Wednesday, November 13, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 3)

Serangan Pertama Balas Dendam Jin Islam di Keresek!

Prolog

Kisah mengamuknya Jin Islam di Pesantren Keresek, Cibatu, Kabupaten Garut ini ditulis oleh K.H. Hasan Basry. Si Penulis dalam cerita memerankan sebagai ayahnya (K,H, Busrol Karim. Alm), tokoh utama. 

Kisah mengamuknya Jin Islam di Keresek ini pernah dimuat di Majalah Sunda Mangle dan Koran Sunda Giwangkara. Alhamdulillah, kisah ini sudah saya ketik ulang di dalam blog https://jin-islam-keresek.blogspot.com/

Jin Islam di Keresek (Bagian 3)
Oleh: HASBA

Namun...., keesokan harinya setelah ketidakpercayaan cerita Iko dan Nenek tentang mimpi melihat puteri cantik yang sedang menangisi jenazah suaminya dengan kepala dibalut perban yang berlumuran darah membeku yang mengancam membalas dendam kepada pembunuh suaminya. Ketidakpercayaan itu, sirna dengan sendirinya. 

Waktu itu hari ketiga, pasca Iko bermimpi, tiba-tiba Hasan anak cikal saya. Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu pingsan. Sangat mendadak sekali Hasan pingsannya, padahal tidak sedang sakit. Suhu tubuh si Cikal, tiba-tiba panas tinggi. Saat dipangku, terasa panas badannya seperti memegang bara api. Tampak kulit wajahnya pucat pasi seperti kapas. Seperti tak berdarah. Tubuhnya lemas tak berdaya sama sekali. Lemas, selemas-lemasnya seperti kapuk yang tersiram air.

 Waktu itu saya berfikir si cikal tidak akan bisa selamat. Mengingat kondisi tubuhnya terlihat sangat parah. Pada awalnya saya menyangka dia terkena lolongsteking yang sering menyerang anak-anak setelah bermain, berlari-lari sambil telanjang baju karena kegerahan. 

Seperti kebiasaan di kampung. Saat melihat kondisi si Cikal yang tiba-tiba pingsan dengan demam tinggi. Mereka menganjurkan meminta pertolongan ke paraji atau istilahnya pengobatan kampung. Saya sendiri kurang berkenan, tapi pengobatan yang dilakukan lebih berbau tahayul atau klenik.  Sudah jelas anak sakit perut, karena terlalu banyak makan rujak pedas, mereka bilang kesambet setan jahat. Sangat sulit menghilangkan adat istiadat, kepercayan dan budaya yang sudah mengakar di dalam kehidupan masyarakat kampung seperti itu. 

Namun kenyataan di dalam kehidupan masyarakat,  tidak sedikit yang sakit karena  sakitnya ternyata diganggu jin atau setan. Melihat Si Cikal tidak sadarkan diri cukup lama dan demamnya tidak turun-turun. Akhirnya saya membaca doa dan ayat suci Al Quran pengusir setan dan jin.  Tetapi si Cikal tersayang, tetap tidak menunjukkan perubahan berarti, sehingga membuat khawatir ibunya.

 Ibu si Cikal sangat panik, sampai menangis, menjerit dan meratapi si Cikal. Nenek si Cikal, mulutnya tidak henti membaca istigfar dan doa-doa agar cucunya segera siuman. Berdoa sambil dirinya tak henti hilir mudik, tidak bisa berdiam diri karena panik. Melihat kondisi si Cikal, dan sikap Ibu dan Neneknya, mata saya, berembun, menahan tangis. Namun, mulut tak henti, berdoa kepada yang Maha Kuasa agar si Cikal disehatkan. Karena si Cikal adalah tumpuan harapan kami. Dalam kesedihan dan kepanikan yang luar biasa, saya memutuskan untuk mencoba pengobatan kampung.

“Esin! Esin! Esiiiin! Sini!” kata saya setengah berteriak. Esin, adalah “rencang” (teman/pembantu) di rumah saya. Setelah Esin mendekat, lalu saya minta dia segera menjemput Mak Paraji. Takut Esin gagal menjemput paraji, saya berpesan:
“Jangan mencari yang jauh, kamu cari orang yang biasa mengobati orang kesambet. Segera  jemput Mak Ecoh di Babakan Cau. Awas, kamu harus langsung membawa Mak Ecoh! Bilang aja, diundang ke pesantren sekarang juga. Secepatnya!”

Esin segera berangkat setengah berlari, sambil setengah mengangkat kain panjang yang dikenakannya.  Terlihat panik juga seperti kami.  Alhamdulillah, tidak lama kemudian Ma Ecoh tiba diiringi  Esin. Tangannya terlihat dituntun oleh Esin yang berada di depannya setengah berlari.

Kata saya, “Emak, terima kasih sudah memenuhi undangan saya. Tolonglah, si Cikal ini sepertinya kesambet. Coba Emak, lihat dan obati! Saya, percaya sepenuhnya kepada kemampuan Mak Ecoh!”

Mak Ecoh tidak perlu diminta dua kali, begitu melihat anak yang terkapar. Dia langsung bisa menyimpulkan kalau si Cikal kesambet.  Mak Ecoh segera mengeluarkan “kanjut kundang” (kantung kecil berisi rempah-rempah). Dari dalam kantung ia mengambil umbi panglay (pangle), langsung dia masukan ke dalam mulutnya, refleks mulutnya mengunyah. Tampak lucu karena Mak Ecoh giginya sudah ompong semua, maka gerakan mulutnya sangat menggelikan. Sialnya, panglay yang dia kunyah, sudah agak kering jadi liat (ulet) sukar dikunyah. 

Tak lama kemudian, panglay yang sudah dikunyah sudah payah, berhamburan dari dalam mulut Mak Ecoh. Panglay kunyahan tersebut dia sembur-semburkan di setiap penjuru kamar, tengah rumah, dapur dan ruang tamu. Setiap penjuru bagian rumah disembur panglay yang sudah dikunyah. Akhirnya, seluruh ruangan di dalam rumah menyengat berbau panglay. Sangat menyengat.

Para santri dan orang-orang yang bergerombol, menengok dan mengelilingi si Cikal. Saat mencium bau panglay yang amat menyengat, tiba-tiba mereka satu dua orang dari mereka muntah-muntah, tidak tahan oleh bau panglay. Sudah dikenal di kampungnya bau semburan panglay Mak Ecoh, sangat manjur mengusir setan yang mengganggu. Tidak tahan oleh bau tajam dari panglay yang disemburkannya. Saking tajamnya bau panglay semburan Mak Ecoh. Jangankan setan, manusia saja seperti saya terasa sesak nafas saking baunya dan membuat yang tidak kuat jadi mual dan muntah.

Panglay yang dikunyah dan disemburkan Mak Ecoh, bukan panglay sembarang panglay. Tapi, panglay yang sudah diberi jampi-jampi, dipuasai, hasil bertapa. Tapi, meskipun bau panglay sudah amat menyengat dan memenuhi seluruh penjuru rumah. Ma Ecoh, masih terus melakukan serangan kepada setan dengan berulang-ulang mengunyah panglay dan disemburkan ke semua tempat.  

Mulut Mak Ecoh tidak berhenti komat-kamit, memanterai semburan panglaynya. Sesudah itu Ma Ecoh duduk, di samping dipan si Cikal. Karena sudah malam, dia ikut menjaga si Cikal. Sampai kira tengah malam, tidak tertidur sekejap pun. Begitupun mata para santri dan tetangga yang ikut menjaga malam itu, tidak ada yang terpejam sedetik pun. Mereka membaca surat Yasin dan berdoa untuk kesembuhan di Cikal.

Tiba-tiba, ketika suasana hening dan khusu berdoa. Terjadi "hujan" lemparan tanah merah kering dari arah luar ke dalam rumah. Tidak hanya itu, terdengar juga, suara "hujan" tanah merah yang dilemparkan ke atas genting. Tanah merah yang berhamburan seperti tanah dari kuburan. Semua menggigil ketakutan, seperti saat diserang demam tinggi.  Terlihat wajah-wajah pucat pasi karena ketakutan. Semua diam, mencekam! Tak ada yang berani bersuara. Tubuh-tubuh yang berkumpul waktu itu seperti jadi membeku.

Hanya Mak Ecoh, yang terlihat tenang. Kembali, dia melemparkan segumpal panglay ke dalam mulutnya. Kemudian dikunyah, tapi mendadak mulutnya terhenti mengunyah. Matanya sedikit terbelalak. Semua yang melihat, meskipun dalam ketakutan jadi menahan ketawa. Ternyata, yang dilemparkan oleh Mak Ecoh ke dalam mulutnya adalah sisig (tembakau dan kapur dan pinang yang dibungkus daun sirih kemudian dikunyah). Hebatnya Mak Ecoh, mulutnya sudah otomatis. Begitu masuk langsung dikunyah. Padahal yang dikunyah sisig miliknya, bukan panglay. 

Mak Ecoh sepertinya, menyadari yang dikunyah bukan panglay. Saking kagetnya, dia tersedak oleh sisig yang masuk ke dalam mulutnya. Mata Mak Ecoh melotot, dia mau muntah. Kemudian, berlari ke luar. Sialnya, dia memakai kain panjang. Kakinya tersandung, kemudian terjatuh. Mungkin dalam keadaan wajar semua akan tertawa. Tapi pada saat itu, semua hanya terdiam. Mata melotot, saling berpegangan tangan. Tubuh seperti dihipnotis. Membeku tak bisa bergerak karena ketakutan. Lemparan tanah merah makin menggila frekuensinya, makin banyak jumlahnya. Melayang seperti dilemparkan dari luar ke dalam rumah, juga ke atas genting. Entah siapa pelakunya. (BERSAMBUNG)

(Gambar Mak Paraji dari Google)

No comments:

Post a Comment