yang naksir Nyimas Nurjanah, Ijudin orang Sukabumi, Si Borohol, Uwoh dan Sirod, Endang Cepron dari Cileunyi yang kalau ngomong seperti sedang mengulum es krim dan banyak lagi yang ikut di dalam gerbong itu.

Peluit panjang dibunyikan, kereta api segera bergerak halus meninggalkan stasiun Cibatu. Di luar kereta, tampak semua orang melambaikan tangan, kadang-kadang sambil mengusap air mata. Sebelum tanjakan Wanakerta kereta api berjalan merayap. Gujes! Gujes! Terengah-engah seperti terserang penyakit asma, menandakan kereta sudah tua, mengingat titimangsa pembuatan yang sudah puluhan tahun.

Kondektur berjalan di dalam kereta, menunaikan tugasnya melubangi tiket kereta. Alep yang ikut di dalam rombongan, bibirnya langsung menggumam membaca ayat ajian saepi atau ajian halimunan yang sudah berhasil dikuasainya. Sang kondektur yang berjalan di depan mukanya, seperti jadi buta.  Tidak melihat keberadaan Alep.  Hal itu sama Alep lakukan, pada saat akan memasuki peron.  Dia lolos, tanpa ada yang menagih karcis atau ada yang melihatnya. 

Tiba di stasiun Garut, rombongan langsung berjalan ke arah pendopo kabupaten.  Di depan gerbang pendopo, Alep kembali tidak ada yang melihat dirinya.  Dia bisa lolos, dengan mudahnya.  Padahal orang lain, bila tidak memakai tanda pengenal di dadanya. Tidak diperbolehkan masuk. 

Di dalam pendopo, Alep hanya bengong, karena tidak ada satupun orang yang dikenalnya selain Bi Empeh, yang terhalang orang jemaah wanita dan jamaah lelaki.  Tambahan lagi, seumur-umur menghirup nafas, baru hari itu dia merasakan masuk ke dalam pendopo. Saat sedang bengong karena tidak ada teman mengobrol, tiba-tiba ada yang mendekati dirinya. Wajah lelaki yang mendekati itu, berpakaian serba putih seperti pakaian orang Arab. Kepala ditutup serban yang dipakai sedemikian rupa sehingga tidak lepas, berjubah putih, jemarinya tidak lepas dari biji tasbih yang dimainkan tidak henti.  Mungkin ini yang disebut “Syekh”, bisik hati Alep. Syekh yang biasa mengurus keberangkatan dan mengurus keperluan haji selama di Mekah. Ah, seandainya diajak oleh Syekh itu ke Mekah, pasti akan ikut. Tidak apa-apa, walau hanya jadi khadam (pesuruh) asal jangan dijadikan abid (budak belian), yang konon abid mah sering diperjualbelikan. Amit-amit jabang bayi! 

Tuan itu mengenalkan dirinya, bernama Hasan. Anehnya, orang itu sudah mengenal nama dirinya.  Malah sesudah mengenalkan diri, dia langsung bertanya seperti sudah kenal lama. “Alep, kamu bukannya ingin ketemu dengan Bibi kamu di Bandung?” Alep, melongo. Karena orang itu bisa menebak isi hatinya. Padahal, dia tidak pernah berbicara kepada siapapun, niatnya untuk menemui bibinya di Bandung.  Malu, karena untuk berangkat ke kota, dia tidak mempunyai baju bagus untuk bepergian. 

Tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh Tuan itu, “Jangan hanya bisa melihat ke bawah.  Dunia tidak seluas daun kelor. Coba kamu tengadah ke atas!” kata orang itu sambil jarinya menunjuk ke luar pendopo.  Alep menurut, tiba-tiba tampak kota Garut berganti rupa. Lebih mewah dari sebelumnya. Dia mengikuti orang itu berjalan di belakangnya, seperti kerbau yang ditindik hidungnya. Berjalan melewati pertokoan.  Sewaktu masuk ke dalam sebuah toko kain, dia disuruh memilih kain untuk bahan baju. “Ayo, pilih kamu ingin bahan baju yang mana?!” Alep, merasa malu sendiri, karena semua isi hatinya bisa dibaca oleh orang itu. Setelah menemukan bahan yang cocok dengan hatinya, dia memilih satu setel, untuk pantalon dan celananya. Tuan itu membayar bahan baju itu, lalu diberikan bungkusan bahan baju itu kepada Alep. Alep, tidak bisa berkata-kata, saking berterima kasih kepada Tuan itu. Dia hanya bisa menahan tangis, saking senangnya. Setelah kain itu dia terima, dia sisipkan di pinggang, belakang bajunya.

Alep hatinya teringat ingin kembali ke pendopo, detik itu juga tubuhnya kembali di  dalam ruangan pendopo.  Apa yang diniatkan, semua menjadi kenyataan detik itu juga.  Semua yang diucapkan dalam pikiran, detik itu juga langsung menjadi nyata di hadapannya. Dia membayangkan berbagai makanan yang enak, semua langsung ada di depannya. Dia tinggal makan minum sepuasnya, buah, apel, jeruk Garut, kuè-kuè, malahan kurma sekalipun. (BERSAMBUNG)

DESSULAEMAN

No comments:

Post a Comment