Friday, December 20, 2019

Diculik Dedemit (Bagian Kesatu)

Prolog
Kisah ini adalah kisah nyata, menghilangnya seorang santri di Pesantren Keresek selama lebih kurang tiga bulan pada tahun 1963.  Buku aslinya berbahasa Sunda yang dikisahkan oleh Drs. K.H. Hasan Basry (Almarhum), beliau adalah pimpinan Pondok Pesantren Keresek dari tahun 1976-2009.  Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, agar kisah ini bisa tersebar ke seluruh Indonesia, agar menjadi ibrah akan adanya alam gaib dan mahluk gaib di sekitar kita. Karena, gramatika Bahasa Sunda yang mengenal undak usuk basa. Translasi mungkin jauh dari harapan, tapi tidak merubah kandungan isi dari kisah nyata ini. 

Diiwat Dedemit (Diculik Dedemit)

Oleh Hasba.

Raibnya santri yang bernama Alep jadi pembicaraan semua orang. Penyebab menghilang secara ghaib tidak diketahui secara pasti. Para orang tua yang memiliki anak lelalki seukuran Alep menjadi khawatir dan ketakutan.  Kabar hoax menyebar dengan cepat, menghilangnya Alep karena dia dijadikan nyawa pengganti (wadal/korban) oleh jin Islam yang pernah mengamuk dan menteror pesantren Keresek dari tahun 1939 sampai dengan 1942.  Penyebab  amukan dari jin Islam tersebut karena suami dari Siti Kolbuniyah putri jin itu dibunuh tidak sengaja saat menyamar menjadi ular.

Orangtua Alep sibuk mencari ke sana ke mari, semua saudaranya yang jauh atau dekat semua sudah dikunjungi tapi hasilnya nihil. Mereka juga sudah bertanya kepada orang pintar atau kepada kiai dan ahli hikmah, tapi sama saja tidak membawa hasil.  Bapak Alep pasrah menerima takdir hilangnya Alep.  Sudah berusaha tapi tidak berhasil, berupaya sudah tapi tidak memberi kabar gembira. Tapi, ibunya Alep tetap tidak bisa menerima, sehingga tidak bisa tidur atau makan karena pikiran dan perasaanya selalu teringat Alep.  Tubuh Ibunya Alep menjadi kurus kering, memikirkan keberadaan Alep. Ibunya ingin kepastian, bila Alep meninggal ingin jenazahnya ditemukan.  Bila, Alep pindah pesantren, pesantrennya di mana sehingga bisa menengok, bila dirindukan.  Ibunya Alep, berpuasa dan berdo’a sejak Alep raib secara gaib.

Begitu pun pesantren Keresek dan kiainya, merasa ikut bertanggungjawab karena Alep sudah dititipkan oleh orang tuanya untuk menuntut ilmu di pesantren. Sang Kiai merasa harus ikut mencari karena pada Alep diserahkan untuk menjadi santri, orang tuanya sudah menyerahkan Alep sepenuhnya kepadanya.  Hilangnya Alep, menjadi beban besar untuk Kiai.  Padahal Alep sudah ditempatkan  kamarnya khusus, sedemikian rupa tidak di kobong atau asrama.  Tetapi ditempatkan di sebuah kamar dekat dapur.  Sengaja dibuatkan mejanin (lantai atas) dari bambu.  Sebab Alep dijadikan asisten pribadi Ajengan, ditemani Mamat, temang sekampungnya yang masih merupakan keponakan Alep.

Kang Ajengan, begitu anak santri memanggil guru ngajinya, dan Nyai atau Nyi Ajengan sudah habis akal dan upaya untuk membantu mencari Alep. Dicari ke seluruh tempat saudara-saudara atau rumah teman-teman santrinya di berbagai daerah tapi tidak juga ditemukan. Seluruh santri ditugaskan mencari ke berbagai tempat yang mungkin pernah dikunjungi Alep selama mesantren.  

Seluruh alumni pesantren Keresek yang tersebar di seluruh tanah Priangan, Jawa Tengah, Jawa Timur bahkan sampai ke Lampung dikontak tentang hilangnya salah seorang santri di Keresek.  Mereka dihimbau untuk ikut mencari dan saling mengabari bila ada informasi tentang Alep. 

Kang Ajengan, bahkan menghubungi RRI Bandung mengumumkan atas hilangnya Alep lengkap dengan ciri-ciri terakhir pada saat dia menghilang, menghimbau kepada para pendengar untuk segera mengabari RRI Bandung bila melihat atau mengetahui keberadaan Alep.

Para santri yang masih berasa di pondok, tidak tinggal diam.  Dipimpin oleh Lurah Santri berbagi tugas, ada yang kebagian solat hajat, ada yang kebagian membaca Surat  Yasin berjamaah, 40 balikan.  Tapi, yang hilang tetap tidak ditemukan.  Padahal hilangnya sudah hampir tiga bulan lebih.  

Sewaktu menghilang, kejadiannya di bulang Ramadhan sekarang sudah bulan Rayagung (Dzulhijah). Malahan sudah hampir terlupakan, karena kesibukan masing-masing.  Manusia hanya berencana dan berusaha, Allah yang menentukan segalanya. Allah Maha Berkehendak, manusia harus bisa menerima dengan penuh keimanan apapun yang dikehendaki Allah SWT.

Suatu hari saat wanci pecat sawed (sekitar pukul 10 pagi), cuaca sangat mendung, udara terasa gerah, sepertinya akan hujan deras.  Benar saja, tidak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya seperti ditumpahkan dari langit. Semua yang merasa mempunyai jemuran pakaian segera menyelamatkan jemurannya. Kang Ajengan yang sedang di ruang tengah, memanggil Mamat, asisten pribadinya.”Mamat! Mamat! Mamat! Segera ke sini!”  Tidak lama kemudian, Mamat setengah berlari masuk ke ruang tengah.  Mamat, mengangguk dan membungkuk tanda hormat pada guru, lalu bertanya, “Ada apa, Kang?”

Ajengan nunjuk ke atas langi-langit rumah sambil tengadah. “Genting sepertinya bocor Mat!  Ini hujan terlihat ikut berteduh di dalam rumah!” Ujar Ajengan, seperti biasanya sambil bercanda. Ajengan memang selalu berusaha untuk santai dalam segala hal, termasuk pada waktu memberikan pelajaran kepada santrinya. Selalu dibarengi dengan cerita lucu, sehingga  para santri tidak mengantuk atau bosan.

Mamat langsung mengerti, tidak disuruh dua kali.  Secepatnya dia menggulung kain sarung, diikatkan ke celana “tasawuf” di bagian pinggannya, mungkin sekarang yang disebut celana sirwal atau cingkrang.  Kemudian, cepat dia naik ke atas langit-langit (plafon) rumah untuk membetulkan genting yang bocor. 

Dia menapaki palang dada (kayu penyangga bilik), lalu tangannya berpegangan pada kuda-kuda. Mamat lalu masuk ke atas plafon yang ada di atas kamar.  Baru juga beberapa detik Mamat naik. Terdengar suara gedebuk, seperti buah nangka matang jatuh menimpa lantai bambu.  Rumah panggung terasa seperti digoyang gempa, saking kerasnya benda yang terjatuh.  Kang Ajengan kaget, lalu berlari ke arah suara tadi.  Pasti si Mamat, terjatuh dari plafon rumah, kata Ajengan di dalam hati.

Nyi Ajengan, ikut panik, berlari ke arah yang sama dengan mengangkat kain panjangnya. Saat tiba di kamar, tampak Mamat dalam keadaan mata terbelalak, tubuhnya terdiam kaku, mulutnya terbuka, seperti seekor domba tercekik. Kang Ajengan, melongo saking kagetnya.  

Saking paniknya, Ajengan mengambil cungkir kemudian dilemparkan mengenai bagian belakang Nyai Ajengan.  Nyai Ajengan, menjerit kaget dan kesakitan. Apalagi cungkir itu terbuat dari besi. Padahal niat Kang Ajengan adalah mengambil gayung kemudian menciduk air untuk menyiram muka Mamat yang tidak sadarkan diri.

Mamat tak sadarkan diri cukup lama.   Kang Ajengan membaca do’a, membaca mantera, menggumamkan ajian untuk mengusir jin setan penasaran. Terlihat di depan tubuh mamat yang terbujur pingsan ada mahluk mengerikan.  Kulit tubuhya hitam seperti tertutup daki, dengan pakaian compang-camping yang sudah tidak jelas lagi warnanya.  Rambutnya panjang dan keras seperti kawat, berwarna hitam kemerahan menutupi mukanya.  Jari-jarinya yang kurus hitam legam, tampak berkuku sangat panjang yang juga berwarna hitam seperti siap akan menerkam tubuh Mamat yang tidak bergerak sama sekali. 

Kang Ajengan, mengeluarkan semua ajian kesaktiannya, hatinya menjerit kepada yang Maha Kuasa.  Manusia lebih sempurna daripada setan, iblis atau jin.  Manusia tidak boleh kalah oleh mereka. Mata Kang Ajengan menatap tajam ke arah mahluk mengerikan tersebut.  Sekejapan mata, makhluk tersebut kemudian tubuhnya melemas, lalu merayap perlahan-lahan mendekati kaki Kang Ajengan.  Kang Ajengan, hatinya ketar-ketir, khawatir makhluk itu tiba-tiba menerkam dirinya. Tiba-tiba benar saja, makhluk misterius tersebut merangkul telapak kaki Kang Ajengan. 

Kang Ajengan kaget, lalu refleks dia mengangkat kakinya ke atas.  Kepala makhluk tersebut ikut terangkat dan tengadah.  Mata Kang Ajengan terbelalak, mulutnya melongo lalu berkata  setengah berteriak terputus-putus saking kagetnya. “Alep?! Alep?! Ini Alep...???!!” (BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment