Thursday, November 14, 2019

Mengamuknya JIn Islam di Keresek (Bagian 4)

Waktu itu tidak ada yang ingat satu orang pun, tertutupi oleh rasa takut yang teramat sangat. Saking ketakutan, tubuh serasa membeku, kaki terasa dingin, nafas tersengal tertahan. Semua mata kompak melotot dengan wajah pucat pasi, sebab lemparan demi lemparan tanah merah dari luar ke dalam rumah makin banyak. Tidak ada yang menyadari, bagaimana anehnya tanah bisa masuk ke dalam rumah, padahal semua jendela dan pintu tertutup. Tanah merah tersebut seperti dicurahkan, dilakukan berulang-ulang. Tanah merah tersebut, yang paling banyak mengarah ke tubuh Mak Ecoh. Jangankan tubuh, bahkan rambut Mak Ecoh yang sudah dipenuhi uban putih, penuh dengan tanah merah.
Dalam keadaan ketakutan seperti itu, tiba-tiba Esin berlari dari darah arah dapur. Dia sedang menanak nasi di seeng (dandang), untuk acara Rewahan. Esin berlari ke ruang tengah dengan mulut terbuka. Matanya melotot dengan rambut acak-acakan tak karuan, padahal Esin selalu menggelung (mengikat) rambutnya. Dia tidak memakai kain panjang seperti biasanya, bahkan telanjang. Dia berlari dalam keadaan setengah bugil. Barang miliknya yang semestinya dijaga baik-baik dari pandangan orang lain. Waktu itu, benar-benar tidak tertutup satu lembar kain pun. 
Tentu saja semua yang hadir di tengah rumah, baik laki-laki atau wanit melihat penuh rasa heran. Sepertinya Esin dalam keadaan panik, karena tidak tampak rasa malu sedikitpun. Padahal semua orang melihat dia dalam keadaan telanjang bulat. Mulutnya melongo, terbuka lebar. Matanya melotot dengan pandangan kosong, tidak bisa ditanya. Setelah dibacakan mantera oleh Mak Ecoh yang tadi muntah sisig serta dilihat oleh semua yang hadir. Tiba-tiba dia berteriak: “Tolong Esiiin! Takuuuuut! Esiiin takuuut! Takuuut! Gelung rambut Esin tadi di dapur ada yang menarik. Rambu Esin diacak-acak! Terus kain esin ditarik!” 
Kata Esin, ketika sedang membetulkan kain lagi. Tiba-tiba, terasa seperti ada yang terbang melayang di telinganya. Hampir mengenai wajah, untung tidak kena. Ternyata, yang melayang itu sebuah terompah kayu. Dia melihat ke belakang, karena ingin tahu siap yang melakukan perbuatan itu. Ternyata tidak ada seorang pun manusia! Pintu dapur tertutup rapat. Sesudah habis bercerita, dia baru tersadar. Kalau dia setengah bugil. Kulit wajahnya merah, tersipu malu lalu dia mencari kain panjang untuk menutup auratnya! 

Waktu itu tidak ada yang ingat satu orang pun, tertutupi oleh rasa takut yang teramat sangat. Saking ketakutan, tubuh serasa membeku, kaki terasa dingin, nafas tersengal tertahan. Semua mata kompak melotot dengan wajah pucat pasi, sebab lemparan demi lemparan tanah merah dari luar ke dalam rumah makin banyak. Tidak ada yang menyadari, bagaimana anehnya tanah bisa masuk ke dalam rumah, padahal semua jendela dan pintu tertutup. Tanah merah tersebut seperti dicurahkan, dilakukan berulang-ulang. Tanah merah tersebut, yang paling banyak mengarah ke tubuh Mak Ecoh. Jangankan tubuh, bahkan rambut Mak Ecoh yang sudah dipenuhi uban putih, penuh dengan tanah merah.
Dalam keadaan ketakutan seperti itu, tiba-tiba Esin berlari dari darah arah dapur. Dia sedang menanak nasi di seeng (dandang), untuk acara Rewahan. Esin berlari ke ruang tengah dengan mulut terbuka. Matanya melotot dengan rambut acak-acakan tak karuan, padahal Esin selalu menggelung (mengikat) rambutnya. Dia tidak memakai kain panjang seperti biasanya, bahkan telanjang. Dia berlari dalam keadaan setengah bugil. Barang miliknya yang semestinya dijaga baik-baik dari pandangan orang lain. Waktu itu, benar-benar tidak tertutup satu lembar kain pun. 
Tentu saja semua yang hadir di tengah rumah, baik laki-laki atau wanit melihat penuh rasa heran. Sepertinya Esin dalam keadaan panik, karena tidak tampak rasa malu sedikitpun. Padahal semua orang melihat dia dalam keadaan telanjang bulat. Mulutnya melongo, terbuka lebar. Matanya melotot dengan pandangan kosong, tidak bisa ditanya. Setelah dibacakan mantera oleh Mak Ecoh yang tadi muntah sisig serta dilihat oleh semua yang hadir. Tiba-tiba dia berteriak: “Tolong Esiiin! Takuuuuut! Esiiin takuuut! Takuuut! Gelung rambut Esin tadi di dapur ada yang menarik. Rambu Esin diacak-acak! Terus kain esin ditarik!” 
Kata Esin, ketika sedang membetulkan kain lagi. Tiba-tiba, terasa seperti ada yang terbang melayang di telinganya. Hampir mengenai wajah, untung tidak kena. Ternyata, yang melayang itu sebuah terompah kayu. Dia melihat ke belakang, karena ingin tahu siap yang melakukan perbuatan itu. Ternyata tidak ada seorang pun manusia! Pintu dapur tertutup rapat. Sesudah bercerita, dia baru tersadar. Kalau dia setengah bugil. Kulit wajahnya merah, tersipu malu lalu dia mencari kain panjang untuk menutup auratnya! 

Selaku tuan rumah, saya harus memberi contoh kalau saya harus berani. Kalau saya menunjukan rasa takut, pasti semua yang berada di dalam rumah waktu itu akan kocar kacir. Berlarian. Bubar tak karuan, yang akhirnya akan merugikan saya dan anak saya yang membutuhkan orang yang menunggunya. Sebenarnya, waktu itu saya menawarkan dulu pada yang lain, siapa yang berani. Karena jujur saja, hati saya juga takut. Walaupun sudah dirayu, dibilangin ada nasi tumpeng di dapur, tetap saj tidak ada satupun yang menjawab.

Terpaksa saya memberanikan diri, memantapkan hati walaupun tidak bisa menutup rasa takut. Teringat kalimat dalam majalah Mangle, cerita: “Pondok Jodo Didodoho” yang berbunyi begini: Setan itu digjaya, iblis itu sakti. Tapi manusia lebih perkasa. Perkasa kalau ingkat kepada Tuhan. Tidak akan kalah oleh setan gentayangan. Tidak akan terkencing-kencing oleh iblis yang menyesatkan manusia. Manusia lebih mulia dan dimulikan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Manusia dilebihkan dalam segala hal daripada mahluk lain. Diberikan akal, pikiran dan lidah asal tidak lupa kepada-Nya.

Sayapun masuk ke dapur. Lalu saya masuk ke gudang tempat penyimpan makanan. Lampu masih menyala, api di tungku juga menyala-nyala, kayu bakar tidak berantakan tanda bekas dimasukkan oleh Esin. Tapi….apa yang ada di atas (seeng) dandang? Ternyata, bukan kukusan berisi tumpeng! Ternyata payung yang terbuka dan berputar seperti kincir angin. Tidak seorang pun yang memutarkan payung tersebut. Payung terbuka di atasa dandang itu berputar dengan sendirinya. Saya menggigil ketakutan. Mulut otomatis membaca istigfari. Saya mengusap wajah beberapa kali. Mimpikah saya?
Tanya hati saya kepada diri sendiri. Setelah kembali mengusap wajah, saya menutup hidung. Terasa pengap, jadi saya tidak sedang bermimpi. Beberapa kali saya mencubit diri sendiri, ternyata sakit. Berarti saya, benar tidak sedang bermimpi.


Saya jadi terkesima, berdiri mematung. Mata melotot ke arah payung yang berputar, melompat-lompat di atas dandang yang mengeluarkan uap karena airnya sudah mendidih. Api yang menyala, tampak makin besar tanda ditambah kayu bakarnya. Terasa mulut melongo, geraham jadi menggigil, tubuh menggigil karena ketakutan. Tubuh terasa membeku. Kaki tak bisa melangkah, mulut tak bisa bicara. Hanya mata melotot, bola mata bergerak ke berbagai arah.  Tidak aneh, Esin berperilaku ganjil, bila melihat keanehan di dapur seperti itu. Melihat payung terbuka berputar, melompat-lompat di atas dandang seperti menari dengan sendirinya.  Saya masih punya sedikit kesadaran, sehingga saya teringat kelakukan Esin tadi. Tapi, tidak terasa dan tidak mengerti apa sebabnya kain sarung yang dikenakan jadi basah! (BERSAMBUNG)

https://jin-islam-keresek.blogspot.com/2015/07/jin-islam-di-pondok-pesantren-keresek_90.html

No comments:

Post a Comment