Waktu itu tidak ada yang ingat satu orang pun, tertutupi oleh rasa
takut yang teramat sangat. Saking ketakutan, tubuh serasa membeku, kaki terasa
dingin, nafas tersengal tertahan. Semua mata kompak melotot dengan wajah pucat
pasi, sebab lemparan demi lemparan tanah merah dari luar ke dalam rumah makin
banyak. Tidak ada yang menyadari, bagaimana anehnya tanah bisa masuk ke dalam
rumah, padahal semua jendela dan pintu tertutup. Tanah merah tersebut seperti
dicurahkan, dilakukan berulang-ulang. Tanah merah tersebut, yang paling banyak
mengarah ke tubuh Mak Ecoh. Jangankan tubuh, bahkan rambut Mak Ecoh yang sudah
dipenuhi uban putih, penuh dengan tanah merah.
Dalam keadaan ketakutan
seperti itu, tiba-tiba Esin berlari dari darah arah dapur. Dia sedang menanak
nasi di seeng (dandang),
untuk acara Rewahan. Esin berlari ke ruang tengah dengan mulut terbuka. Matanya
melotot dengan rambut acak-acakan tak karuan, padahal Esin selalu menggelung
(mengikat) rambutnya. Dia tidak memakai kain panjang seperti biasanya, bahkan
telanjang. Dia berlari dalam keadaan setengah bugil. Barang miliknya yang
semestinya dijaga baik-baik dari pandangan orang lain. Waktu itu, benar-benar
tidak tertutup satu lembar kain pun.
Tentu
saja semua yang hadir di tengah rumah, baik laki-laki atau wanit melihat penuh
rasa heran. Sepertinya Esin dalam keadaan panik, karena tidak tampak rasa malu
sedikitpun. Padahal semua orang melihat dia dalam keadaan telanjang bulat.
Mulutnya melongo, terbuka lebar. Matanya melotot dengan pandangan kosong, tidak
bisa ditanya. Setelah dibacakan mantera oleh Mak Ecoh yang tadi muntah sisig
serta dilihat oleh semua yang hadir. Tiba-tiba dia berteriak: “Tolong Esiiin!
Takuuuuut! Esiiin takuuut! Takuuut! Gelung rambut Esin tadi di dapur ada yang
menarik. Rambu Esin diacak-acak! Terus kain esin ditarik!”
Kata
Esin, ketika sedang membetulkan kain lagi. Tiba-tiba, terasa seperti ada yang
terbang melayang di telinganya. Hampir mengenai wajah, untung tidak kena.
Ternyata, yang melayang itu sebuah terompah kayu. Dia melihat ke belakang,
karena ingin tahu siap yang melakukan perbuatan itu. Ternyata tidak ada seorang
pun manusia! Pintu dapur tertutup rapat. Sesudah habis bercerita, dia baru
tersadar. Kalau dia setengah bugil. Kulit wajahnya merah, tersipu malu lalu dia
mencari kain panjang untuk menutup auratnya!
Waktu itu tidak ada yang ingat satu orang pun,
tertutupi oleh rasa takut yang teramat sangat. Saking ketakutan, tubuh serasa
membeku, kaki terasa dingin, nafas tersengal tertahan. Semua mata kompak
melotot dengan wajah pucat pasi, sebab lemparan demi lemparan tanah merah dari
luar ke dalam rumah makin banyak. Tidak ada yang menyadari, bagaimana anehnya
tanah bisa masuk ke dalam rumah, padahal semua jendela dan pintu tertutup.
Tanah merah tersebut seperti dicurahkan, dilakukan berulang-ulang. Tanah merah
tersebut, yang paling banyak mengarah ke tubuh Mak Ecoh. Jangankan tubuh,
bahkan rambut Mak Ecoh yang sudah dipenuhi uban putih, penuh dengan tanah
merah.
Dalam keadaan ketakutan seperti itu, tiba-tiba
Esin berlari dari darah arah dapur. Dia sedang menanak nasi di seeng (dandang), untuk acara
Rewahan. Esin berlari ke ruang tengah dengan mulut terbuka. Matanya melotot
dengan rambut acak-acakan tak karuan, padahal Esin selalu menggelung (mengikat)
rambutnya. Dia tidak memakai kain panjang seperti biasanya, bahkan telanjang.
Dia berlari dalam keadaan setengah bugil. Barang miliknya yang semestinya
dijaga baik-baik dari pandangan orang lain. Waktu itu, benar-benar tidak
tertutup satu lembar kain pun.
Tentu saja semua yang hadir
di tengah rumah, baik laki-laki atau wanit melihat penuh rasa heran. Sepertinya
Esin dalam keadaan panik, karena tidak tampak rasa malu sedikitpun. Padahal
semua orang melihat dia dalam keadaan telanjang bulat. Mulutnya melongo,
terbuka lebar. Matanya melotot dengan pandangan kosong, tidak bisa ditanya.
Setelah dibacakan mantera oleh Mak Ecoh yang tadi muntah sisig serta dilihat
oleh semua yang hadir. Tiba-tiba dia berteriak: “Tolong Esiiin! Takuuuuut!
Esiiin takuuut! Takuuut! Gelung rambut Esin tadi di dapur ada yang menarik.
Rambu Esin diacak-acak! Terus kain esin ditarik!”
Kata Esin, ketika sedang
membetulkan kain lagi. Tiba-tiba, terasa seperti ada yang terbang melayang di
telinganya. Hampir mengenai wajah, untung tidak kena. Ternyata, yang melayang itu
sebuah terompah kayu. Dia melihat ke belakang, karena ingin tahu siap yang
melakukan perbuatan itu. Ternyata tidak ada seorang pun manusia! Pintu dapur
tertutup rapat. Sesudah bercerita, dia baru tersadar. Kalau dia setengah bugil.
Kulit wajahnya merah, tersipu malu lalu dia mencari kain panjang untuk menutup
auratnya!
Selaku tuan rumah, saya
harus memberi contoh kalau saya harus berani. Kalau saya menunjukan rasa takut,
pasti semua yang berada di dalam rumah waktu itu akan kocar kacir. Berlarian.
Bubar tak karuan, yang akhirnya akan merugikan saya dan anak saya yang
membutuhkan orang yang menunggunya. Sebenarnya, waktu itu saya menawarkan dulu
pada yang lain, siapa yang berani. Karena jujur saja, hati saya juga takut.
Walaupun sudah dirayu, dibilangin ada nasi tumpeng di dapur, tetap saj tidak
ada satupun yang menjawab.
Terpaksa saya
memberanikan diri, memantapkan hati walaupun tidak bisa menutup rasa takut.
Teringat kalimat dalam majalah Mangle, cerita: “Pondok
Jodo Didodoho” yang berbunyi begini: Setan itu digjaya, iblis itu sakti. Tapi
manusia lebih perkasa. Perkasa kalau ingkat kepada Tuhan. Tidak akan kalah oleh
setan gentayangan. Tidak akan terkencing-kencing oleh iblis yang menyesatkan
manusia. Manusia lebih mulia dan dimulikan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Manusia dilebihkan dalam segala hal daripada mahluk lain. Diberikan akal,
pikiran dan lidah asal tidak lupa kepada-Nya.
Sayapun
masuk ke dapur. Lalu saya masuk ke gudang tempat penyimpan makanan. Lampu masih
menyala, api di tungku juga menyala-nyala, kayu bakar tidak berantakan tanda
bekas dimasukkan oleh Esin. Tapi….apa yang ada di atas (seeng) dandang?
Ternyata, bukan kukusan berisi tumpeng! Ternyata payung yang terbuka dan
berputar seperti kincir angin. Tidak seorang pun yang memutarkan payung
tersebut. Payung terbuka di atasa dandang itu berputar dengan sendirinya. Saya
menggigil ketakutan. Mulut otomatis membaca istigfari. Saya mengusap wajah
beberapa kali. Mimpikah saya?
Tanya
hati saya kepada diri sendiri. Setelah kembali mengusap wajah, saya menutup
hidung. Terasa pengap, jadi saya tidak sedang bermimpi. Beberapa kali saya
mencubit diri sendiri, ternyata sakit. Berarti saya, benar tidak sedang
bermimpi.
Saya
jadi terkesima, berdiri mematung. Mata melotot ke arah payung yang berputar,
melompat-lompat di atas dandang yang mengeluarkan uap karena airnya sudah
mendidih. Api yang menyala, tampak makin besar tanda ditambah kayu bakarnya.
Terasa mulut melongo, geraham jadi menggigil, tubuh menggigil karena ketakutan.
Tubuh terasa membeku. Kaki tak bisa melangkah, mulut tak bisa bicara. Hanya
mata melotot, bola mata bergerak ke berbagai arah. Tidak aneh, Esin
berperilaku ganjil, bila melihat keanehan di dapur seperti itu. Melihat payung
terbuka berputar, melompat-lompat di atas dandang seperti menari dengan
sendirinya. Saya masih punya sedikit
kesadaran, sehingga saya teringat kelakukan Esin tadi. Tapi, tidak terasa dan
tidak mengerti apa sebabnya kain sarung yang dikenakan jadi basah! (BERSAMBUNG)
https://jin-islam-keresek.blogspot.com/2015/07/jin-islam-di-pondok-pesantren-keresek_90.html
No comments:
Post a Comment