Sunday, November 24, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 8)

Oleh: HASBA

Suatu saat saya pernah mengalami hal yang cukup membuat hati ketar-ketir. Mungkin lebih mengerikan dengan apa yang dialami oleh Esin. Esin hanya dilempar terompah kayu, saya malah dilempar dengan golok tajam. Tampak golok itu sangat tajam matanya, baru diasah oleh pemiliknya. Entah golok siapa, entah dari mana datangnya. Dari bentuk dan ketajamannya, golok itu dipastikan buatan Cibatu, Sukabumi (Cisaat). Malam sebelum kejadian saya bermimpi, bertemu dengan Ayahanda almarhum (Kakeknya anak-anak). Dalam mimpi, beliau menasihati harus sabar dan menyuruh saya untuk bangun. Jangan terlalu banyak tidur, jangan terlalu lama kalau tidur. Jangan memasuki kamar yang memakai tulak (kunci dari balok kayu) yang mengunci tiba-tiba dengan sendirinya. Jangan tidur pada jam sekian (salah waktu). Ayahanda menyuruh saya mengecek ke tempat penyimpanan di sana ada benda tajam. Segera saya terbangun dari mimpi, kemudian membaca Alfatihah dihadiahkan untuk Ayahanda. Lalu, menuju ke tempat yang ditunjukkan dalam mimpi. Mencari benda tajam, yang tadi diinformasikan oleh almarhum Ayahanda dalam mimpi.Tertanyata, apa yang dibisikkan Ayahanda dalam mimpi benar adanya. Saya temukan sebuah golok yang sangat tajam, saking tajamnya saat disentuh matanya terasa oleh kulit ujung jari. Terlihat mengkilap, sepertinya baru diasah dan siap digunakan. Entah untuk apa, oleh siapa atau untuk siapa. Yang jelas ketajamannya, menyamai tajamnya pisau cukup buatan Jerman. Waktu itulah, saya hampir mengalami bencana yang fatal!
Kali kedua, saat sedang duduk bersantai, beristirahat. Tiba-tiba, sebuah golong melayang secepat kilat mengarah ke leher saya. Sesaat hati saya terkesiap, reflek mengucap Allahu Akbar sambil berkelit. . Bila tidak ada perlindungan-Nya,mungkin leher saya sudah putus atau bila kena kepala, dipastikan akan terbelah. Suara golok yang melayang secepat kilat itu, berdengung seperti suara lebah saking cepat dan kuat di lemparkannya. Alhamdulillah, saya selamat. Tubuh saya tidak tergore sedikitpun. Sesaat setelah gagal menebas leher saya, golok itu terjatuh di atas lantai yang terbuat dari kayu. Sakit kuatnya, golok tersebut menancap hampir setengahnya. Padahal lantai kayu tersebut terbuat dari papan pohon rasamala. Rasamala adalah satu jenis kayu termasuk kelas 1, terkenal kekerasannya apatah kalau sudah kering. Waktu golok itu akan dicabut ternyata tidak segampang yang dikira. Terbayang, sekuat apa tenaga yang dipakai untuk menebas leher saya itu. Disaksikan oleh beberapa orang, mereka juga meyakinkan bahwa yang menancap di lantai papan tersebut adalah golok. Setelah dicabut dan diakali, dilihat dari cap yang tertera di dekat pegangannya ternyata lagi-lagi golok buatan Cibatu, Sukabumi. Secepatnya, golok tersebut disimpan ditempat tersembunyi.
Semenjak hari itu saya selalu bersiak waspada. Ngeri dengan apa yang dua kali telah terjadi. Bukan lagi ancaman, tetapi jelas-jelas jin itu ingin menghabisi saya. Hati tak henti berdzikir dan meminta perlindungan Allah SWT. Tubuh saya perlahan mengurus, karena jadi tidak enak makan, tidak enak tidur. Hampir tiap hari, bulak-balik mendatangi makam Ayahanda dan mengirim do’a untuknya. Berkahnya terasa langsung, walaupun Ayahanda telah lama meninggalkan alam fana. Malamnya, sesudah mendatangi makamya, pasti bermimpi bertemu dengan beliau seperti diceritakan di atas. Tiap hari, goadaan, ancaman dan kelakuan jin itu makin keterlaluan. Tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Entah yang ke berapa kalinya, satu malam setelah siangnya saya berziarah ke makam Ayahanda. Saya, kembali diingatkan oleh mimpi dari Ayahanda. Saya bermimpi didatangi oleh Ayahanda. Jelas sekali dia berkata, seolah bukan dalam mimpi. “ Kamu harus sabar! Jangan cengeng! Cobaan yang dialami kamu sekarang ini. Belum seberapa dengan yang dialami oleh Ayah dulu sewaktu diganggu jin. Hanya dengan kesabaran yang tidak ada batasnya, jin itu akan bisa ditaklukan oleh kamu. Apa yang dialami kamu sekarang, jauh masih kecil dengan apa yang dialami oleh Ayah. Nanti, bila jin itu sudah benar-benar melebiha batas akan mencelakakan kamu. Insya Allah, Ayah akan secepatnya akan mengabari kamu. Ayah tidak akan tinggal diam.”
Saya membuka mata, jelas tegas sekali apa yang diucapkan almarhum Ayah. Jelas sekali terdengar di telinga, tidak seperti di dalam mimpi. Terlihat jelas oleh mata, wujud Ayahanda yang menatap saya penuh kasih sayang. Tampak, beliau sedang duduk melihat tubuh saya dengan teliti. Kurus, bahkan teramat kurus, sehingga pipi menjadi cekung. Sudah cukup lama, nafsu makan hilang, mata tidak bisa lelap tidur, malah untuk minum pun saya amat minim. Bertawakal kepada Allah bukan omong kosong, dibarengi berpuasa, saking tidak kuat menahan godaan, ancaman dan kelakuan jin Islam yang tak henti meneror. Dalam keadaan telentang, saya meraba tulang rusuk. Terasa tulang hampir tanpa daging. Saking kurusnya. Sudah terbangung tapi mata masih setengah terpejam.
Baru menyadari, mengapa banyak orang yang pangling. Banyak orang mengatakan saya kurus kering, wajah pucat, mata kosong dan cekung dengan pipi yang tirus. Saya sendiri merasakan, tubuh seperti melayang, kaki serasa tak berpijak. Bisa dikatakan, saya dalam keadaan “gering nangtung ngalanglayung”. Sakit pikiran,serba bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Begini salah,begitu salah. Akhirnya, cuma bisa melamun dan bengong berkelanjutan tiada ujung. Bukang sakit fisik, tapi sakit psikis, karena stress berkelanjutan. Akibat gangguan jin yang ingin balas dendam. Dalam keadaan sehat, seringkali menyindir lelaki yang mudah menyerah, kalah oleh keadaan. Hati makin pedih, perasaan makin tersayat-sayat. Teringat pepatah Ayahanda dalam mimpi tadi malam. Masih terbayang, bagaimana sorot mata Ayahanda, yang seolah menyesalkan keadaan tubuh saya yang kurus kering, tak berdaging. Keadan tubuh yang melorot drastis, sehingga jauh berbeda dari keadaan semula. Diakibatkan pikiran yang tidak bisa tenang, serta perasaan yang tidak bisa nyaman dalam masa yang lama.
Ucapan lisan Ayahanda serta gerak gerik tangan dan perilaku tubuhnya menandakan bagaimana kasih sayang seorang Ayah saat melihat anaknya dilanda gundah gulana. Kasih sayang yang tidak batasnya, tidak pupus dimakan waktu, tidak lekang dimakan zaman. Kasih Ayah sampai akhir masa. Tidak herang, kasih sayang tersebut bisa menyambungkan dua ruh di alam halus. Karena ikatan batin yang amat kuat dari orang tua kepada anaknya. Sekalipun Ayahanda telah tiada, tidak suka, tidak rela melihat anaknya menderita di dunia fana. Semenjak lahir, orangtua memelihara kita tanpa pamrih, tanpa upah. Rela tidak tidur dan menimang anaknya yang menangis karena kita mengompol atau hanya sekedar lapar. Bergantian Ayah dan Ibu kita, ikhlas menghentikan nikmatnya suapan nasi saat makan, melihat anaknya menangis karena kelaparan. Rela terjaga semalaman, jangan sampai ada seekor nyamuk pun yang menggigit tangan kita.
Ayah dan Ibu ikhlas berpanas-panas badan, rela basah kuyup kehujanan demi melindungi anaknya dari terpaan panas cahaya matahari atau derasnya hujan. Rela mandi keringat, menahan air mata demi kebahagiaan anak-anaknya. Disekolahkannya kita dengan pendidikan yang terbaik, jungkir balik, banting tulang bukan kata-kata hampa. Rela berlapar-lapar agar anaknya bisa terus sekolah. Biarlah ayah dan ibunya bodoh, tapi anak-anaknya harus lebih pintar dan mempunyai pekerjaan yang layak. Sehingga berbahagia saat mereka dewasa. Saat kita mau tidur, tidak segan orang tua bercerita sambil memeluk kita. Membenahi tempat tidur dan selimut, padahal tubuh mereka juga sebenarnya menggigil oleh dingin malam. Dipangkunya tubuh kecil kita, diayun-ayun, sambil tak henti berjalanke sana ke mari sambil menyanyikan nadoman sholawat kepada Nabi atau lagu ayang-ayanggung....
Siang kita dijaga, malam orangtua harus terjaga. Tak peduli, tubuh berbalut pakaian butut yang penting anak-anaknya bisa berganti baju baru pada saat lebaran tiba. Dididiknya kita melantunkan ayat-ayat suci, dimanja, dininabobokan. Pasti tidak akan rela, anak yang dari kecil dijaga dengan penuh rasa cinta. Sekalipun anya digigit nyamuk. Ya, Allah masih terasa kasarnya tangan Ayahanda mengusap kepala sewaktu saya dalam keadaan sakit parah di masa kanak-kanak. Tangan yang dipenuhi luka karena harus bekerja keras menghidupi anak-anaknya. Saat kita menangis karena kepanasa, tanpa keluh kesah mereka mengipas-ngipaskan apa saja yang ada agar kita menjadi nyaman. Teringat itu semua, tidak terasa mata menjadi basah. Air mata membasahi pipi yang kini tirus. Melihat sorot mata dari Ayahanda dalam mimpi, saat melihat kurus kering tubuh ini. Ayahanda pasti merasa sakit hati, tidak rela anaknya menderita berkepanjangan. Ketidakrelaan dan kasih sayang yang tak putus oleh kematian, menjadikan alam halus atas ijin Allah menembus batas tempat dan waktu. (Bersambung).

No comments:

Post a Comment