Tuesday, November 12, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 1)

Prolog.

Pondok pesantren Keresek didirikan oleh KH. Thobri Pada tahun 1887. Kemudian diserahkan kepada putranya yang bernama K.H. Ahmad Nahrowi yang lahir tahun 1859 dan wafat tahun 1934. Dari pihak Ayah mengalir darah bangsawan kesultanan Cirebon dengan darah Ulama Garut yaitu Mbah Nuryayi Suci, sedangkan dari pihak Ibu yaitu Siti Umi Kulsum mengalir darah bangsawan Sukapura Tasikmalaya. 

Pada tahun 1935 K.H. Ahmad Nahrowi meninggal dunia, maka jabatan pemimpin pesantren diserahkan kepada anaknya yaitu K.H. Busrol Karim atau lebih terkenal dengan nama ajengan "Oco". Beliau adalah Kiai yang mengalami teror langsung dari Jin Islam Puteri Negeri Habsyi yang suaminya dibunuh karena ketidaktahuannya, kalau ular itu adalah suami sang Puteri. Penerus K.H. Busrol Karim (Wafat tahun 1977) adalah K.H. Hasan Basry yang dikenal dengan sebutan Kang Aceng (Wafat tahun 2009). Pesantren Keresek kini diurus oleh K.H. Usman Afandi anak ketiga dari enam bersaudara.

Jin Islam di Keresek (Bagian 2)

Pernikahan mereka didasari suka sama suka dengan keridoan dari kedua orangtua. Namun apa daya pernikahan suci mereka harus berakhir tragis. Suami sang Puteri harus tewas, meregang nyawa dalam keadaan mengenaskan di negara yang jauh dari negeri asal. Maklum tujuan mereka berdua dalam rangka berbulan madu. Sengaja memadu rindu dalam samudera cinta di negeri yang jauh dari negeri sendiri.  Berharap, mereka bisa asyik masuk berdua tidak ada yang mengganggu kemesraan mereka. Bisa memadu janji, merajut kalbu syahdu sambil menikmati keindahan alam di manca negara.

Belakangan, akan terkuak bahwa mereka berdua sebenarnya adalah pasangan pengantin baru yang berasal dari negara jin di Habsyi.  Malah sang puteri adalah anak kandung dari raja jin di negeri Habsyi tersebut alias sang puteri adalah puteri mahkota. Begitupun dengan suaminya, adalah anak raja di kerajaan tetangga, yang terpilih diantara sekian para pelamar sang puteri. 

Dia sangat tampan dan gagah, budi bahasanya halus, tindak tanduknya rendah hati sehingga terpilih oleh sang puteri menjadi pasangan hidupnya. Sang suami yang terpilih karena ketampanan wajah, kesonanan dan budi pekerti yang teruji sangat baik. Hasil pertimbangan matang, bertanya pada rasa, menimbang dengan cinta yang suci, dipilih dengan hati murni dari sang Puteri.  

Kini, sang suami yang dicintai telah terbujur kaku, dengan balutan perban berlumuran darah yang telah membeku. Tubuhnya dingin, belum disempat dikafani sebagaimana mestinya.  Sang puteri merasa sunyi sepi, berbaur dengan kepedihan yang tiada tara. Hanya bisa meratapi kematian suaminya sendirian, tanpa ada yang bisa diminta pertimbangan akan apa yang harus dilakukan dengan mayat suaminya.  Jiwanya, seperti melayang, hampa tiada tara. Kakinya serasa menapak atau tidak. 

Sang Puteri tak bisa menghentikan tangisannya, di atas dingin dada jenazah suaminya. Dia meratapi malangnya nasib diri, di negeri yang jauh tanpa kehadiran ayah bunda dan sanak saudara. Dalam isak tangis kepedihannya, sang Puteri menyanyikan tembang  Maskumambang (bentuk komposisi tembang macapat, biasanya dipakai untuk melukiskan kisah sedih atau keprihatinan yang mendalam). Menurut Iko (yang menceritakan mimpinya) keponakan saya, lirik tembang Maskumambang yang dinyanyikan sang Puteri kurang lebih begini:

1.  Duh manusa bet telenges teuing teu aya rasrasan, abong ka mahluk nu laif, amarah tẻh luluasan 
(Duh manusia kenapa kalian sangat kejam tidak ada batasnya, mentang-mentang kepada mahluk yang tidak berdaya, amarah kalian sangat keterlaluan).

2.   Ngumbar nafsu taya pangampura saeutik, abong kumawasa, luas nyiksa ngarah pati, kanu taya kasalahan.
(Mengumbar nafsu tanpa rasa maaf sedikitpun, mentang-mentang berkuasa, tega menyiksa dan mengambil nyawa mahluk yang tidak bersalah)
.
3.   Naha naon salahna salaki kami, ẻstu teu sapira, pẻdah wani ulak ilik, bari nyamar jadi oray.
(Apa salahnya suamiku, nyaris tidak ada, hanya karena berani hilir mudik, menyamar menjadi ular)

4.  Teu pelekik sumawonna arẻk jail, tina panasaran, hayang reujeung sidik rumah tangga manusa.
(Tidak ada niat jahat apalagi jahil, hanya karena penasaran, ingin mengetahui bagaimana cara berumah tangga manusia).

5.    Ngan sakitu salah salaki kami, asa teu pira, teu pantes di hukum pati.
(Hanya itu salah suamiku, Tidak seberapa, tidak pantas sampai harus dihukum mati.

6.    Kami ceurik sasatna tẻh bijil getih, banget nya nalangsa, paturay reujeung kakasih, jungjunan nu dipicinta
(Aku menangis berair mata darah, saking nelangsa, berpisah dengan kekasih hati, pujaan jiwa yang sangat dicinta).

7.   Aduh Gusti pangeran nu sipat asih, sim abdi tulungan ayeuna abdi nunggelis, taya pikeun pakumaha.
(Aduh Gusti, Tuhan-ku yang Maha Pengasih, Hamba mohon pertolongan karena kini sendiri, tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan)

8.  Abdi wangsung nyorangan ka nagri Habsyi, asa henteu tẻga, ninggalkeun mayit salaki, pajah teu bẻla ka bugang.
(Hambamu, kini sendiri harus pulang ke negeri Habsyi, rasanya tidak tega, meniggalkan mayat suami hamba, tidak pantas meninggalkan mayat suami hamba sendirian).

Lama sekali Tuan Puteri menangisi diri di samping mayat suaminya.  Tiba-tiba, matanya terbuka lebar, menjadi liar seperti baru tersadarkan. Kepalanya menengadah, lalu berdiri. Dia menjerit menembus langit,  berteriak menembus angkasa.  Kedua tangannya terangkat ke atas, lalu mengepal bergetar penuh amarah. Di lalu bertolak pinggang. Wajahnya merah padam penuh dendam. Gigi geliginya terdengar gemeletuk menahan nafsu tak terhingga. 

Dia mondar-mandir memutari mayat suaminua, dalam posisi menantang perang saking gemes dan kesal kepada manusia yang telah membunuh suaminya.  Mulutnya sesumbar, sumpah serapah. Penuh dendam ancaman dalam nanda tembang Durma (merupakan bentuk komposisi tembang jenis macapat biasanya untuk melukiskan perkelahian, perang).

1.   Hẻ manusa ulah sambat kaniaya, awas sing taki-taki, pamales ti kula, ka manusa anu tẻga, hutang pati bayar pati, ieu lawanna Jin Putri Nagri Habsyi.
(Hei, manusia jangan kalian merasa berkuasa, waspadalah kamu akan balas dendamku, kepada manusia yang telah tega, hutang  nyawa bayar nyawa, ini lawan Jin Puteri Habsyi!

2.   Geura tẻmbong anu mana manusana, nu jail hiri dengki, sok ieu ayonan, najan kami sorangan, lain putri ipis burih, acan lugina mun tacan males pati.
(Tampakkan diri, mana manusianya, yang jahil, iri, dengki, ayo lawan aku, biarpun aku sendiri, walau aku seorang wanita tapi aku bukan pengecut, buka penakut, belum tenang jiwaku kalau belum membalas kematian suamiku)

3.  Mun can beunang manusa anu nganiaya ngaharu ganggu salaki, baris dipergasa, kabẻh sakur manusa, tina kami banget nyeri moal narima, arẻk di burak-barik.
(Kalau belum aku dapatkan manusia yang telah membunuh suamiku, akan aku bunuh dia, semua manusia, sakit hatiku tidak terbalaskan, akan aku porak-porandakan).

Dari cerita berdua, Iko (keponakan) dan Nenek, saya tidak percaya sedikitpun apa yang mereka utarakan. Apalagi Iko, bercerita dibarengi dengan tembang, saya lebih menyukai tembangnya daripada ceritanya. Saya anggap Iko ngelindur, karena Iko sangat suka dengan sastra dan tembang sehingga dia mereka-reka, mengarang cerita yang dihubungkan dengan peristiwa saya membunuh ular hitam beberapa hari lalu. Tidak, sama sekali saya tidak percaya. 

Lalu bagaimana cerita Neneknya anak-anak yang juga bercerita dengan isi yang sama? Ah, maklum sudah tua, segala sesuatu dimasukin hati. Ada juga yang menyangka begini: “Panteslah kalau Iko bercanda dan mengarang cerita karena dia ngelindur. Tapi, kan Neneknya anak-anak terlihat bercerita sangat serius. Tidak menunjukkan sedang bercanda sedikit pun. Lagi pula buat apa, orang yang sudah tua mengarang cerita. Hanya buang-buang tenaga. Neneknya anak-anak berkata, dia melihat dan jelas mendengar tangisan dan ratapan sang Puteri yang cantik jelita dalam impian seolah dalam kehidupan nyata. 

Bahkan, saat tuan Puteri menunjukkan kemarahan penuh dendam sambil mengepalkan dan berteriak histeris menantang orang yang telah membunuh suaminya jelas terlihat, dan tidak bisa terlupakan dari ingatannya. Tidak mungkin, orang yang sudah sepuh berdusta. Jelas Nenek bukan ngelindur, bukan mengarang cerita dusta. Karena, Nenek sewaktu akan tidur tidak pernah tidak, pasti berdoa dahulu. Tapi, saya tetap tidak percaya kepada apa yang mereka ceritakan itu. Saya tetap menyangka Iko ngelindur, sedangkan Neneknya karena pikun, jadi mengarang cerita karena mendengar apa yang diutarakan oleh Iko. Apalagi dengan cerita Iko, yang dbarengi tembang Maskumambang dan Durma, saya jadi makin tidak percaya. (BERSAMBUNG)

13.11.2019
DESS

http://jin-islam-keresek.blogspot.com/2019/11/ngamuknya-jin-islam-di-pesantren-keresek.html

No comments:

Post a Comment