Friday, November 29, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 11)

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 11)
oleh: HASBA

Satu waktu, Den Djaja anaknya juragan Naib Ciawi membiarkan dirinya sendirian di kobong.  Semua teman-temannya sudah berangkat ke mesjid untuk mengaji, dia bolos dan berdiam di kobong sendirian. Siang itu, dia sedang tidur-tiduran sambil menunggu waktu Asyar tiba. Saat waktu Dzuhur akan habis, dia masih menghapalkan salah satu pelajaran kitab kuning.  

Tiba-tiba terdengar suara “kretek, kretek, kretek....” seperti sura tikus yang akan masuk ke dalam kotak tempat penyimpanan kitab yang terletak di atas rak buku. Dia melirik ke arah datangnya suara.  Begitu matanya melihat ke arah rak, tampak di atas rak buku itu seorang perempuan muda cantik sedang bertumpang kaki, sambil menggoyang-goyangkan kaki  kanan yang menumpang di atas kaki kirinya.  Perempuan itu seolah mentertawakan dirinya.  Perempuan muda itu memakai mukena, kecantikannya tetap tampak jelas.  Hidungnya mancung, kedua matanya jeli, alisnya hitam tebal, tampak ada kentit di pipinya, gigi geliginya rapi dan putih bersih, bibirnya memerah delima, putih matanya tampak membayang garis tipis bayangan di kedua kelopak matanya.

Den Djaya tekenal sewaktu sekolah di H.I.S (sekolah menengah Belanda) sebagai playboy tukang mempermainkan perempuan.  Dia paling berani menghadapi teman atau guru perempuannya.  Setiap perempuan pasti tidak aman, oleh keisengan dan sifat playboy Den Djaya, semua korban dipermainkannya tanpa perasaan. Tapi, kenapa waktu itu  ada perempuan cantik malah datang ke kobongnya Den Djaya malah ketakutan? Saking kagetnya melihat perempuan cantik itu, tubuhnya sampai terlompat dari dipan dimana dia sedang rebahan.  

Sebelumnya, memang Den Djaja ini bicaranya sompral (nantangin) seperti yang dilakukan oleh Mantri cacar.  Dia bilang, walaupun setan tapi kalau wajahnya rupawan dan  menawan silakan datang.  Tapi, ternyata setelah setan cantik rupawan datang dia seperti tersihir. Tubuhnya membeku, tak bisa bergerak, kakinya kaku tak bisa dilangkahkan, mulutnya berteriak-teriak tapi tidak bersuara, perasaan suaranya mendadak serak padahal tidak ada suara yang keluar.  Dalam ketakutan dan kekalutan yang teramat sangat, tiba-tiba terdengar suara seruling yang membuat bulu kuduk jadi merinding.  

Bukan seruling yang menggugah kesadaran, membawa ke rasa asmara.  Bukan seruling yang membuat hati menjadi sedih, bukan seruling jeritan hati kepada kekasih.  Tapi suara seruling yang membuat jiwa teringat pada kematian. Suara seruling terasa sangat getir, membuat perasaan mati rasa. Nada suara seruling itu sangat tinggi, dan terdengar menjadi makin banyak. Mendekat ke arah telinga, membuat jiwa diliputi rasa takut yang amat sangat.

Den Djaya seolah-oleh merasa dirinya tinggal beberapa saat lagi menunggu diterkam dan ditelan oleh jin itu.  Kaki Den Djaya, mencoba untuk bergerak, niatnya ingin bangun kemudian berlari ke luar kobong.  Dalam ketakutan dan kekalutan, tiba-tiba perempuan cantik itu berkata, dengan posisi tetap duduk bertumpang kaki, suaranya serak kering mengerikan, “Kamu jangan gelisah. Diam dan jangan bergerak! Bila tidak, biji ka***t kamu akan saya remas!”  

Sesudah itu, dengan sangat mendadak sekali dan tidak disangka-sangka. Jin perempuan itu menerkam “jimat hidup” milik Den Djaya.  Kemudian jin itu berkata dengan suara mengerikan suaranya besar, serak dan dalam. “Akhirnya, kena juga kan**tmu, yang suka dipakai untuk berbuat jahat kepada perempuan!”  Den Djaja, akhirnya pingsan, tidak kuat menahan rasa sakit. Karena biji peler isi kolor diremas saking kerasnya.  Jangankan diremas dengan sangat keras, terpukul sedikit saja oleh manusia biasa membuat tubuh terhuyung-huyung. 

Den Djaya baru kembali sadar diri, setelah ditolong dan dijampi-jampi oleh teman-temannya.  Keesokan harinya Den Djaya pamitan, pulang ke Ciawi dengan membawa semua kitab dan pakaiannya. Dia bertekan tidak akan kembali ke pesantren selama jin itu masih mendekam di sana. (BERSAMBUNG).

DESSULAEMAN

Thursday, November 28, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 10)


oleh: HASBA
Yang paling lucu dan jadi bahan tertawaan semua orang yang melihat dan membuat malu korban kejahilan jin tersebut adalah bila santri yang jadi korban dijadikan alat peraga. Para korban wajahnya dan tubuhnya digambari dilukis dengan arang dari tungku. Mending kalau yang digambari hanya wajah atau bagian tubuh tertentu saja. Yang dilakukan si jin, lebih sadis. Wajah dan tubuh si korban dicat rata dengan arang dari tungku. Termasuk bagian tubuh yang tertutup baju dan celana. Dipulas rata, memakai arang yang sepertinya sudah dicampur dengan minyak kelapa. Sehingga mengkilap dan rata di permukaan kulitnya.
Kadangkala, jin itu mengecat korbannya,berselang-seling dengan kapur putih untuk mengecat, yang didapat entah dari mana. Bila para korban terbangun, hanya tampak matanya berkedip-kedip dan putih giginya yang menyeringai atau kulitnya jadi bergaris-garis hitam dan putih seperti kuda zebra. Karena muka dan tubuhnya jadi hitam legam seperti orang afrika!
Mending, kalau wajah dan tubuhnya dicat hanya menggunakan arang. Si Jin kadang lebih sadis lagi melukisnya, bila kekurangan arang. Tidak segan dia mengganti arang, dengan tahi ayam hitam (tai kotok medok) terutama dilukiskan di bawah hidung si korban. Bisa dibayangkan bagaimana rupa si korban, saat dia menyadari jadi korban si jin. Antara kesal, takut dan malu, serta ingin ketawa karena tubuhnya jadi hitam legam seperti orang afrika. Tidak heran, bila melihat si korban jadi nyengir. Semua yang melihat jadi tertawa, karena hanya gigi putihnya yang tampak dengan putih matanya yang melotot yang menahan rasa kesal,
Ada yang lebih mengerikan dan membikin hati ketar-ketir, yaitu bila si jin memindah-mindahkan orang yang sedang tidur. Baik anak-anak ataupun orang tua (zaman dahulu, santri itu banyak yang sudah dewasa), anak bangsawan atau bukan. Semua merasa tidak aman. Saat tidur sendiri atau berdua dipastikan jadi korban kejahilan si jin.
Tidak terlalau parah, kalau hanya wajah dan tubuh dicat dengan arang menjadi seperti zebra. Si jin dengan sadisnya, memindahkan dan meletakkan tubuh orang yang sedang tidur di atas kawat telepon! Coba aja pikir, seberapa besar yang namanya kawat telepon, tapi bisa dipake tidur sambil telentang. Tambahan si korban tersebut malah tertidur sambil ngorok sampai pagi. Bila terbangun, kemuadian si korban merasa kaget, dipastikan akan terjatuh dari ketinggian 4 meter. Demi keselamatan, bila terjadi hal yang seperti itu. Si korban cepat-cepat ditolong, dibangunkan diturunkan dengan menggunakan meja yang disusun.
Suatu waktu, seorang teman yang bernama Candrahayat menceritakan pengalaman keponakannya sewaktu mesantren di Keresek. Pengalaman keponakannya yang belum pernah diceritakan kepada siapapun, kecuali kepada saya. Keponakannya bercerita, bahwa dia menjadi korban kejahilan jin yang membuat dirinya tertawa sendiri.
Masih lumayan, teman-temannya hanya dicat tubuh dan wajahnya dengan arang hitam yang dicampur minyak atau kapur. Keponakannya, pernah dibuat tertawa sendiri sampai terpingkal-pingkal, atas apa yang dilakukan si jin kepada dirinya. Tambahan lagi kejahilan si jin itu terjadi di siang hari bolong.
Ceritanya, keponakan Candrahayat tertidur di mesjid sesudah melaksanakan sholat Dzhuhur (kelelahan karena semalaman menjaga saya). Memasuki waktu sholat Asyar, dia terbangun. Begitu mata terbuka, dia langsung tertawa terbahak-bahak. Bila ada orang lain, pasti akan kaget melihat orang yang bangun dari tidur langsung tertawa terbahak-bahak. Untunglah di mesjid siang itu hanya dia sendirian. Sambil terus tertawa, dia berlari tergesa-gesa menuju kamar mandi, malah mencuci segalanya yang dipake tidur di mesjid waktu itu. Sebenarnya apa yang terjadi?
Ceritanya, sewaktu tertidur keponakan Candrahayat bermimpi. Dia bermimpi didekati raja kodok, yang besarnya lebih besar dari kodok yang pernah dilihat. Kantung biji peler, Si “pemukul bedug” miliknya dalam mimpi, dijadiin seolah-olah menjadi sebuah rebana raksasa. Kemudian, oleh si raja kodok rebana tersebut dipukul di hadapannya. Terdengar suaranya sangat nge-bass.
Mungkin karena ukuran kulit rebananya yang sangat besar. “Bum, bum, bum...!” Suaranya lebih keras daripada bunyi suara bedug yang besar. Alasannya, pertama karena rebana itu diameternya besar, yang kedua pemukulnya juga sangat besar dan berbulu. Si “Pemukul” juga, direka-reka menjadi seperti kepala kodok, dilengkapi dengan gambar mata, mulut dan telinga. Asyik sekali dia menantap pemukul rebana besar tersebut.
Sedang asyik melihat “pemukul” yang menabuh rebana raksasa tersebut, matanya terbuka. Perasaanya masih dalam mimpi, saat dia sedang asyik dan khusu melihat pemukul rebana. Tapi, saat dia tersadar sepenuhnya dari mimpi. Dia terkaget-kaget lalu tertawa ngikik sendiri, karena pemukul rebana yang berwarna hitam yang memuluk rebana raksasa masih terlihat. Bukan dalam mimpi. Dia amati baik-baik pemukul yang digambari serupa wajah kodok, diwarnai arang hitam dan gambar mata, mulut, dan telinga memakai kapur putih itu. Ternyata, (maaf) kemaluannya sendiri. Anehnya, kemaluannya itu sedang asyik bergerak sendiri, memukuli kulit buah zakarnya yang dalam mimpi adalah rebana raksasa tersebut!
Maka dari itulah, kejadian yang dceritakan keponakannya kepada Candrahayat, tidak pernah diceritakan lagi kepada orang lain. Maklum, aib dan rasa malunya tidak bisa digambarkan. Sehingga dia harus cepat-cepat mandi membersihkan “pemukul” yang menjadi hitam dengan “rebana” putih karena dicat kapur. Cepat-cepat mencuci sarung, karena sarung yang dimilikinya hanya satu yang dikenakannya penuh dengan arang hitam bercampur minyak kelapa. Semenjak kejadian itu, keponakannya selalu memakai celana dobel.
Kejahilan si jin, tidak hanya kepada orang-orang yang berada di dalam rumah saya atau di dalam mesjid, tapi juga semua santri di kobong-kobong menjadi korbannya. Setiap malam, selalu ada korban yang dipindahkan badannya ke tempat yang tidak semestinya. Ada yang dipindahkan di atas pinggir bak (penampung) air yang kiri kanannya air. Bukan hal aneh, saat dia terbangun tengah malam atau ngelindur, dterjebur ke dalam air yang dingin.
Tidak hanya kepada yang lagi tertidur, tetapi juga kepada orang yang sedang sholat juga menjadi sasaran jin terebut. Barang siapa yang sholat mumfarid (sendiri), atau yang mendahului atau yang ketinggalan berjamaah dipastikan jadi korban jin itu. (BERSAMBUNG).
DESSULAEMAN

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 9)


Oleh : HASBA
...Tampak di langit-langit seorang perempuan cantik, berambut panjang dan berpakaian putih panjang. Duduk santai seperti selonjoran, sambil bernyanyi dan menatap para santri."
**************************************************************************

                Saya pun bangun, lalu duduk. Tapi kenapa jadi tak kuat menahan tangis, mulut tidak terasa menyebut-nyebut nama Ayahanda beberapa kali. Memanggil-manggil ayahanda, seolah beliau masih hidup. Kurang lebih seperempat jam meringis dan menangis, selanjutnya kembali tersadar. Selanjutnya, saya membaca ayat-ayat suci supaya Ayahanda dilapangkan di alam kuburnya, dipenuhi rahmat dari Allah SWT. Mata, tidak bisa dipejamkan lagi sampai pagi.
                Paman dan Bibi saya dari Sumurkondang dan saudara-saudara dari tempat jauh atau dari tempat yang dekat, berdatangan menunggui saya sekeluarga. Hasan si Cikal, belum sembuh juga. Mereka bergantian, menunggui saya sekeluarga. Ikut menjaga dan ronda bergantian tanpa pamrih sebagai rasa bela sungkawa. Tapi, meronda dan berjaga-jaga dari apa, dan dari siapa? Walaupu dikerahkan beberapa batalion dan sekuat apapun pasukan yang dikerahkan untuk berjaga-jaga, pasti akan sia-sia belaka. Karena, yang dihadapi adalah musuh yang tidak terlihat oleh mata alias jin.
Hati saya tetap tidak tenang, walaupun begitu ketat dan banyaknya penjagaan yang dilakukan sanak saudara dan para santri. Malah makin panik, karena jin tersebut sepertinya makin menjadi-jadi bila yang menunggui atau menjaga saya sekelurga makin banyak. Jin tersebut makin membuat kesal dan prustrasi satu pesantren. Cerdas sekali si jin melakukan perang urat saraf. Bagaimana tidak? Dia mah melihat ke kita, tapi kita sama sekali tidak bisa melihat wujudnya. Misalnya, dia melakukan kejahilan mempermainkan saya dan kita seperti berikut.
                Bila sanak saudara ramai sedang ramai berkumpul sedang menjaga dan menemani saya atau sedang pengajian atau bermusyawarah di pesantren. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya. Ujug-ujug muncul seekor tikus ke tengah-tengah orang-orang yang sedang berkumpul. Tidak siang, tidak malam tikus itu muncul bila orang-orang sedang berkumpul. Tentu saja hal itu memuat panik di kalangan kaum wanita, mereka berlarian menjerit-jerit, kegelian sambil berteriak histeris.
Tubuh orang-orang di sana bergidik kegelian, takut sekaligus jijik. Bila terlihat orang-orang ketakutan, dan panik seperti itu. Si tikus jin, malah makin menggila kelakuannya. Dikejar-kejar dan diusir bukannya kabur malah seperti sengaja pamer kekuatan. Saat dikejar dan dikepung, si tikus malah melompat ke atas betis orang yang ketakutan. Lari turun naik dari betis ke paha, dari paha turun lagi ke betis. Tentu saja, perempuan yang dijahilinya. Makin panik dan makin menggila rasa geli dan takut. Menjerit, sambil mengangkat kain panjang yang dikenakan. Setelah puas, tikus itu melompat ke kaki-kaki lain yang ketakutan atau kegelian. Suasana jadi kacau balau , takut, panik, suarat jeritan dan suara tawa tertahan bersatu dalam kehirukpikukan tersebut.
                Seorang pemberani yang tidak takut dengan tikus, dengan gagah berani, mengejar-ngejar tikus tersebut. Kemudian, memukul tikus itu dengan tongkat rotan bekas gagang sapu ijuk. Orang-orang pun serempak melingkar siap memukuli tikus itu sampai mampus. Tiba-tiba tikus yang dipukul itu yang asalnya segede cecurut. Merubah wujudnya menjadi sebesar anjing hutan, sambil menggeram kepada orang-orang yang mengepung dan siap menghajarnya. Tentu, saja melihat tikus segede anjing hutan dan menggeram. Semua bubar, berlarian ke sana kemari, laki perempuan semua berlari bahkan ada yang melompat-lompat sambil menjerit atau berteriak-teriak ketakutan atau kegelian.
                Akhirnya setelah mengetahui bahwa bila dipukul tikus itu akan berubah menjadi sebesar anjing hutan. Tidak ada yang berani lagi memukul tikus, bila muncul dalam keramaian atau ketika sedang pengajian. Semua seperti dikomando, hanya berdiam diri, menyaksikan si tikus beraksi sendiri di tengah-tengah orang yang berkumpul sambil bersila. Semua maklum, tidak akan terbayangkan bila tikus itu dipukul. Kemudian mati, dipastikan ajang balas dendam si jin akan menjadi-jadi seperti dibunuhnya ular hitam. Ditakutkan, tikus yang muncul adalah tikus jelmaan jin. Bagi tikus asli tikus, ketakutan orang untuk tidak membunuh tikus menjadikan tikus asli aman dari gangguan manusia. Akhirnya populasi tikus meningkat dan merusak semua yang ada. Jangankan padi yang tersimpan di gudang, bantal, guling, kasur, bahkan pakaian bekas semua habis oleh tikus asli. Keadaan menjadi tambah keruh!
                Akhirnya, karena kemunculan wujudnya dalam bentuk tikus tidak lagi dihiraukan alias dicuekin. Muncul lagi satu keanehan lain, yang membuat semua orang menahan tawa sekaligus ketakutan. Misalnya, bila orang-orang sedang berkumpul dala pengajian atau bermusyawarah. Dari pintu atau jendela yang terbuka atau dari lubang langit-langit yang bolong. Seringkali, tiba-tiba muncul sebuah lengan, yang tidak hanya panjang tapi juga besar. Kulitnya sangat hitam dipenuhi rambut-rambut hitam tebal sangat kasar. Telapak tangannya sebesar tampah besar, jari-jarinya sebesar pisang galek. Kuku-kukunya sangat tajam juga hita, seperti kuku macan siap menerkam. Tangan itu seperti bersiap meraup dan meremas tubuh orang-orang yang ada di sana. Jari jemari-jemari yang berkuku hitam seperti cakar mengerikan, dimainkan seperti manusia sedang bermain gelitik terhadap seorang bayi. Mungkin kita ingat, kalau mengajak main bayi, jari-jari kita suka dimainkan di atas tubuh bayi, seperti akan menerkam sambil berkata: “rauk-rauk jabang bayi, dimana si julang ngapak eunteupna. Di dieueueu...!” sambil jemari kita menggelitik badan si bayi. Yang akan merespon dengan tertawa renyah kegelian.
                Siapa orangnya yang tidak takut, dengan tangan panjang besar hitam dan berambut kasar seperti kawat dengan kuku bercakar hitam seperti macan. Siap menerkam, mencengkeram tubuh orang-orang yang hadir di sana. Mungkin pada saat menggelitik perut atau dada bayi, jemari tangan kita mendarat halus dan pelan saja. Tidak terbayangkan bila tangan jin itu, mendarat di dada atau perut manusia. Dipastikan tubuhnya akan remuk redam, mungkin tiga orang saja digenggam dan diremukan oleh tangan tersebut bukan perkara yang sulit, saking besarnya tangan dengan jari jemari bercakar mengerikan itu!
                Kadang kala kejadian yang tidak disangka-sangk, jin tersebut menampakkan dirinya dalam wujud nyata! Bila para santri sedang libur mengaji di malam Jum’at. Para santri sering bermain dan bersenda gurau menghibur diri di dalam kobong (pondok asrama). Ada yang bercanda, ada yang mengobrol, ada yang bernyanyi, ada yang main musik dengan mulut (mungkin sekarang musik akapela) dan permainan lainnya yang membuat suasana di pondok menjadi ramai. Tiba-tiba dari langit-langit kobong, terdengar keras suara gitar dengan lagu yang merdu. Semua serentak melihat ke langit-langit, semua terdiam, sunyi, mendadak membisu. Terdengar hanya suara denting senar gitar yang dimainkan sangat mahir dengan nyanyian suara merdu seorang perempuan.
                Seperti dikomando, para santri mendongak. Tampak di langit-langit seorang perempuan cantik, berambut panjang dan berpakaian putih panjang. Duduk santai seperti selonjoran, sambil bernyanyi dan menatap para santri. Tubuh para santri mendadak jadi membeku, nafas mereka tertahan, dibarengi bulu kuduk yang berdiri, mereka menggigil ketakutan. Semua tidak ada yang berani, menatap lama ke atas langit-langit. Semenjak kejadian itu, bila terdengar suara denting senar gitar dan suara perempuan yang bernyanyi. Para santri tidak pernah lagi melihat ke atas langit-langit. Para santri tidak menghiraukannya, mereka asyik dengan teman-temannya saja. Terdengarnya denting suara gitar dan nyanyian merdu tidak lagi menjadi barang yang ditakuti. Yang penting tidak mendongak ke atas.
                Bila malam tiba sangat pantas bila semua jendela tertutup, tapi bila siang semua jendela tertutup padahal ada penghuninya. Tentu menjadi hal yang tidak lumrah. Tapi, di rumah saya, terpaksa hal itu dilakukan. Siang malam jendela tertutup rapat. Jadi selamanya harus gelap. Makanya suasana benar-benar jadi seperti rumah hantu atau rumah yang memang berhantu. (BERSAMBUNG).

DESSULAEMAN
ilustrasi gambar dari Google




Sunday, November 24, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 8)

Oleh: HASBA

Suatu saat saya pernah mengalami hal yang cukup membuat hati ketar-ketir. Mungkin lebih mengerikan dengan apa yang dialami oleh Esin. Esin hanya dilempar terompah kayu, saya malah dilempar dengan golok tajam. Tampak golok itu sangat tajam matanya, baru diasah oleh pemiliknya. Entah golok siapa, entah dari mana datangnya. Dari bentuk dan ketajamannya, golok itu dipastikan buatan Cibatu, Sukabumi (Cisaat). Malam sebelum kejadian saya bermimpi, bertemu dengan Ayahanda almarhum (Kakeknya anak-anak). Dalam mimpi, beliau menasihati harus sabar dan menyuruh saya untuk bangun. Jangan terlalu banyak tidur, jangan terlalu lama kalau tidur. Jangan memasuki kamar yang memakai tulak (kunci dari balok kayu) yang mengunci tiba-tiba dengan sendirinya. Jangan tidur pada jam sekian (salah waktu). Ayahanda menyuruh saya mengecek ke tempat penyimpanan di sana ada benda tajam. Segera saya terbangun dari mimpi, kemudian membaca Alfatihah dihadiahkan untuk Ayahanda. Lalu, menuju ke tempat yang ditunjukkan dalam mimpi. Mencari benda tajam, yang tadi diinformasikan oleh almarhum Ayahanda dalam mimpi.Tertanyata, apa yang dibisikkan Ayahanda dalam mimpi benar adanya. Saya temukan sebuah golok yang sangat tajam, saking tajamnya saat disentuh matanya terasa oleh kulit ujung jari. Terlihat mengkilap, sepertinya baru diasah dan siap digunakan. Entah untuk apa, oleh siapa atau untuk siapa. Yang jelas ketajamannya, menyamai tajamnya pisau cukup buatan Jerman. Waktu itulah, saya hampir mengalami bencana yang fatal!
Kali kedua, saat sedang duduk bersantai, beristirahat. Tiba-tiba, sebuah golong melayang secepat kilat mengarah ke leher saya. Sesaat hati saya terkesiap, reflek mengucap Allahu Akbar sambil berkelit. . Bila tidak ada perlindungan-Nya,mungkin leher saya sudah putus atau bila kena kepala, dipastikan akan terbelah. Suara golok yang melayang secepat kilat itu, berdengung seperti suara lebah saking cepat dan kuat di lemparkannya. Alhamdulillah, saya selamat. Tubuh saya tidak tergore sedikitpun. Sesaat setelah gagal menebas leher saya, golok itu terjatuh di atas lantai yang terbuat dari kayu. Sakit kuatnya, golok tersebut menancap hampir setengahnya. Padahal lantai kayu tersebut terbuat dari papan pohon rasamala. Rasamala adalah satu jenis kayu termasuk kelas 1, terkenal kekerasannya apatah kalau sudah kering. Waktu golok itu akan dicabut ternyata tidak segampang yang dikira. Terbayang, sekuat apa tenaga yang dipakai untuk menebas leher saya itu. Disaksikan oleh beberapa orang, mereka juga meyakinkan bahwa yang menancap di lantai papan tersebut adalah golok. Setelah dicabut dan diakali, dilihat dari cap yang tertera di dekat pegangannya ternyata lagi-lagi golok buatan Cibatu, Sukabumi. Secepatnya, golok tersebut disimpan ditempat tersembunyi.
Semenjak hari itu saya selalu bersiak waspada. Ngeri dengan apa yang dua kali telah terjadi. Bukan lagi ancaman, tetapi jelas-jelas jin itu ingin menghabisi saya. Hati tak henti berdzikir dan meminta perlindungan Allah SWT. Tubuh saya perlahan mengurus, karena jadi tidak enak makan, tidak enak tidur. Hampir tiap hari, bulak-balik mendatangi makam Ayahanda dan mengirim do’a untuknya. Berkahnya terasa langsung, walaupun Ayahanda telah lama meninggalkan alam fana. Malamnya, sesudah mendatangi makamya, pasti bermimpi bertemu dengan beliau seperti diceritakan di atas. Tiap hari, goadaan, ancaman dan kelakuan jin itu makin keterlaluan. Tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Entah yang ke berapa kalinya, satu malam setelah siangnya saya berziarah ke makam Ayahanda. Saya, kembali diingatkan oleh mimpi dari Ayahanda. Saya bermimpi didatangi oleh Ayahanda. Jelas sekali dia berkata, seolah bukan dalam mimpi. “ Kamu harus sabar! Jangan cengeng! Cobaan yang dialami kamu sekarang ini. Belum seberapa dengan yang dialami oleh Ayah dulu sewaktu diganggu jin. Hanya dengan kesabaran yang tidak ada batasnya, jin itu akan bisa ditaklukan oleh kamu. Apa yang dialami kamu sekarang, jauh masih kecil dengan apa yang dialami oleh Ayah. Nanti, bila jin itu sudah benar-benar melebiha batas akan mencelakakan kamu. Insya Allah, Ayah akan secepatnya akan mengabari kamu. Ayah tidak akan tinggal diam.”
Saya membuka mata, jelas tegas sekali apa yang diucapkan almarhum Ayah. Jelas sekali terdengar di telinga, tidak seperti di dalam mimpi. Terlihat jelas oleh mata, wujud Ayahanda yang menatap saya penuh kasih sayang. Tampak, beliau sedang duduk melihat tubuh saya dengan teliti. Kurus, bahkan teramat kurus, sehingga pipi menjadi cekung. Sudah cukup lama, nafsu makan hilang, mata tidak bisa lelap tidur, malah untuk minum pun saya amat minim. Bertawakal kepada Allah bukan omong kosong, dibarengi berpuasa, saking tidak kuat menahan godaan, ancaman dan kelakuan jin Islam yang tak henti meneror. Dalam keadaan telentang, saya meraba tulang rusuk. Terasa tulang hampir tanpa daging. Saking kurusnya. Sudah terbangung tapi mata masih setengah terpejam.
Baru menyadari, mengapa banyak orang yang pangling. Banyak orang mengatakan saya kurus kering, wajah pucat, mata kosong dan cekung dengan pipi yang tirus. Saya sendiri merasakan, tubuh seperti melayang, kaki serasa tak berpijak. Bisa dikatakan, saya dalam keadaan “gering nangtung ngalanglayung”. Sakit pikiran,serba bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Begini salah,begitu salah. Akhirnya, cuma bisa melamun dan bengong berkelanjutan tiada ujung. Bukang sakit fisik, tapi sakit psikis, karena stress berkelanjutan. Akibat gangguan jin yang ingin balas dendam. Dalam keadaan sehat, seringkali menyindir lelaki yang mudah menyerah, kalah oleh keadaan. Hati makin pedih, perasaan makin tersayat-sayat. Teringat pepatah Ayahanda dalam mimpi tadi malam. Masih terbayang, bagaimana sorot mata Ayahanda, yang seolah menyesalkan keadaan tubuh saya yang kurus kering, tak berdaging. Keadan tubuh yang melorot drastis, sehingga jauh berbeda dari keadaan semula. Diakibatkan pikiran yang tidak bisa tenang, serta perasaan yang tidak bisa nyaman dalam masa yang lama.
Ucapan lisan Ayahanda serta gerak gerik tangan dan perilaku tubuhnya menandakan bagaimana kasih sayang seorang Ayah saat melihat anaknya dilanda gundah gulana. Kasih sayang yang tidak batasnya, tidak pupus dimakan waktu, tidak lekang dimakan zaman. Kasih Ayah sampai akhir masa. Tidak herang, kasih sayang tersebut bisa menyambungkan dua ruh di alam halus. Karena ikatan batin yang amat kuat dari orang tua kepada anaknya. Sekalipun Ayahanda telah tiada, tidak suka, tidak rela melihat anaknya menderita di dunia fana. Semenjak lahir, orangtua memelihara kita tanpa pamrih, tanpa upah. Rela tidak tidur dan menimang anaknya yang menangis karena kita mengompol atau hanya sekedar lapar. Bergantian Ayah dan Ibu kita, ikhlas menghentikan nikmatnya suapan nasi saat makan, melihat anaknya menangis karena kelaparan. Rela terjaga semalaman, jangan sampai ada seekor nyamuk pun yang menggigit tangan kita.
Ayah dan Ibu ikhlas berpanas-panas badan, rela basah kuyup kehujanan demi melindungi anaknya dari terpaan panas cahaya matahari atau derasnya hujan. Rela mandi keringat, menahan air mata demi kebahagiaan anak-anaknya. Disekolahkannya kita dengan pendidikan yang terbaik, jungkir balik, banting tulang bukan kata-kata hampa. Rela berlapar-lapar agar anaknya bisa terus sekolah. Biarlah ayah dan ibunya bodoh, tapi anak-anaknya harus lebih pintar dan mempunyai pekerjaan yang layak. Sehingga berbahagia saat mereka dewasa. Saat kita mau tidur, tidak segan orang tua bercerita sambil memeluk kita. Membenahi tempat tidur dan selimut, padahal tubuh mereka juga sebenarnya menggigil oleh dingin malam. Dipangkunya tubuh kecil kita, diayun-ayun, sambil tak henti berjalanke sana ke mari sambil menyanyikan nadoman sholawat kepada Nabi atau lagu ayang-ayanggung....
Siang kita dijaga, malam orangtua harus terjaga. Tak peduli, tubuh berbalut pakaian butut yang penting anak-anaknya bisa berganti baju baru pada saat lebaran tiba. Dididiknya kita melantunkan ayat-ayat suci, dimanja, dininabobokan. Pasti tidak akan rela, anak yang dari kecil dijaga dengan penuh rasa cinta. Sekalipun anya digigit nyamuk. Ya, Allah masih terasa kasarnya tangan Ayahanda mengusap kepala sewaktu saya dalam keadaan sakit parah di masa kanak-kanak. Tangan yang dipenuhi luka karena harus bekerja keras menghidupi anak-anaknya. Saat kita menangis karena kepanasa, tanpa keluh kesah mereka mengipas-ngipaskan apa saja yang ada agar kita menjadi nyaman. Teringat itu semua, tidak terasa mata menjadi basah. Air mata membasahi pipi yang kini tirus. Melihat sorot mata dari Ayahanda dalam mimpi, saat melihat kurus kering tubuh ini. Ayahanda pasti merasa sakit hati, tidak rela anaknya menderita berkepanjangan. Ketidakrelaan dan kasih sayang yang tak putus oleh kematian, menjadikan alam halus atas ijin Allah menembus batas tempat dan waktu. (Bersambung).

Tuesday, November 19, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 6)

Oleh: HASBA


Jadi ada tiga orang yang mengatakan melihat seorang perempuan memakai rok putih panjang. Iko keponakan saya, Neneknya anak-anak dan Ma Ecoh paraji dari Babakan Cau. Malam itu, praktis tak seorang pun matanya terpejam. Tidak ada yang mengantuk, karena diliputi rasa takut. Mau berpisah, mereka tidak berani. Tak diberi kesempatan sedikitpun, bergerak sedikit saja, langsung disambut taburan tanah merah. 

Akhirnya, seperti ikan yang terperangkap. Bisa masuk tidak bisa keluar. Semalam serasa setahun. Saat pagi tiba, matahari mulai bersinar. Semua mengucap Alhamdulillah. Mereka menyangka, kalau siang hari tidak mungkin ada gangguan setan yang menaburkan tanah merah seperti  dialami semalaman.

Tepi ternyata… saat suara ayam jago ramai berkokok menyambut pagi. Tanda siang menjelang, hidung semua yang masih di dalam rumah. Mencium bau tidak sedap. Serentak semua menutup hidung rapat-rapat. Saking rapatnya, mulut mereka malah terbuka, karena pengap. Tidak sedikit, membuat mereka meludah berulang-ulang.

Mata masih sayu, tanda mengantuk sebab tidak tidur sekejap pun. Tubuh terasa lemas, letih, lesu tidak terhingga. Kelaparan karena semalaman tidak ada yang memberikan sekedar air untuk minum. Apa yang akan dimakan? Jangankan memikirkan makanan, melihat nasi tumpeng yang diacak-acak dan diporakporandakan, diletakan di sepanjang jalan dari dapu ke rumah. Mending kalau utuh, sebagian besar nasi tumpeng itu hilang. Entah siapa yang menyantap.

Tapi, siapa yang menyantapnya? Mencium bau tidak sedap apakah sehingga semua orang menutup hidung, bahkan ada yang sampai meludah saking baunya? Ternyata, ada ratunya ratu bau, sehingga membuat mual tak terbayangkan. Lebih bau dari kentut manapun yang pernah tercium. Kentut sigung mungkin masih mending.

Tadi malam semua mabuk pangle yang disemburin Mak Ecoh ke semua penjuru rumah, sampai pengap tak bisa bernafas. Ternyata efeknya bukan mengusir setan, malah manusia yang terkena dampaknya. Buktinya, si setan malah main akrobat di dapur menerbangkan dan memutarkan semua peralatan di dapur. Juga, sepertinya nasi tumpeng yang hilang sebagian pasti dimakan oleh mereka. Tambahan lagi, menaburkan tanah merah ke dalam rumah semalaman 

Pagi-pagi sudah tercium bau raja baunya, lebih busuk dari bau kotoran manusia. Apakah setan juga bisa BAB gitu? Kata salah seorang yang ngomong sembrono, yang tidak kuat oleh bau yang amat sangat menyengat tersebut. Bau yang memenuhi seluruh ruangan rumah. Walaupun letih, karena tidak tidur semalaman dan perut belum terisi makanan apapun. Terpaksa saya bangkit, karena hidung sudah tidak kuat oleh bau busuk yang baunya lebih busuk dari yang terbusuk yang pernah ada.

Saya juga yang pertama melihat, penyebab bau yang teramat bau tersebut. Semua menyangka itu adalah bau kotoran manusia, ada juga yang menyangka bau bangkai. 

"Ngalau mukan nahinya, nahi, masti nahinya mangkai!" Kata Ma Ecoh, suaranya jadi sengau karena jari jemarinya menutup rapat-rapat hidungnya.

Kepala tengadah, mencari arah sumber raja dari segala raja bau tersebut. Ternyata sepertinya benar, arah datangnya bau tersebut dari atap rumah. Saya, menyangka bau itu berasal dari bangkai yang sudah teramat busuk. Sewaktu akan diselidiki, terlihat atap yang terbuat dari anyaman bambu itu seperti tertekan ke bawah dan seperti basah.

Saya mendekati atap para tersebut. Ternyata bukan hanya basah, tapi atap anyaman bambu tersebut sudah basah kuyup. Malah sebagian airnya ada yang menetes cukup deras, tak berhenti jatuh di atas lantai bambu. Nah, ternyata sumber raja bau dari segala rajanya bau tersebut adalah air yang menetes dari atap rumah!

Tapi air apa? Sampai baunya, melebih bau dari segala bau? Seorang santri diminta mengambil tangga bambu. Basahnya atap rumah oleh air misterius yang super bau terlihat sudah sangat lebar. Bahkan, menetes di beberapa tempat cukup deras.

Saat, saya dan orang-orang naik ke atas melalui lubang atap. Ya Allah, semua bergidik, jijik dan mual mendadak. Semua hampir muntah bersamaan!

Ternyata, di atas atap yang basah tadi. Tampak seonggok besar tahi seperti kotoran manusia. Tapi, yang ini jauh lebih besar dari gundukan sarang rayap atau semut yang biasa ditemukan di hutan. Bahkan, jauh lebih besar. Melebar sampai diameternya sebesar tampah besar! Warnanya hijau, seperti tahi sapi. Bentuknya seperti kotoran kalau kita sedang mencret-menret. 

Diantara kotoran encer tersebut tampak gumpalan-gumpang lebih pada sebesar kepala kuda. Mengapa ada kotoran segede itu dan teramat sangat banyak? Lagian, siapa orangnya yang buang air besar di atap rumah? Hidung saya dan orang-orang sudah imun. Sehingga sudah kebal dan tidak merasakan bau lagi saking lamanya mencium bau tersebut. Terbiasa mungkin. Baunya sudah tidak terasa begitu bau. 

Apakah kotoran sebesar dan sebanyak itu, berasal dari satu jin atau banyak jin? Tapi, kalau dari beberapa jin, tidak mungkin. Karena rupa dan warnanya sama.

Saya buru-buru, menyuruh orang-orang agar membuka genting. Supaya bau yang lebih bau dari segala bau itu, gasnya bisa terbuang ke udara. Semua korpe, gotong royong membuka genting. Agar baunya terbawa angin, tidak berputar di dalam rumah.. Lalu langsung meminta orang-orang agar kotoran misterius itu dibersihkan sebisanya. 

Otak saya berpikir tidak berhenti: " Baru satu Jin, tahinya aja sebesar tampah. Padahal jinnya perempuan, lagi pula konon seorang Puteri. Apalagi, kalau jinnya banyakan! Apalagi bila  jinnya laki-laki yang lebih banyak makannya! Ini mah jin dan seorang Puteri pula, gede tahinya segitu dahsyatnya! (BERSAMBUNG)

Sunday, November 17, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Pesantren Keresek (Bagian 5)

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 5)

Ternyata tidak disadari, saya dalam keadaan shock, ketakutan. Saking takutnya, sampai ngompol. Baru sadar kalau saya mengencingi diri sendiri, setelah terasa celana kolor dan sarung terasa basah kuyup dan bau pesing.

Setelah itu keberanian saya kembali terkumpul sedikit demi sedikit. Tadi pada saat melihat payung terbang menari di atas dandang, keberanian saya kabur semua. Sampai terkencing-kencing.  Kemudian, pandangan dialihkan ke dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Dug, adrenalin kembali muncrat. Jantung berdegup dengan kencang, mata tak bisa berkedip. Melotot ke arah dinding, semua peralatan dapur seperti piring, cobek batu, ulekan batu, sampai songsong (buluh bambu peniup api di tungku). Semuanya melayang di bawah atap dapur juga terbuat dari anyaman bambu)! Tidak menempel, tapi semuanya melayang dan berputar-putar berbarengan.

Buluh bambu berputar seperti baling-baling, cobek dan ulekannya terbang seperti piring terbang, apalagi piring seng terbang ke sana kemari sambil berputar dan kadang menyambar.  Sangat lama saya melongo, terbengong-bengong, lutut gemetar, badan menggigil. Saking ketakutan, sampai terkentut-kentut, buang angin untung tidak dengan isinya. Ingin rasanya berlari dan berteriak, tapi tubuh seperti menjadi beku. Kaki dan tangan saya tidak bisa digerakkan sama sekali.

Mata perlahan melirik ke atas kepala. Rasa takut makin bertambah-tambah. Betapa tidak? Ternyata selain peralatan dapur yang tadi disebut tadi. Di atap dapur juga beterbangan wajan, panci- panci, buluh bambu penampung air, gentong wadah beras, cungkir, mug dan cangkir batok kelapa. Pokoknya semua peralatan dan barang yang ada di dapur, semua melayang, berputar dan beterbangan ke sana ke mari seperti sedang akrobat.

Beberapa buah piring yang terbang dan berputar berbarengan, kalau dibandingkan dengan keterampilan sirkus keluarga Tjan Tjun Lie yang tampil di Jakarta, belum seberapanya. Jauh lebih hebat penampilan setan yang sedang beraksi di dapur rumah saya. Tjan Tjun Lie mah memutarkan piring sambil jumpalitan, tetap piring yang diputarnya menggunakan topangan bambu sebagai sumbunya. Tapi, piring yang jumlahnya belasan diputar, dan terbang oleh setan di dapur saya tanpa menggunakan apapun.

Mata lalu di arahkan ke belakang dandang di atas tungku  yang apinya menyala-nyala. Mata langsung terasa silau. Belum jelas apa yang menggelinding horinsontal dan kadang berputar vertical di udara, seperti kurungan ayam di belakang dandang itu. Ternyata, itu kainnya Esin yang kata Esin ditarik sampai Esin harus setengah bugil berlari ke dalam rumah. Pertama, tampak kain itu berdiri seperti sebuah gorong-gorong beton. Kemudian menggelinding ke sana-kemari tak beraturan. Melihat kejadian itu, langsung teringay lagi ke Esin. Pantesan Esin, sampai shock berat dan tidak menyadari berlari ke dalam rumah dalam keadaan setengah bugil.  Baru tersadar kembali setelah dijampi-jampi oleh Mak Ecoh.

Beberapa saat kemudian, pikiran dan akal sehat saya kembali normal. Pantaslah saya sampai ketakutan sampai terkencing-kencing dengan tubuh menggigil dan lengan dan kaki tidak bisa bergerak.  Karena sama,  tidak mengingat kepada yang Allah yang Maha Kuasa. Secepatnya mulut membacakan ayat-ayat Al Quran, pikiran saya pusatkan kepada Illahi Rabbi.  Batin menjerit kepada yang Maha Suci minta pertolongan.  Kaki dan lengan, akhirnya bisa bergerak kembali. Perlahan-lahan, berjalan seperti robot bergerak ke tengah rumah.

Jiwa dan hati saya kembali normal, walaupun lambat. Mulut tak henti komat-kamit menyebut nama Sang Penguasa Alam. Tapi, sewaktu melangkahkan kaki satu-satu. Kembalil harus dibuat kaget dan terheran-heran. Di jalan setiap kaki akan melangkah. Teronggok nasi tumpeng. Tidak beda dengan bentuk tahi kerbau, seonggok demi seonggok, mulai dari pintu dapur, seperti dibariskan memanjang ke dalam rumah, jaraknya sangat teratur, hampir sama seperti diukur. Onggokan nasi tumpeng tersebut berakhir di pintu masuk ke ruang tengah dimana semua orang sedang menunggui dan menemani Hasan, anak saya yang sakit mendadak.

Nasi tumpeng dari mana? Pasti nasi tumpeng yang sedang di masak Esin di dalam dandang. Yang isinya berganti dengan payung yang berputar, naik turun. Saat memasuki ruang tengah. Semua mata, terarah pada saya. Mereka bertanya, mengapa di dapur lama-lama banget? Saya tidak menjawab, tapi cepat-cepat masuk kamar. Mengganti celana kolor dan kain sarung yang basah karena air kencing, keluar tak tertahankan. Maklum air kencing, bayi besar, yang sudah besar, tambahan lagi siangnya makan jengkol. Bila tidak diganti dahulu, dipastikan semua orang akan mencium bau pesing plus sari jengkol.

Sesudah berganti kain sarung dan celana kolor. Saya mulai bercerita apa yang terjadi di dalam dapur. Tidak lupa, ditunjukkan pula onggokan demi onggokan nasi tumpeng sepanjang jalan menuju ke dapur. Kalau ditaksir kurang lebih ada dua puluhan onggokan nasi tumpeng. Kemudian semua mengikuti saya dari belakang, menuju ke dapur. 

Mereka masih melihat apa yang saya lihat. Semua barang dan peralatan yang tedapat di dapur. Berterbangan dan berputar atau menggelinding ke sana kemari. Payung masih berputar, melompat-lompat di atas seeng yang uap airnya terlihat mengepul. Semua yang menyaksikan waktu itu melihat bagaimana “beraninya” saya bisa menyebutkan dan melukiskan semua apa yang terjadi dengan barang dan peralatan yang berputar sambil tersenyum. 

Mungkin karena masuknya ke dapurnya bersamaan dan melihat kejadian aneh itu tidak ada perasaan takut lagi. Tapi, sebagian besar orang yang ikut ke dapur. Tidak sadar mereka saling berpegangan tangan, karena takut.  Sesekali tangan saya menunjuk ke barang yang sedang berputar atau melayang. Saya menceritakannya sambil berlagak, seolah-olah saya yang memiliki dan melakukan semua trik itu. Tidak ada lagi perasaan takut seperti pada mulanya tadi sendirian di dapur. Tak satupun yang mengetahui, saking ketakutan, saya sampai terkencing-kencing waktu sendirian di dapur tadi.

Sesudah kenyang ditonton oleh banyak orang, dan terlihat para penonton tidak ketakutan lagi. Malah seperti menikmatinya. Semua barang dan peralatan dapur itu akhirnya beterbangan dan melayang ke tempat seharusnya. Dimana mereka tersimpan seperti biasa. Terlihat sangat tertib, saat mereka kembali ke tempatnya masing-masing. Tak terdengar satu pun bunyi denting piring yang beradu, atau gelombrang  dandang yang  saling bertabrakan. Payung yang berputar, perlahan berhenti dan menutup, lalu kembali melayang perlahan dan tersimpan di sudut ruang dapur, songsong, buluh bambu, gentong wadah berisi beras, panci, cobek dan ulekan yang tadi terbalik dan berputas-putar, serta mug  dan cangkir batok semua kembali ketempat.

Tertib sekali, semua kembali ke asal, satu demi satu. Seperti kembali dengan sendirinya, karena tidak terlihat siapa yang mengembalikannya. Kain sarung Esin malah, tiba-tiba seperti dimasukkan dan dikenakan pada pemiliknya, membuat Esin terkejut. Dia terkaget-kaget sampai mau lari, untung dipegang oleh orang di sampingnya. 

Tiba-tiba terlihat, kepala Esin seperti ada yang menundukkan, ternyata sanggul Esin seperti ada yang merapikan kembali. Setelah, kepalanya kembali ke posisi semula. Esin bercerita, tadi seperti ada yang memegang kepala dan menundukan kepalanya dengan paksa. Terasa ada yang kembali memasangkan gelung sanggulnya. Bulu kuduk semua yang hadir terangkat. 

Kemudian Mak Ecoh berkata, tadi sewaktu dia salah memasukkan sisig yang seharusnya pangle. Dia seolah melihat sebuah wujud yang menakutkan, tiba-tiba tampak di hadapannya. Dia menjadi sangat ketakutan, sehingga jadi salah memasukkan sisig ke dalam mulutnya! Yang tampak di hadapannya itu berwujud seorang perempuan cantik jelita, memakai rok panjang. Terlihat mata dan wajahnya sangat bengis, penuh amarah. Tampak, perempuan cantik itu menaburi dan melempari Mak Ecoh dengan tanah merah! “Nih, lihat kepala Emak penuh tanah merah, soalnya gak keburu menyembur perempuan itu!”

“Ternyata setannya, seorang perempuan yang sangat cantik, Kiai” kata Mak Ecoh. Mendadak saya kembali menjadi dingin dan menggigil. Teringat kembali, bagaimana mimpi dan cerita Iko (keponakan saya) dan Neneknya si Cikal! (BERSAMBUNG)

(Ilustrasi gambar dari Google)

Thursday, November 14, 2019

Mengamuknya JIn Islam di Keresek (Bagian 4)

Waktu itu tidak ada yang ingat satu orang pun, tertutupi oleh rasa takut yang teramat sangat. Saking ketakutan, tubuh serasa membeku, kaki terasa dingin, nafas tersengal tertahan. Semua mata kompak melotot dengan wajah pucat pasi, sebab lemparan demi lemparan tanah merah dari luar ke dalam rumah makin banyak. Tidak ada yang menyadari, bagaimana anehnya tanah bisa masuk ke dalam rumah, padahal semua jendela dan pintu tertutup. Tanah merah tersebut seperti dicurahkan, dilakukan berulang-ulang. Tanah merah tersebut, yang paling banyak mengarah ke tubuh Mak Ecoh. Jangankan tubuh, bahkan rambut Mak Ecoh yang sudah dipenuhi uban putih, penuh dengan tanah merah.
Dalam keadaan ketakutan seperti itu, tiba-tiba Esin berlari dari darah arah dapur. Dia sedang menanak nasi di seeng (dandang), untuk acara Rewahan. Esin berlari ke ruang tengah dengan mulut terbuka. Matanya melotot dengan rambut acak-acakan tak karuan, padahal Esin selalu menggelung (mengikat) rambutnya. Dia tidak memakai kain panjang seperti biasanya, bahkan telanjang. Dia berlari dalam keadaan setengah bugil. Barang miliknya yang semestinya dijaga baik-baik dari pandangan orang lain. Waktu itu, benar-benar tidak tertutup satu lembar kain pun. 
Tentu saja semua yang hadir di tengah rumah, baik laki-laki atau wanit melihat penuh rasa heran. Sepertinya Esin dalam keadaan panik, karena tidak tampak rasa malu sedikitpun. Padahal semua orang melihat dia dalam keadaan telanjang bulat. Mulutnya melongo, terbuka lebar. Matanya melotot dengan pandangan kosong, tidak bisa ditanya. Setelah dibacakan mantera oleh Mak Ecoh yang tadi muntah sisig serta dilihat oleh semua yang hadir. Tiba-tiba dia berteriak: “Tolong Esiiin! Takuuuuut! Esiiin takuuut! Takuuut! Gelung rambut Esin tadi di dapur ada yang menarik. Rambu Esin diacak-acak! Terus kain esin ditarik!” 
Kata Esin, ketika sedang membetulkan kain lagi. Tiba-tiba, terasa seperti ada yang terbang melayang di telinganya. Hampir mengenai wajah, untung tidak kena. Ternyata, yang melayang itu sebuah terompah kayu. Dia melihat ke belakang, karena ingin tahu siap yang melakukan perbuatan itu. Ternyata tidak ada seorang pun manusia! Pintu dapur tertutup rapat. Sesudah habis bercerita, dia baru tersadar. Kalau dia setengah bugil. Kulit wajahnya merah, tersipu malu lalu dia mencari kain panjang untuk menutup auratnya! 

Waktu itu tidak ada yang ingat satu orang pun, tertutupi oleh rasa takut yang teramat sangat. Saking ketakutan, tubuh serasa membeku, kaki terasa dingin, nafas tersengal tertahan. Semua mata kompak melotot dengan wajah pucat pasi, sebab lemparan demi lemparan tanah merah dari luar ke dalam rumah makin banyak. Tidak ada yang menyadari, bagaimana anehnya tanah bisa masuk ke dalam rumah, padahal semua jendela dan pintu tertutup. Tanah merah tersebut seperti dicurahkan, dilakukan berulang-ulang. Tanah merah tersebut, yang paling banyak mengarah ke tubuh Mak Ecoh. Jangankan tubuh, bahkan rambut Mak Ecoh yang sudah dipenuhi uban putih, penuh dengan tanah merah.
Dalam keadaan ketakutan seperti itu, tiba-tiba Esin berlari dari darah arah dapur. Dia sedang menanak nasi di seeng (dandang), untuk acara Rewahan. Esin berlari ke ruang tengah dengan mulut terbuka. Matanya melotot dengan rambut acak-acakan tak karuan, padahal Esin selalu menggelung (mengikat) rambutnya. Dia tidak memakai kain panjang seperti biasanya, bahkan telanjang. Dia berlari dalam keadaan setengah bugil. Barang miliknya yang semestinya dijaga baik-baik dari pandangan orang lain. Waktu itu, benar-benar tidak tertutup satu lembar kain pun. 
Tentu saja semua yang hadir di tengah rumah, baik laki-laki atau wanit melihat penuh rasa heran. Sepertinya Esin dalam keadaan panik, karena tidak tampak rasa malu sedikitpun. Padahal semua orang melihat dia dalam keadaan telanjang bulat. Mulutnya melongo, terbuka lebar. Matanya melotot dengan pandangan kosong, tidak bisa ditanya. Setelah dibacakan mantera oleh Mak Ecoh yang tadi muntah sisig serta dilihat oleh semua yang hadir. Tiba-tiba dia berteriak: “Tolong Esiiin! Takuuuuut! Esiiin takuuut! Takuuut! Gelung rambut Esin tadi di dapur ada yang menarik. Rambu Esin diacak-acak! Terus kain esin ditarik!” 
Kata Esin, ketika sedang membetulkan kain lagi. Tiba-tiba, terasa seperti ada yang terbang melayang di telinganya. Hampir mengenai wajah, untung tidak kena. Ternyata, yang melayang itu sebuah terompah kayu. Dia melihat ke belakang, karena ingin tahu siap yang melakukan perbuatan itu. Ternyata tidak ada seorang pun manusia! Pintu dapur tertutup rapat. Sesudah bercerita, dia baru tersadar. Kalau dia setengah bugil. Kulit wajahnya merah, tersipu malu lalu dia mencari kain panjang untuk menutup auratnya! 

Selaku tuan rumah, saya harus memberi contoh kalau saya harus berani. Kalau saya menunjukan rasa takut, pasti semua yang berada di dalam rumah waktu itu akan kocar kacir. Berlarian. Bubar tak karuan, yang akhirnya akan merugikan saya dan anak saya yang membutuhkan orang yang menunggunya. Sebenarnya, waktu itu saya menawarkan dulu pada yang lain, siapa yang berani. Karena jujur saja, hati saya juga takut. Walaupun sudah dirayu, dibilangin ada nasi tumpeng di dapur, tetap saj tidak ada satupun yang menjawab.

Terpaksa saya memberanikan diri, memantapkan hati walaupun tidak bisa menutup rasa takut. Teringat kalimat dalam majalah Mangle, cerita: “Pondok Jodo Didodoho” yang berbunyi begini: Setan itu digjaya, iblis itu sakti. Tapi manusia lebih perkasa. Perkasa kalau ingkat kepada Tuhan. Tidak akan kalah oleh setan gentayangan. Tidak akan terkencing-kencing oleh iblis yang menyesatkan manusia. Manusia lebih mulia dan dimulikan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Manusia dilebihkan dalam segala hal daripada mahluk lain. Diberikan akal, pikiran dan lidah asal tidak lupa kepada-Nya.

Sayapun masuk ke dapur. Lalu saya masuk ke gudang tempat penyimpan makanan. Lampu masih menyala, api di tungku juga menyala-nyala, kayu bakar tidak berantakan tanda bekas dimasukkan oleh Esin. Tapi….apa yang ada di atas (seeng) dandang? Ternyata, bukan kukusan berisi tumpeng! Ternyata payung yang terbuka dan berputar seperti kincir angin. Tidak seorang pun yang memutarkan payung tersebut. Payung terbuka di atasa dandang itu berputar dengan sendirinya. Saya menggigil ketakutan. Mulut otomatis membaca istigfari. Saya mengusap wajah beberapa kali. Mimpikah saya?
Tanya hati saya kepada diri sendiri. Setelah kembali mengusap wajah, saya menutup hidung. Terasa pengap, jadi saya tidak sedang bermimpi. Beberapa kali saya mencubit diri sendiri, ternyata sakit. Berarti saya, benar tidak sedang bermimpi.


Saya jadi terkesima, berdiri mematung. Mata melotot ke arah payung yang berputar, melompat-lompat di atas dandang yang mengeluarkan uap karena airnya sudah mendidih. Api yang menyala, tampak makin besar tanda ditambah kayu bakarnya. Terasa mulut melongo, geraham jadi menggigil, tubuh menggigil karena ketakutan. Tubuh terasa membeku. Kaki tak bisa melangkah, mulut tak bisa bicara. Hanya mata melotot, bola mata bergerak ke berbagai arah.  Tidak aneh, Esin berperilaku ganjil, bila melihat keanehan di dapur seperti itu. Melihat payung terbuka berputar, melompat-lompat di atas dandang seperti menari dengan sendirinya.  Saya masih punya sedikit kesadaran, sehingga saya teringat kelakukan Esin tadi. Tapi, tidak terasa dan tidak mengerti apa sebabnya kain sarung yang dikenakan jadi basah! (BERSAMBUNG)

https://jin-islam-keresek.blogspot.com/2015/07/jin-islam-di-pondok-pesantren-keresek_90.html

Wednesday, November 13, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 3)

Serangan Pertama Balas Dendam Jin Islam di Keresek!

Prolog

Kisah mengamuknya Jin Islam di Pesantren Keresek, Cibatu, Kabupaten Garut ini ditulis oleh K.H. Hasan Basry. Si Penulis dalam cerita memerankan sebagai ayahnya (K,H, Busrol Karim. Alm), tokoh utama. 

Kisah mengamuknya Jin Islam di Keresek ini pernah dimuat di Majalah Sunda Mangle dan Koran Sunda Giwangkara. Alhamdulillah, kisah ini sudah saya ketik ulang di dalam blog https://jin-islam-keresek.blogspot.com/

Jin Islam di Keresek (Bagian 3)
Oleh: HASBA

Namun...., keesokan harinya setelah ketidakpercayaan cerita Iko dan Nenek tentang mimpi melihat puteri cantik yang sedang menangisi jenazah suaminya dengan kepala dibalut perban yang berlumuran darah membeku yang mengancam membalas dendam kepada pembunuh suaminya. Ketidakpercayaan itu, sirna dengan sendirinya. 

Waktu itu hari ketiga, pasca Iko bermimpi, tiba-tiba Hasan anak cikal saya. Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu pingsan. Sangat mendadak sekali Hasan pingsannya, padahal tidak sedang sakit. Suhu tubuh si Cikal, tiba-tiba panas tinggi. Saat dipangku, terasa panas badannya seperti memegang bara api. Tampak kulit wajahnya pucat pasi seperti kapas. Seperti tak berdarah. Tubuhnya lemas tak berdaya sama sekali. Lemas, selemas-lemasnya seperti kapuk yang tersiram air.

 Waktu itu saya berfikir si cikal tidak akan bisa selamat. Mengingat kondisi tubuhnya terlihat sangat parah. Pada awalnya saya menyangka dia terkena lolongsteking yang sering menyerang anak-anak setelah bermain, berlari-lari sambil telanjang baju karena kegerahan. 

Seperti kebiasaan di kampung. Saat melihat kondisi si Cikal yang tiba-tiba pingsan dengan demam tinggi. Mereka menganjurkan meminta pertolongan ke paraji atau istilahnya pengobatan kampung. Saya sendiri kurang berkenan, tapi pengobatan yang dilakukan lebih berbau tahayul atau klenik.  Sudah jelas anak sakit perut, karena terlalu banyak makan rujak pedas, mereka bilang kesambet setan jahat. Sangat sulit menghilangkan adat istiadat, kepercayan dan budaya yang sudah mengakar di dalam kehidupan masyarakat kampung seperti itu. 

Namun kenyataan di dalam kehidupan masyarakat,  tidak sedikit yang sakit karena  sakitnya ternyata diganggu jin atau setan. Melihat Si Cikal tidak sadarkan diri cukup lama dan demamnya tidak turun-turun. Akhirnya saya membaca doa dan ayat suci Al Quran pengusir setan dan jin.  Tetapi si Cikal tersayang, tetap tidak menunjukkan perubahan berarti, sehingga membuat khawatir ibunya.

 Ibu si Cikal sangat panik, sampai menangis, menjerit dan meratapi si Cikal. Nenek si Cikal, mulutnya tidak henti membaca istigfar dan doa-doa agar cucunya segera siuman. Berdoa sambil dirinya tak henti hilir mudik, tidak bisa berdiam diri karena panik. Melihat kondisi si Cikal, dan sikap Ibu dan Neneknya, mata saya, berembun, menahan tangis. Namun, mulut tak henti, berdoa kepada yang Maha Kuasa agar si Cikal disehatkan. Karena si Cikal adalah tumpuan harapan kami. Dalam kesedihan dan kepanikan yang luar biasa, saya memutuskan untuk mencoba pengobatan kampung.

“Esin! Esin! Esiiiin! Sini!” kata saya setengah berteriak. Esin, adalah “rencang” (teman/pembantu) di rumah saya. Setelah Esin mendekat, lalu saya minta dia segera menjemput Mak Paraji. Takut Esin gagal menjemput paraji, saya berpesan:
“Jangan mencari yang jauh, kamu cari orang yang biasa mengobati orang kesambet. Segera  jemput Mak Ecoh di Babakan Cau. Awas, kamu harus langsung membawa Mak Ecoh! Bilang aja, diundang ke pesantren sekarang juga. Secepatnya!”

Esin segera berangkat setengah berlari, sambil setengah mengangkat kain panjang yang dikenakannya.  Terlihat panik juga seperti kami.  Alhamdulillah, tidak lama kemudian Ma Ecoh tiba diiringi  Esin. Tangannya terlihat dituntun oleh Esin yang berada di depannya setengah berlari.

Kata saya, “Emak, terima kasih sudah memenuhi undangan saya. Tolonglah, si Cikal ini sepertinya kesambet. Coba Emak, lihat dan obati! Saya, percaya sepenuhnya kepada kemampuan Mak Ecoh!”

Mak Ecoh tidak perlu diminta dua kali, begitu melihat anak yang terkapar. Dia langsung bisa menyimpulkan kalau si Cikal kesambet.  Mak Ecoh segera mengeluarkan “kanjut kundang” (kantung kecil berisi rempah-rempah). Dari dalam kantung ia mengambil umbi panglay (pangle), langsung dia masukan ke dalam mulutnya, refleks mulutnya mengunyah. Tampak lucu karena Mak Ecoh giginya sudah ompong semua, maka gerakan mulutnya sangat menggelikan. Sialnya, panglay yang dia kunyah, sudah agak kering jadi liat (ulet) sukar dikunyah. 

Tak lama kemudian, panglay yang sudah dikunyah sudah payah, berhamburan dari dalam mulut Mak Ecoh. Panglay kunyahan tersebut dia sembur-semburkan di setiap penjuru kamar, tengah rumah, dapur dan ruang tamu. Setiap penjuru bagian rumah disembur panglay yang sudah dikunyah. Akhirnya, seluruh ruangan di dalam rumah menyengat berbau panglay. Sangat menyengat.

Para santri dan orang-orang yang bergerombol, menengok dan mengelilingi si Cikal. Saat mencium bau panglay yang amat menyengat, tiba-tiba mereka satu dua orang dari mereka muntah-muntah, tidak tahan oleh bau panglay. Sudah dikenal di kampungnya bau semburan panglay Mak Ecoh, sangat manjur mengusir setan yang mengganggu. Tidak tahan oleh bau tajam dari panglay yang disemburkannya. Saking tajamnya bau panglay semburan Mak Ecoh. Jangankan setan, manusia saja seperti saya terasa sesak nafas saking baunya dan membuat yang tidak kuat jadi mual dan muntah.

Panglay yang dikunyah dan disemburkan Mak Ecoh, bukan panglay sembarang panglay. Tapi, panglay yang sudah diberi jampi-jampi, dipuasai, hasil bertapa. Tapi, meskipun bau panglay sudah amat menyengat dan memenuhi seluruh penjuru rumah. Ma Ecoh, masih terus melakukan serangan kepada setan dengan berulang-ulang mengunyah panglay dan disemburkan ke semua tempat.  

Mulut Mak Ecoh tidak berhenti komat-kamit, memanterai semburan panglaynya. Sesudah itu Ma Ecoh duduk, di samping dipan si Cikal. Karena sudah malam, dia ikut menjaga si Cikal. Sampai kira tengah malam, tidak tertidur sekejap pun. Begitupun mata para santri dan tetangga yang ikut menjaga malam itu, tidak ada yang terpejam sedetik pun. Mereka membaca surat Yasin dan berdoa untuk kesembuhan di Cikal.

Tiba-tiba, ketika suasana hening dan khusu berdoa. Terjadi "hujan" lemparan tanah merah kering dari arah luar ke dalam rumah. Tidak hanya itu, terdengar juga, suara "hujan" tanah merah yang dilemparkan ke atas genting. Tanah merah yang berhamburan seperti tanah dari kuburan. Semua menggigil ketakutan, seperti saat diserang demam tinggi.  Terlihat wajah-wajah pucat pasi karena ketakutan. Semua diam, mencekam! Tak ada yang berani bersuara. Tubuh-tubuh yang berkumpul waktu itu seperti jadi membeku.

Hanya Mak Ecoh, yang terlihat tenang. Kembali, dia melemparkan segumpal panglay ke dalam mulutnya. Kemudian dikunyah, tapi mendadak mulutnya terhenti mengunyah. Matanya sedikit terbelalak. Semua yang melihat, meskipun dalam ketakutan jadi menahan ketawa. Ternyata, yang dilemparkan oleh Mak Ecoh ke dalam mulutnya adalah sisig (tembakau dan kapur dan pinang yang dibungkus daun sirih kemudian dikunyah). Hebatnya Mak Ecoh, mulutnya sudah otomatis. Begitu masuk langsung dikunyah. Padahal yang dikunyah sisig miliknya, bukan panglay. 

Mak Ecoh sepertinya, menyadari yang dikunyah bukan panglay. Saking kagetnya, dia tersedak oleh sisig yang masuk ke dalam mulutnya. Mata Mak Ecoh melotot, dia mau muntah. Kemudian, berlari ke luar. Sialnya, dia memakai kain panjang. Kakinya tersandung, kemudian terjatuh. Mungkin dalam keadaan wajar semua akan tertawa. Tapi pada saat itu, semua hanya terdiam. Mata melotot, saling berpegangan tangan. Tubuh seperti dihipnotis. Membeku tak bisa bergerak karena ketakutan. Lemparan tanah merah makin menggila frekuensinya, makin banyak jumlahnya. Melayang seperti dilemparkan dari luar ke dalam rumah, juga ke atas genting. Entah siapa pelakunya. (BERSAMBUNG)

(Gambar Mak Paraji dari Google)

Tuesday, November 12, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 1)

Prolog.

Pondok pesantren Keresek didirikan oleh KH. Thobri Pada tahun 1887. Kemudian diserahkan kepada putranya yang bernama K.H. Ahmad Nahrowi yang lahir tahun 1859 dan wafat tahun 1934. Dari pihak Ayah mengalir darah bangsawan kesultanan Cirebon dengan darah Ulama Garut yaitu Mbah Nuryayi Suci, sedangkan dari pihak Ibu yaitu Siti Umi Kulsum mengalir darah bangsawan Sukapura Tasikmalaya. 

Pada tahun 1935 K.H. Ahmad Nahrowi meninggal dunia, maka jabatan pemimpin pesantren diserahkan kepada anaknya yaitu K.H. Busrol Karim atau lebih terkenal dengan nama ajengan "Oco". Beliau adalah Kiai yang mengalami teror langsung dari Jin Islam Puteri Negeri Habsyi yang suaminya dibunuh karena ketidaktahuannya, kalau ular itu adalah suami sang Puteri. Penerus K.H. Busrol Karim (Wafat tahun 1977) adalah K.H. Hasan Basry yang dikenal dengan sebutan Kang Aceng (Wafat tahun 2009). Pesantren Keresek kini diurus oleh K.H. Usman Afandi anak ketiga dari enam bersaudara.

Jin Islam di Keresek (Bagian 2)

Pernikahan mereka didasari suka sama suka dengan keridoan dari kedua orangtua. Namun apa daya pernikahan suci mereka harus berakhir tragis. Suami sang Puteri harus tewas, meregang nyawa dalam keadaan mengenaskan di negara yang jauh dari negeri asal. Maklum tujuan mereka berdua dalam rangka berbulan madu. Sengaja memadu rindu dalam samudera cinta di negeri yang jauh dari negeri sendiri.  Berharap, mereka bisa asyik masuk berdua tidak ada yang mengganggu kemesraan mereka. Bisa memadu janji, merajut kalbu syahdu sambil menikmati keindahan alam di manca negara.

Belakangan, akan terkuak bahwa mereka berdua sebenarnya adalah pasangan pengantin baru yang berasal dari negara jin di Habsyi.  Malah sang puteri adalah anak kandung dari raja jin di negeri Habsyi tersebut alias sang puteri adalah puteri mahkota. Begitupun dengan suaminya, adalah anak raja di kerajaan tetangga, yang terpilih diantara sekian para pelamar sang puteri. 

Dia sangat tampan dan gagah, budi bahasanya halus, tindak tanduknya rendah hati sehingga terpilih oleh sang puteri menjadi pasangan hidupnya. Sang suami yang terpilih karena ketampanan wajah, kesonanan dan budi pekerti yang teruji sangat baik. Hasil pertimbangan matang, bertanya pada rasa, menimbang dengan cinta yang suci, dipilih dengan hati murni dari sang Puteri.  

Kini, sang suami yang dicintai telah terbujur kaku, dengan balutan perban berlumuran darah yang telah membeku. Tubuhnya dingin, belum disempat dikafani sebagaimana mestinya.  Sang puteri merasa sunyi sepi, berbaur dengan kepedihan yang tiada tara. Hanya bisa meratapi kematian suaminya sendirian, tanpa ada yang bisa diminta pertimbangan akan apa yang harus dilakukan dengan mayat suaminya.  Jiwanya, seperti melayang, hampa tiada tara. Kakinya serasa menapak atau tidak. 

Sang Puteri tak bisa menghentikan tangisannya, di atas dingin dada jenazah suaminya. Dia meratapi malangnya nasib diri, di negeri yang jauh tanpa kehadiran ayah bunda dan sanak saudara. Dalam isak tangis kepedihannya, sang Puteri menyanyikan tembang  Maskumambang (bentuk komposisi tembang macapat, biasanya dipakai untuk melukiskan kisah sedih atau keprihatinan yang mendalam). Menurut Iko (yang menceritakan mimpinya) keponakan saya, lirik tembang Maskumambang yang dinyanyikan sang Puteri kurang lebih begini:

1.  Duh manusa bet telenges teuing teu aya rasrasan, abong ka mahluk nu laif, amarah tẻh luluasan 
(Duh manusia kenapa kalian sangat kejam tidak ada batasnya, mentang-mentang kepada mahluk yang tidak berdaya, amarah kalian sangat keterlaluan).

2.   Ngumbar nafsu taya pangampura saeutik, abong kumawasa, luas nyiksa ngarah pati, kanu taya kasalahan.
(Mengumbar nafsu tanpa rasa maaf sedikitpun, mentang-mentang berkuasa, tega menyiksa dan mengambil nyawa mahluk yang tidak bersalah)
.
3.   Naha naon salahna salaki kami, ẻstu teu sapira, pẻdah wani ulak ilik, bari nyamar jadi oray.
(Apa salahnya suamiku, nyaris tidak ada, hanya karena berani hilir mudik, menyamar menjadi ular)

4.  Teu pelekik sumawonna arẻk jail, tina panasaran, hayang reujeung sidik rumah tangga manusa.
(Tidak ada niat jahat apalagi jahil, hanya karena penasaran, ingin mengetahui bagaimana cara berumah tangga manusia).

5.    Ngan sakitu salah salaki kami, asa teu pira, teu pantes di hukum pati.
(Hanya itu salah suamiku, Tidak seberapa, tidak pantas sampai harus dihukum mati.

6.    Kami ceurik sasatna tẻh bijil getih, banget nya nalangsa, paturay reujeung kakasih, jungjunan nu dipicinta
(Aku menangis berair mata darah, saking nelangsa, berpisah dengan kekasih hati, pujaan jiwa yang sangat dicinta).

7.   Aduh Gusti pangeran nu sipat asih, sim abdi tulungan ayeuna abdi nunggelis, taya pikeun pakumaha.
(Aduh Gusti, Tuhan-ku yang Maha Pengasih, Hamba mohon pertolongan karena kini sendiri, tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan)

8.  Abdi wangsung nyorangan ka nagri Habsyi, asa henteu tẻga, ninggalkeun mayit salaki, pajah teu bẻla ka bugang.
(Hambamu, kini sendiri harus pulang ke negeri Habsyi, rasanya tidak tega, meniggalkan mayat suami hamba, tidak pantas meninggalkan mayat suami hamba sendirian).

Lama sekali Tuan Puteri menangisi diri di samping mayat suaminya.  Tiba-tiba, matanya terbuka lebar, menjadi liar seperti baru tersadarkan. Kepalanya menengadah, lalu berdiri. Dia menjerit menembus langit,  berteriak menembus angkasa.  Kedua tangannya terangkat ke atas, lalu mengepal bergetar penuh amarah. Di lalu bertolak pinggang. Wajahnya merah padam penuh dendam. Gigi geliginya terdengar gemeletuk menahan nafsu tak terhingga. 

Dia mondar-mandir memutari mayat suaminua, dalam posisi menantang perang saking gemes dan kesal kepada manusia yang telah membunuh suaminya.  Mulutnya sesumbar, sumpah serapah. Penuh dendam ancaman dalam nanda tembang Durma (merupakan bentuk komposisi tembang jenis macapat biasanya untuk melukiskan perkelahian, perang).

1.   Hẻ manusa ulah sambat kaniaya, awas sing taki-taki, pamales ti kula, ka manusa anu tẻga, hutang pati bayar pati, ieu lawanna Jin Putri Nagri Habsyi.
(Hei, manusia jangan kalian merasa berkuasa, waspadalah kamu akan balas dendamku, kepada manusia yang telah tega, hutang  nyawa bayar nyawa, ini lawan Jin Puteri Habsyi!

2.   Geura tẻmbong anu mana manusana, nu jail hiri dengki, sok ieu ayonan, najan kami sorangan, lain putri ipis burih, acan lugina mun tacan males pati.
(Tampakkan diri, mana manusianya, yang jahil, iri, dengki, ayo lawan aku, biarpun aku sendiri, walau aku seorang wanita tapi aku bukan pengecut, buka penakut, belum tenang jiwaku kalau belum membalas kematian suamiku)

3.  Mun can beunang manusa anu nganiaya ngaharu ganggu salaki, baris dipergasa, kabẻh sakur manusa, tina kami banget nyeri moal narima, arẻk di burak-barik.
(Kalau belum aku dapatkan manusia yang telah membunuh suamiku, akan aku bunuh dia, semua manusia, sakit hatiku tidak terbalaskan, akan aku porak-porandakan).

Dari cerita berdua, Iko (keponakan) dan Nenek, saya tidak percaya sedikitpun apa yang mereka utarakan. Apalagi Iko, bercerita dibarengi dengan tembang, saya lebih menyukai tembangnya daripada ceritanya. Saya anggap Iko ngelindur, karena Iko sangat suka dengan sastra dan tembang sehingga dia mereka-reka, mengarang cerita yang dihubungkan dengan peristiwa saya membunuh ular hitam beberapa hari lalu. Tidak, sama sekali saya tidak percaya. 

Lalu bagaimana cerita Neneknya anak-anak yang juga bercerita dengan isi yang sama? Ah, maklum sudah tua, segala sesuatu dimasukin hati. Ada juga yang menyangka begini: “Panteslah kalau Iko bercanda dan mengarang cerita karena dia ngelindur. Tapi, kan Neneknya anak-anak terlihat bercerita sangat serius. Tidak menunjukkan sedang bercanda sedikit pun. Lagi pula buat apa, orang yang sudah tua mengarang cerita. Hanya buang-buang tenaga. Neneknya anak-anak berkata, dia melihat dan jelas mendengar tangisan dan ratapan sang Puteri yang cantik jelita dalam impian seolah dalam kehidupan nyata. 

Bahkan, saat tuan Puteri menunjukkan kemarahan penuh dendam sambil mengepalkan dan berteriak histeris menantang orang yang telah membunuh suaminya jelas terlihat, dan tidak bisa terlupakan dari ingatannya. Tidak mungkin, orang yang sudah sepuh berdusta. Jelas Nenek bukan ngelindur, bukan mengarang cerita dusta. Karena, Nenek sewaktu akan tidur tidak pernah tidak, pasti berdoa dahulu. Tapi, saya tetap tidak percaya kepada apa yang mereka ceritakan itu. Saya tetap menyangka Iko ngelindur, sedangkan Neneknya karena pikun, jadi mengarang cerita karena mendengar apa yang diutarakan oleh Iko. Apalagi dengan cerita Iko, yang dbarengi tembang Maskumambang dan Durma, saya jadi makin tidak percaya. (BERSAMBUNG)

13.11.2019
DESS

http://jin-islam-keresek.blogspot.com/2019/11/ngamuknya-jin-islam-di-pesantren-keresek.html

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 2)

Kisah nyata mengamuknya Jin Islam di Keresek yang diceritakan oleh K.H. Hasan Basry (Almarhum) yang merupakan anak kandung dari K.H. Busro Karim (Almarhum) pelaku utama dalam kisah nyata ini. Tulisan asli, diketik manual dalam bahasa Sunda buhun di atas kertas tipis, sayangnya hilang diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Untunglah, kisah nyata ini sempat dibukukan, walaupun dalam bentuk dan ukuran yang sangat sederhana. 
Mengingat dokumen ini sangat penting, sebagai bukti adanya mahluk gaib seperti tercantum dalam Al Qur'an dimana sebagai muslim kita wajib untuk mempercayainya. Juga agar bisa dibaca oleh orang banyak, yang mungkin tidak mengerti bahasa Sunda. Saya mencoba mengetik ulang dan menterjemahkan kisah nyata "Jin Islam di Keresek" ini dengan mengadaptasi bahasa dan kondisi sehingga dapat mengikat makna yang seharusnya. 
Dipastikan jauh dari harapan, transliterasi yang dilakukan mengingat bahasa yang dipergunakan dalam naskah bahasa Sunda dengan gaya bahasa yang tinggi. Sehingga, sulit untuk mendapatkan transliterasi yang diharapkan. 
12.11.2019
Awal Bencana
Oleh : HASBA
Kejadiantahun 1939 sampai dengan tahun 1994, dimulai pada malam Kamis, tangga 12 Dzulhijjah 1259.


Keresek terletak di daerah Cibatu, Kabupaten Garut. Siapapun pasti tidak akan tidak tahu dengan Cibatu, sebuah stasiun Kereta Api antara Bandung-Tasikmalaya, persimpangan ke Garut dari Cibatu. Dari stasiun Cibatu lurus ke arah timur sampai pertigaan Kantor Pos. Arah ke Utara melintasi rel kereta api, sampai pasar Cibatu belok ke arah timur. Tampak lagi sebuah pertigaan. Nah, dari pertigaan itu yang ke arah Utara menuju Limbangan. Arah lurus ke Timur, adalah menuju Keresek yang selanjutnya menuju Warung Bandrek dan bertemu dengan jalan propinsi ke Tasikmalaya.

Perlu diketahui, bahwa Keresek adalah sebuah pesantren terkenal di daerah Garut. Menjadi tempat tujuan menuntut ilmu santri dari berbagai tempat yang dekat maupun yang jauh. Jumlah santrinya mencapai ratusan. Mungkin bila alat perekam atau hape sudah meruyak seperti sekarang. Mungkin sekarang saya tidak akan bercerita panjang lebar dengan mengetik cerita lama masa itu, menghabiskan tinta dan kertas. Cukup dengan menekan tombol play pada layar handphone atau tombol play di Chanel YouTube para pembaca tidak usah membaca seperti sekarang. Bahkan, mungkin hanya mendengarkan suara yang diformat MP3 atau MP4 sudah lebih dari cukup. Juga sangat membahagiakan karena suara yang terdengar waktu itu amat sangat merdu. Tidak cukup sekali dua kali mendengarkan suara jin yang membaca ayat suci Al Quran. Suara yang khas dan merdu dengan  qiro'at yang baik, bagus makhrojnya, tepat siddah, panjang pendek bacaannya, idhar idghamnya, apalagi ihfanya. Suasana hati yang mendengarkan seperti terkena buluh perindu, akan terus merindu untuk kembali mendengar suaranya.


Suatu waktu, disaksikan oleh ratusan orang bagaimana merdunya suara "Nyai Siti Qolbuniyyah" yaitu nama jin Islam perempuan tersebut.  Sewaktu khatib selesai turun dari mimbar selepas khutbah Idul Adha. Terdengar lantuna ayat suci Al Quran yang melantunkan Surat Yusuf, terdengar seperti amat dekat dengan telinga. Apatah kehalusan dan beningnya suara yang mengaji bertambah syahdu dengan makhraj dan tajwid serta lagu yang merdu saat membacakan kalimah suci Al Quran. 

Suara terdengar seperti persis di hadapan semua kaum muslimin dan muslimat yang hadir sholat Idul Adha waktu itu. Tak lama berselang kemudian, suara seperti berpindah ke belakang, refleks tubuh dan kepala semua yang hadir waktu itu membalikan badan ke belakang. Mengejar ke arah datangnya suara.

Tak lama kemudia, suara seperti berpindah ke atap mesjid, kepala hadirin serentak mendongak ke atas. Kepala, mata, telinga dan hati seperti tersihir serempak mengikuti arah datangnya suara. Semua seperti dihipnotis, batin diikat menikmati merdunya suara yang mengaji tanpa wujud tersebut, malahan sepertinya tidak ada rasa takut lagi akan kejadian aneh tersebut. Satu hal yang kejadian nyata tersebut bertambah keanehannya adalah pada stiap ayat yang dibacakan selesai pada tiap akhir surat muncul secarik kertas putih dengan paraf S.K. memakai tinta merah japaron. Apa yang menjadikan aneh kejadian tersebut, initial S.K. dengan aksara latin. Merupakan kependekan dari "Siti Kolbuniyyah." Menyimpan parafnya di atas Al Qur'an dimana para jemaah yang hadir ikut memperhatikan bacaannya. Disaksikan dan dibaca oleh semua yang hadir paraf tersebut. Sayangnya, waktu itu saya belum mempunyai kamera, kalau sudah. Mungkin potretnya bisa ditampilkan di dalam buku ini, yang bila tidak melihat bukti nyata mungkin akan menganggap kisah nyata ini hanya bualan semata. Sekali lagi, saya sangat menyesal tidak dapat memberikan bukti dan fakta yang nyata dapat dilihat oleh mata kepala para pembaca. Mungkin saya tidak akan cape-cape mengetik dan menceritakan ini seperti sekarang, cukup membuka album atau folder di laptop atau di handphone, memperlihatkan kebenaran kisah ini.

Pengalaman yang diceritakan di atas adalah cuplikan yang diambil dari tengah-tengah kejadian, asal mula munculnya keanehan dan gangguan suara jin yang terdengar selesai sholat Idul Adha tersebut adalah sebagai berikut:

Dosa yang saya lakukan rasanya sepele. Suatu hari saya iseng. Ah, bukan iseng juga, siapa orangnya yang tidak akan melakukan apa yang saya lakukan. Bila melihat seekor ular melintas, melata ke dalam rumah, atau ke tempat-tempat yang tidak semestinya yang bukan habitat ular yaitu tempat tinggal manusia. Ular yang melintas dan melata tersebut adalah ular hitam. Karena merasa jijik,dan merasa takut digigit ular tersebut. "Buk!" Ular tersebut saya pukul. Sekali pukul, tepat mengenai kepala ular itu. Tidak heran ular itu langsung mati seketika, dengan kepal pecah. Karena tongkat yang dipakai pemukul adalah besi bekas kaki ranjang. Tidak perlu dipukul dua kali, ular tersebut langsung tidak bergerak. Bangkai ular tersebut dengan tongkat yang sama, diangkat kemudian dibuang jauh ke belakang rumah.

Keesokan harinya, Hasan dan Husen, dua anak lelaki saya bermimpi dengan impian yang sama.
Impiannya seperti sudah disepakati. Mereka bermimpi, melihat mayat lelaki yang terbujur kaku dengan kepala yang dibalut perban putih yang berlumuran darah! Di samping mayat lelaki itu, tampak seorang perempuan cantik, memakai gaun pengantin ala pengantin Eropa. Padahal, katanya itu adalah pakaian pengantin khas puteri Mesir. Rok putih panjang menutupi seluruh tubuhnya. Putih dengan riasan permata yang berkelap-kelip terkena cahaya matahari. Kulit mukanya putih mulus dengan riasan muka yang sangat apik.

Kerudung menutupi sebelah mukanya, sedangkan kerudung yang sebelah lagi dia gunakan untuk melap air mata yang tidak henti mengalir dari matanya. Pipinya yang sedikit tampak tirus, tampak jelas menyiratkan kecantikan tanpa batas, berurai air mata. Matanya jeli dengan alis tebal alami dan lentik bila mata yang menambah kecantikan wajah Puteri itu. Dagunya lancip dengan bibir tipis merah delima alami tanpa pulas buatan. Jari jemarinya yang lentik, sesekali menyusuti air mata yang tidak henti mengalir dari kedua buah matanya. Tubuhnya tampak tinggi langsing berbalut kulit yang kuning langsat, sesekali berguncang menahan tangisannya. Putri itu sesenggukan tidak berhenti. Gaun pengantin putih yang menempel di tubuhnya, menambah rupawan wajah cantik sang putri.

Ternyata, konon putri cantik yang sedang berduka lara itu adalah pengantin baru, dia menangis kematian tragis suaminya, yaitu mayat yang terbujur kaku di hadapannya. Mereka adalah sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu. Menumpahkan rasa sayang, cinta dan kasih suci mereka berdua. Tidak ingin dipisahkan oleh apapun, bahkan mungkin hanya maut yang bisa memisahkan mereka. Tuhan berkehendaknlain, sang suami tercinta yang baru menikahi dirinya malah dijemput maut mendahuluinya. Puteri yang cantik jelita itu menundukkan kepala, dengan tangisan menyayat hati tak henti karena harus berpisah dengan kekasih hati. Menangisi kepergian buah hati yang didambakan, saat mereka telah berpadu dalam rindu, bersenyawa dalam jiwa. Mereka malah harus terpisahkan dalam sekejap. (Bersambung).