Sunday, November 17, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Pesantren Keresek (Bagian 5)

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 5)

Ternyata tidak disadari, saya dalam keadaan shock, ketakutan. Saking takutnya, sampai ngompol. Baru sadar kalau saya mengencingi diri sendiri, setelah terasa celana kolor dan sarung terasa basah kuyup dan bau pesing.

Setelah itu keberanian saya kembali terkumpul sedikit demi sedikit. Tadi pada saat melihat payung terbang menari di atas dandang, keberanian saya kabur semua. Sampai terkencing-kencing.  Kemudian, pandangan dialihkan ke dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Dug, adrenalin kembali muncrat. Jantung berdegup dengan kencang, mata tak bisa berkedip. Melotot ke arah dinding, semua peralatan dapur seperti piring, cobek batu, ulekan batu, sampai songsong (buluh bambu peniup api di tungku). Semuanya melayang di bawah atap dapur juga terbuat dari anyaman bambu)! Tidak menempel, tapi semuanya melayang dan berputar-putar berbarengan.

Buluh bambu berputar seperti baling-baling, cobek dan ulekannya terbang seperti piring terbang, apalagi piring seng terbang ke sana kemari sambil berputar dan kadang menyambar.  Sangat lama saya melongo, terbengong-bengong, lutut gemetar, badan menggigil. Saking ketakutan, sampai terkentut-kentut, buang angin untung tidak dengan isinya. Ingin rasanya berlari dan berteriak, tapi tubuh seperti menjadi beku. Kaki dan tangan saya tidak bisa digerakkan sama sekali.

Mata perlahan melirik ke atas kepala. Rasa takut makin bertambah-tambah. Betapa tidak? Ternyata selain peralatan dapur yang tadi disebut tadi. Di atap dapur juga beterbangan wajan, panci- panci, buluh bambu penampung air, gentong wadah beras, cungkir, mug dan cangkir batok kelapa. Pokoknya semua peralatan dan barang yang ada di dapur, semua melayang, berputar dan beterbangan ke sana ke mari seperti sedang akrobat.

Beberapa buah piring yang terbang dan berputar berbarengan, kalau dibandingkan dengan keterampilan sirkus keluarga Tjan Tjun Lie yang tampil di Jakarta, belum seberapanya. Jauh lebih hebat penampilan setan yang sedang beraksi di dapur rumah saya. Tjan Tjun Lie mah memutarkan piring sambil jumpalitan, tetap piring yang diputarnya menggunakan topangan bambu sebagai sumbunya. Tapi, piring yang jumlahnya belasan diputar, dan terbang oleh setan di dapur saya tanpa menggunakan apapun.

Mata lalu di arahkan ke belakang dandang di atas tungku  yang apinya menyala-nyala. Mata langsung terasa silau. Belum jelas apa yang menggelinding horinsontal dan kadang berputar vertical di udara, seperti kurungan ayam di belakang dandang itu. Ternyata, itu kainnya Esin yang kata Esin ditarik sampai Esin harus setengah bugil berlari ke dalam rumah. Pertama, tampak kain itu berdiri seperti sebuah gorong-gorong beton. Kemudian menggelinding ke sana-kemari tak beraturan. Melihat kejadian itu, langsung teringay lagi ke Esin. Pantesan Esin, sampai shock berat dan tidak menyadari berlari ke dalam rumah dalam keadaan setengah bugil.  Baru tersadar kembali setelah dijampi-jampi oleh Mak Ecoh.

Beberapa saat kemudian, pikiran dan akal sehat saya kembali normal. Pantaslah saya sampai ketakutan sampai terkencing-kencing dengan tubuh menggigil dan lengan dan kaki tidak bisa bergerak.  Karena sama,  tidak mengingat kepada yang Allah yang Maha Kuasa. Secepatnya mulut membacakan ayat-ayat Al Quran, pikiran saya pusatkan kepada Illahi Rabbi.  Batin menjerit kepada yang Maha Suci minta pertolongan.  Kaki dan lengan, akhirnya bisa bergerak kembali. Perlahan-lahan, berjalan seperti robot bergerak ke tengah rumah.

Jiwa dan hati saya kembali normal, walaupun lambat. Mulut tak henti komat-kamit menyebut nama Sang Penguasa Alam. Tapi, sewaktu melangkahkan kaki satu-satu. Kembalil harus dibuat kaget dan terheran-heran. Di jalan setiap kaki akan melangkah. Teronggok nasi tumpeng. Tidak beda dengan bentuk tahi kerbau, seonggok demi seonggok, mulai dari pintu dapur, seperti dibariskan memanjang ke dalam rumah, jaraknya sangat teratur, hampir sama seperti diukur. Onggokan nasi tumpeng tersebut berakhir di pintu masuk ke ruang tengah dimana semua orang sedang menunggui dan menemani Hasan, anak saya yang sakit mendadak.

Nasi tumpeng dari mana? Pasti nasi tumpeng yang sedang di masak Esin di dalam dandang. Yang isinya berganti dengan payung yang berputar, naik turun. Saat memasuki ruang tengah. Semua mata, terarah pada saya. Mereka bertanya, mengapa di dapur lama-lama banget? Saya tidak menjawab, tapi cepat-cepat masuk kamar. Mengganti celana kolor dan kain sarung yang basah karena air kencing, keluar tak tertahankan. Maklum air kencing, bayi besar, yang sudah besar, tambahan lagi siangnya makan jengkol. Bila tidak diganti dahulu, dipastikan semua orang akan mencium bau pesing plus sari jengkol.

Sesudah berganti kain sarung dan celana kolor. Saya mulai bercerita apa yang terjadi di dalam dapur. Tidak lupa, ditunjukkan pula onggokan demi onggokan nasi tumpeng sepanjang jalan menuju ke dapur. Kalau ditaksir kurang lebih ada dua puluhan onggokan nasi tumpeng. Kemudian semua mengikuti saya dari belakang, menuju ke dapur. 

Mereka masih melihat apa yang saya lihat. Semua barang dan peralatan yang tedapat di dapur. Berterbangan dan berputar atau menggelinding ke sana kemari. Payung masih berputar, melompat-lompat di atas seeng yang uap airnya terlihat mengepul. Semua yang menyaksikan waktu itu melihat bagaimana “beraninya” saya bisa menyebutkan dan melukiskan semua apa yang terjadi dengan barang dan peralatan yang berputar sambil tersenyum. 

Mungkin karena masuknya ke dapurnya bersamaan dan melihat kejadian aneh itu tidak ada perasaan takut lagi. Tapi, sebagian besar orang yang ikut ke dapur. Tidak sadar mereka saling berpegangan tangan, karena takut.  Sesekali tangan saya menunjuk ke barang yang sedang berputar atau melayang. Saya menceritakannya sambil berlagak, seolah-olah saya yang memiliki dan melakukan semua trik itu. Tidak ada lagi perasaan takut seperti pada mulanya tadi sendirian di dapur. Tak satupun yang mengetahui, saking ketakutan, saya sampai terkencing-kencing waktu sendirian di dapur tadi.

Sesudah kenyang ditonton oleh banyak orang, dan terlihat para penonton tidak ketakutan lagi. Malah seperti menikmatinya. Semua barang dan peralatan dapur itu akhirnya beterbangan dan melayang ke tempat seharusnya. Dimana mereka tersimpan seperti biasa. Terlihat sangat tertib, saat mereka kembali ke tempatnya masing-masing. Tak terdengar satu pun bunyi denting piring yang beradu, atau gelombrang  dandang yang  saling bertabrakan. Payung yang berputar, perlahan berhenti dan menutup, lalu kembali melayang perlahan dan tersimpan di sudut ruang dapur, songsong, buluh bambu, gentong wadah berisi beras, panci, cobek dan ulekan yang tadi terbalik dan berputas-putar, serta mug  dan cangkir batok semua kembali ketempat.

Tertib sekali, semua kembali ke asal, satu demi satu. Seperti kembali dengan sendirinya, karena tidak terlihat siapa yang mengembalikannya. Kain sarung Esin malah, tiba-tiba seperti dimasukkan dan dikenakan pada pemiliknya, membuat Esin terkejut. Dia terkaget-kaget sampai mau lari, untung dipegang oleh orang di sampingnya. 

Tiba-tiba terlihat, kepala Esin seperti ada yang menundukkan, ternyata sanggul Esin seperti ada yang merapikan kembali. Setelah, kepalanya kembali ke posisi semula. Esin bercerita, tadi seperti ada yang memegang kepala dan menundukan kepalanya dengan paksa. Terasa ada yang kembali memasangkan gelung sanggulnya. Bulu kuduk semua yang hadir terangkat. 

Kemudian Mak Ecoh berkata, tadi sewaktu dia salah memasukkan sisig yang seharusnya pangle. Dia seolah melihat sebuah wujud yang menakutkan, tiba-tiba tampak di hadapannya. Dia menjadi sangat ketakutan, sehingga jadi salah memasukkan sisig ke dalam mulutnya! Yang tampak di hadapannya itu berwujud seorang perempuan cantik jelita, memakai rok panjang. Terlihat mata dan wajahnya sangat bengis, penuh amarah. Tampak, perempuan cantik itu menaburi dan melempari Mak Ecoh dengan tanah merah! “Nih, lihat kepala Emak penuh tanah merah, soalnya gak keburu menyembur perempuan itu!”

“Ternyata setannya, seorang perempuan yang sangat cantik, Kiai” kata Mak Ecoh. Mendadak saya kembali menjadi dingin dan menggigil. Teringat kembali, bagaimana mimpi dan cerita Iko (keponakan saya) dan Neneknya si Cikal! (BERSAMBUNG)

(Ilustrasi gambar dari Google)

No comments:

Post a Comment